Figur

Bercita-cita Ingin Jadi Terkenal, Eh Penyiar TVRI Rusdi Saleh Ngetop



single-image
Rusdi Saleh

INDOWORK, JAKARTA: Pemirsa Televisi Republik Indonesia (TVRI) era 1970-an sampai 1980-an, tentu akrab dengan nama-nama seperti Tatiek Tamsil, Anita Rachman, Sambas, Idrus dan Rusdi Saleh.Di antara nama-nama tersebut, yang masih eksis dan tampak sehat hingga sekarang adalah Rusdi Saleh.

Rabu (27/5), masih dalam suasana Idulfitri dan  Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB), tim indowork.id,  berkesempatan bersilahturahmi ke kediaman sementaranya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Meski sebagian tertutup masker, wajah Rusdi Saleh yang populer memang masih mudah dikenali. “Nih, biar kalian yakin bahwa ini betul saya (Rusdi Saleh), saya bukakan dulu maskernya,” ujarnya, bercanda sambil mempersilahkan Lahyanto Nadie, Maxi Ali, Ferdiansyah dan Fadjriah Nurdiarsih, masuk ke dalam ruang tamu di rumahnya.

“Maaf ya, agak berantakan. Soalnya, saya ini baru pindah dari rumah yang dua lantai penuh barang, sekarang masuk ke rumah kecil, jadinya ya seperti ini. Ini rumah kontrakan, sambil menunggu rumah yang baru selesai,” ujarnya membuka pembicaraan

Kemudian, pria Betawi yang  akrab disapa Rusdi ini mengatakan, “Begini ya, saya ini ‘kan sudah sepuh, sudah 78 tahun. Saya kepingin  agar catatan tentang pengalaman hidup dan  pemikiran  yang saya buat  selama ini dijadikan buku, biar banyak orang dapat membacanya. Terutama, karena saya adalah orang Betawi, saya kepingin (melalui buku tersebut) mengangkat  harkat dan martabat orang Betawi,”.

“Saya bukan mau sombong, saya ini anak Menteng. Kemudian, bisa kuliah  lalu berkarir di TVRI sehingga bisa ketemu para pejabat penting negara dan bisa ke mana-mana. Saya juga pernah  jadi anggota DPRD Provinsi DKI dua periode. Jadi, saya merasa itu suatu anugerah yang luar biasa. Saya semua pengalaman yang saya punya dibagikan ke generasi yang lebih muda,’ tuturnya.

Saya mau, lanjutnya, agar anak-anak muda Betawi itu percaya diri, tidak minder. “Dan, saya kira itu berlaku untuk semua suku bangsa di seluruh Indonesia juga. Mereka  semua harus percaya diri, karena kita adalah sebuah bangsa yang besar dan  kaya sumber daya alam serta budaynya” kata Rusdi  bersungguh-sungguh.

Saya juga ingin, katanya pula, bangsa Indonesia ini jadi bangsa yang besar dan hebat. Kita tidak boleh terpecah, walau kita berasal dari suku bangsa, etinis, agama, dan bahasa yang berbeda. “Itulah sebabnya, saya sengaja memasang Garuda Pancasila di situ,” ujarnya sambil menunjuk ke pahatan burung Garuda Pancasila yang  terpampang di tembok  yang terletak di sisi kanan pintu masuk rumah.

JADI REPORTER DAN PENYIAR TVRI

Rusdi menuturkan bahwa ayahnya Muhamad Saleh adalah seorang pejuang. Makanya, ketika agresi Belanda dan Sekutu setelah Kemerdekaan, ayahnya diincar sehingga terpaksa  memboyong ibunya, dirinya dan adiknya Nikmah ke  Jogya sampai ke Solo. Setelah agresi militer Belanda usai, mereka sekeluarga kembali ke Jakarta dan tinggal di kawasan Menteng

Rusdi kecil masuk  Sekolah Rakyat (SR) Kampung Bali (1949-1956). Setelah itu, lanjut ke SMP 8 Pegansaan Barat yang di depan Megaria sekarang (1956-1959). Lalu, ke SMA Ikatan pemuda Pancasila, di Jalan Batu, Gambir, jakarta Pusat (1955-1963). Selanjutnya, ia masuk Fakulutas Hukum, Universtias Indonesia, namun tidak sampai selesai. Kemudian ia kuliah di Perguruan  Tinggi Publisistik dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi dan meraih ijazah.

Waktu masih kuliah, Rusdi bergabung dengan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Waktu itu sebagai ketua IPMI adalah Nabiel Makararim, ayahanda Mendikbud sekarang, Nadiem Makarim.

Menurut Rusdi, waktu  itu IPMI  mempunyai tiga biro, yaitu Biro Televisi, Biro Surat kabar dan Biro Radio.Sebagai anggota Biro Televisi, Rusdi sering mengisi siaran di TVRI sebagai pewawancara. Setelah lulus kuliah, Rusdi menjadi wartawan Harian KAMI (1967-1969).

