Figur Headline

Bintang TVRI: Rusdi Saleh Anak Menteng



single-image

Masih ingat dengan Rusdi Saleh? Dialah penyiar TVRI yang popular di layar kaca sejak 1970 hingga  1980-an. Rabu, 27 Mei 2020, saya sempat silaturahmi ke rumahnya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.

 

Bang Rusdi, begitu saya biasa memanggilnya, tampak masih segar dan fit. Ngobrol dengan pria 78 tahun itu asyik dan penuh tawa. Maklumlah, dia anak Betawi. Be-ta-wi itu, katanya, becanda, takwa dan wibawa. Ha ha ha…

 

Obrolan dimulai dengan cerita ketika ia berceramah di IKIP Jakarta pada 1980. “Saya diundang sebagai Ketua LKB [Lembaga Kebudayaan Betawi],” ungkapnya.

 

Ayah dua anak itu—Alfa dan Beta–kaget juga melihat audiens yang sebagian besar mahasiswa itu banyak sekali. “Saya mulai, dengan pertanyaan: Anak betawi ada berapa orang nih?”

Hadirin senyap. Tak ada yang menjawab pertanyannya. Bang Rusdi lalu mengulang pertanyaanya. Tak berapa kemudian mengacunglah dua orang mahasiswa. “Wah mati gue, cuman dua orang.”

 

Kemudian ia beceramah dan memberikan contoh keunggulan orang-orang Betawi. Mulai dari nilai-nilai kehidupan yang positif, agamis, punya jiwa entrepreunership yang tinggi hingga tokoh-tokohnya.

 

“Kita punya pahlawan nasional Muhammad Husni Thamrin dan Ismail Marzuki, KH Abdullah Sjafei, Menteri sejak Zaman Bung Karno hingga wartawan hebat Mahbub Djunaidi,” ungkap Rusdi.

 

Saat itu, katanya, Mahbub Djunedi lagi ngetop-ngetopnya. Selain sebagai Ketua NU DKI Jakarta, politisi di Partai Persatuan Pembangunan (P3), juga rajin nulisi di Harian Kompas.

 

Mahbub Djunaidi ialah seorang sastrawan Indonesia. Ayahnya, H Djunaidi adalah seorang seorang tokoh NU dan anggota DPR pemilu 1955. Ia merupakan anak pertama dari 13 saudara kandungnya. Mahbub Djunaidi lahir di Jakarta, tetapi harus pindah ke Solo karena kondisi di Jakarta yang sedang bergejolak.

 

Nah Bang Rusdi dan keluarga juga harus mengungsi ke Jogja dan Solo bersama keluarga Mahbub. Mereka memang masih kerabat dekat.

 

Ketika bercerita tentang Ismail Marzuki (lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914 – meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, 25 Mei 1958 pada umur 44 tahun), hadirin dalam hajatan di IKIP itu begitu antusias, cerita Bang Rudi.

 

Bang Maing, begitu ia bercerita, adalah salah seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat.

 

“Setelah saya cerita dan tanya lagi. Wah… pada banyak nyang nunjuk, sampe 18 orang,” katanya dengan logat Betawi yang kental.

 

Sejak ‘peristiwa IKIP’ itu, Bang Rusdi makin getol mengkampanyekan brand dan nilai-nilai positif orang Betawi. “Sekarang anak Beawi udah pada percaya diri, bahkan pada sombong.”

 

Kenapa sombong? “Bukan suku, tapi bangsa Betawi, wah konyol deh, karena campuran dari berbagai suku bangsa.”

 

Rusdi bercerita bahwa silsilah keluarganya juga dari Jawa. “Dari Demak. Wah gue keturunan mualim juga nih, padahal nggak,” katanya lagi-lagi terbahak.

 

Menurut Bang Rusdi, dari berbagai etnis itu muncul anak-anak Betawi. “Saya nggak tahu Suku Betawi ke depan bagaimana, apakah makin keren? “

 

Buru-buru ia menambahkan bahwa “Nggak salah juga Betawi itu sebagai bangsa. Tapi nggaklah.”

 

Ia lantas melanjutkan lagi. “Tapi itu kenyataan.”