Kemudian, suatu ketika seorang teman memungut iklan lowongan dari koran yang sudah sobek dan  dibuang ke kotak sampah. “Di sobekan koran itu  tertulis bahwa TVRI mencari reporter,” kenangnya.

Rusdi lalu beroskultasi pada orangtuanya, apakah ia boleh melamar ke TVRI. “Waktu itu babe bilang, terserah.” Rusdi pun melamar ke TVRI. Tak berapa lama kemudian,  lamaran Rusdi diterima, dan ia menjadi pegawai TVRI. Itu terjadi pada 1969.

Rusdi menuturkan, waktu masih anak-anak ia memang pernah bercita menjadi wartawan. “Waktu kecil cita-cita saya sederhana saja, pingin jadi orang terkenal. Saya juga pingin jadi wartawan. Soalnya, saya pernah melihat di TV, ada seorang wartawan Amerika mewawancarai pejabat penting,  sambil menenteng jasnya. Kelihatannya keren sekali. Saya pingin seperti itu. Kemudian hal itu menjadi kenyataan,” tuturnya bersemangat.

Salah satu yang paling mengesankan saya sebagai anak kecil, adalah waktu diajak ayah ikut ke lapangan IKADA  mendengarkan pidato Bung Karno. Itu terjadi sektiar tahun 1956 atau 1957. Satu kalimat Bung Karno yang membuat saya terkesan sampai sekarang adalah, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”

Rusdi mengatakan,  apa yang dikatakan Bung Karno itu betul. “Karena saya bercita-cita menjadi wartawan, saya bisa berkenalan dengan orang-orang atau pejabat penting, termasuk presiden. Itu  saya rasakan sendiri. Setelah pensiun, saya masih bisa merasakan hidup yang baik, bisa berhubungan dengan banyak orang dan  bisa melakukan sesuatu buat orang banyak,” katanya

“Sebagai reporter dan pembaca berita TVRI, memang banyak keuntungannya. Waktu  itu jumlah wartawan sangat terbatas, hanya ada Sambas dan  saya. Jadi kalau ada event All England, atau kalau ada menteri bertugas ke Luar Negeri, saya dan Sambas dari TVRI selalu diajak. Dengan begitu, saya  menjadi terkenal atau dikenal banyak orang, bisa ketemu para pejabat penting negara, termasuk presiden, dan bisa bepergian ke mana-mana,” tutur Rusdi.

Bayangkan saja, lanjutnya, sebagai orang TVRI saya bisa mengunjungi hampir seluruh daerah di Indonesia, kecuali Aceh dan Sulawesi Tenggara. “Untuk tingkat dunia, saya sudah pernah berkunjung ke sekitar 40 negara. Bagi saya itu ‘kan anugerah yang luar biasa,” ujarnya.

Menurut Rusdi, salah satu pengalaman paling berkesan sebagai reporter TVRI adalah mendapat kesempatan mewawancarai secara langsung Presiden Soeharto yang berada di Cendana, Jakarta,  dari Florida Amerika Serikat. “Itu dalam rangka peresmian satelit Palapa,” ujarnya.

Jadi, Rusdi boleh dikenang sebagai wartawan Indonesia pertama yang melakukan tele-interview antara  benua.

Lely (kiri), Rusdi Saleh (duduk) dan Lahyanto Nadie. Foto: Ferdiansyah

MEMPERSUNTING MISS ASIA

Cita-cita besar Rusdi ternyata benar-benar membuat  dirinya berada bersama sang ‘bintang’ yang sesungguhnya. Pada 31 Maret 1974, Rusdi yang berusia 34 tahun,  resmi menikahi Lely Herawati Sundoro yang berumur 24 tahun.

Menurut catara Majalah Tempo, Lely adalah Miss Asia pada 1972. Sesungguhnya, keberangkatan Lely ke konteks kencatikan Asia di Manila itu karena faktor keberuntungan semata. Betapa tidak, Lely sendiri adalah juara ketiga Ratu jakarta. Oleh karena Ratu Jakarta, Burhan Ali berhalangan, maka Lely yang diutus ke Manila dan merebut Miss Asia.

Rusdi mengisahkan, mereka menikah setelah berpacaran sekitar empat tahun lamanya. Perkenalan pertama terjadi di Cottage Ancol, ketika menghadiri acara ulang tahun Muhammad Aribasah SH (almarhum), paman Lely.

Menurut Lely, waktu menikah, ia sendiri masih kulian di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. “Nah, setelah menikah, saya kembali melanjutkan kuliah.”

Buah perkawinan  Rusdi dan Lely yaitu Alfa Putransyah, dan Beta Anggini. Dari Beta, Rusdi dan Lely mendapat  dua cucu, yaitu Calista Cantana Ramdani sekarang kelas dua SMA, dan Samya Kirana Ramdani.  Sementara itu, dari Alfa mereka mendapat dua cucu juga yaitu  Anabel Malik (9), dan  Araya (3).