 

SEPEREMPAT ABAD

 

Saya mengenal Bang Rusdi Saleh seperempat abad yang lalu. Ketika itu saya mulai aktif mengunjungi kantor Lembaga Kebudayaan Betawi di Gedung Nyi Ageng Serang lantaran direkomendasikan oleh Bang Ridwan Saidi.

 

“Ke sono aje ketemu dengan Bang Yahya Andi Saputra,” begitu kata Bang Ridwan.

 

Saya ke rumah Bang Ridwan di Bintaro untuk mewawancarainya tentang sejarah bisnis di properti di Jakarta. Sebagai editor halaman properti di surat kabar, saya merasa perlu menambah wawasan tentang sejarah permukiman di Tanah Betawi ini, sejak prakemerdekaan.

 

Bang Ridwan lancar belaka bertutur tentang pelabuhan, permukiman, perkantoran, hingga pusat perdagangan. Seusai wawancara, Bang Ridwan mengajak saya untuk menulis buku tentang Jagoan-Jagoan Betawi Masa Kini dengan berbagai latar belakang dan profesi.

 

Untuk memperkaya penulisan, ia menyarankan saya bertemu Cang Yahya. Maka ketika amprok dengan Cang Yahya, upet deh kami ngobrol. Apa lagi banyak rekan seangkatan Cang Yahya kuliah di UI, yang juga bekerja sebagai wartawan.

 

“Abang kenal Beky kan? Wartawan SCTV?” begitu Cang Yahya bertanya.

 

Saya tidak menjawab pertanyaan itu. He he he…

 

Yang saya mau cerita di sini adalah pertemuan saya dengan Bang Rusdi Saleh di LKB ketika itu. “Pertemuan yang ku dambakan, kini jadi kenyataan. Pertemuan yang kuimpikan, ternyata bukan hayalan….” Begitu syair lagu Rhoma Irama.

 

Pada 1970-an, saya hanya mengenal tokoh kita ini lewat layar TVRI. Betapa senangnya melihat penyiar yang keren, rapi, ganteng dengan suara bariton pada tone 6, membacakan Warta Berita, Berita Nusantara, Berita Nasional, Dunia Dalam Berita, Berita Malam, atau Laporan Pembangunan.

 

Sungguh saya tak tahu kalau tokoh kita ini orang Betawi. Nah, pada 1994 itulah saya mengenalnya di Gedung Nyi Ageng Serang lantai 6, kantor LKB ketika itu.

 

Kami banyak bercerita tentang perjuangan budayawan Betawi bersama Bang Effendi Jusuf, dr. Atje Mulyadi, Salman Mukhtar, dan Babe Irwan Sjafei.

 

Interaksi saya dengan Bang Rusdi makin intens ketika jadi Pengurus LKB periode 2002-2007. Kami sering makan bareng. Ngobrol, diskusi, namun saya nggak berani berdebat. Lebih banyak mendengar.

 

Visinya soal Betawi, jauh ke depan. Ia sangat membela jika ada suara miring tentang Betawi, baik tokohnya maupun budayanya. Seperempat abad lalu, Bang Rusdi sudah mencanangkan visi dan misi, strategi meningkatkan citra, brand, dan nilai-nilai Betawi hingga program-program yang menasional hingga nama Betawi menjulang dalam citra yang positif.

 

Di tengah bencana Covid-19, di mana selama sebulan ini saya bekerja dari rumah (WFH), Bang Rusdi telah dua kali telepon ngobrolin soal kebetawian. He he he… jadi inget pertama kali ketemu abang kite di LKB lebih dari seperempat abad lalu.

 

Ngobrol dengan Bang Rusdi nggak bosan. Selain ajer, banyak humor dan banyak nasehat, juga penuh nostalgia.

Maklum, sebagai anak sekolahan, ia juga merupakan anak Menteng. “Zaman kita baru babe nyang tinggal di Menteng. Siape lagi ye?” ujarnya balik bertanya.

Tak terasa obrolan kami lebih dari 3 jam, hingga dia mengingatkan untuk menikmati sajian yang telah disiapkan. “Kite minum deh, biar seger.”

Berita Lainnya