 MENJADI WAKIL RAKYAT

Rusdi mengisahkan, sebagai ‘orang terkenal’ dirinya direkrut oleh  Golongan Karya (Golkar) menjadi ‘vote getter’ dalam Pemilu 1987. Namun, rupanya petinggi Golkar waktu itu hanya memperlakukan kami sebagai ‘vote getter’. Artinya, setelah meraih kemenangan, kami yang diberi status sebagai ‘vote getter’ dicoret, dan digantikan dengan kader Golkar yang lain.

“Setelah tahu bahwa soal ‘vote getter’ tidak ada dalam Undang-Undang Pemilu, ketika disodorkan  formulir apakah ‘bersedia’ atau ‘tidak bersedia’ menjadi DPR, saya contreng di kolom ‘bersedia’.  Soalnya, saya ‘kan ingin merasakan bagaimana menjadi seorang DPRD,” cerita Rusdi.

Karena mendengar hendak dicoret oleh Pimpinan Golkar, Rusdi mendektati Pak Kentot Harseno, yang kemudian menjadi Panglima Kodam Jaya  (1989-992) . Dalam rapat pimpinan Golkar yang berlangsung sampai tengah malam, Pak Kentot mengatakan kepada peserta rapat bahwa  Rusdi harus jadi DPR, kalau tidak dia yang mundur dari pimpinan Golkar. “Dengan demikian, saya pun menjadi wakil rakyat, anggota DPRD,” tuturnya.

Yang menarik, tambahnya, selama kurang lebih tiga bulan, Rusdi Saleh menerima gaji double, dari dua sumber, satu dari TVRI atau Kementerian Departemen Penerangan, dan satunya lagi dari DPR. “Rupanya, hal itu terjadi karena baru pertama kali terjadi orang dari kalangan eksekutif yang menjadi legislatif. Namun, setelah tiga bulan, saya dapat surat  yang isinya saya diminta memilih, apa menerima gaji dari Kementerian Departemen Penerangan, atau dari DPR.  Yan, tentu saja saya pilih dari DPR karena nilainya tiga kali lebih besar,” ujarnya.

Majalah ‘Legislatif Jaya’ Volume 12, No. 4, Tahun 1994,  menulis bahwa Drs. Rusdi Saleh adalah anggota Komis ‘C’ DPRD DKI Jakarta. (Menurut cerita Rusdi sendiri,  ia menjadi DPRD untuk dua peride: 1987-1992, dan 1992-1997). Ia lahir 7 Juli 1942 di kota Jakarta.

Pada 1979, Rusdi  mengikuti pendidikan News Exchange Corses, AIBD, Kuala Lumpur. Kemudian, pada 1983 mengikuti pendidikan TV News and Current Affairs, SFB, Berlin Barat. Tahun 1985 mengikuti International  Broadcasters Workshop, KBS, Seoul. Lalu pada  1986 menjalani Audience Research, TVRI-AIBD, Jakarta.

Majalah tersebut juga mencata bahwa Rusdi  pernah menjadi aktif di sejumlah organisasi. Antara 1967-1971, ia  menjadi anggota Pengukrus Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Antara 1969-1979, ia  menjadi Sekjen Yayasan Moh, Husni Thamrin (YMHT). Selanjutnya, mulai 1979, ia menjadi Anggota Dewan Pengurus Ikatan Warga Djakarta (WARDA). Pada 1983-1988, ia  menjadi ketua Umum Lembaga  Kebudayaan Betawi (LKB). Selanjutnya, 1986-1990ia menjadi Wakil ketua Bidang Penbid-Masmed DPD Serika pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) DKI jakarta.  Pada 1990-1995, ia dipercayakan  sebagai ketua Bidang Penbid-Masbed DPD Majelsi Daakwah Islamiyah (MDI) DKI Jakarta. Kemudian, anatara 1990-1995, ia menjadi  ketua Bidang Budaya Badan Musyawarah Betawi (BAMUS BETAWI).

Rusdi ketahui  pernah menekukan sejumlah pekerjaan. Ia pernah  menjadi wartawan harian KAMI (1967-1969),  pegawai TVRI (Deppen) mulai 1996 (Rusdi mengatatakan, ia  pensiun pada 1997). Kemudian 1991-1993 dan 1993-1995 (dua periode) ia menjadi Anggota Dewan Siar Nasional. Lalu  ia menjadi  Wakil Ketua Kosgoro DKI Jakarta (1993-1998).

TERUS BERBAKTI

Kendati sudah mengakhiri masa baktinya sebagai pegawai TVRI Deppen RI, Rusdi terus aktif berbakti bagi masyarakat. Rusdi misalnya, duduk sebagai anggota Forum Pengkajian dan Pengembangan Setu Babakan.

“Saya punya keinginan agar, Setu Babakan menjadi Pusat Kebudayaan Betawi dan obyek pariwisata berskala nasional, entah dikelola oleh Badan Otorita, ataupun oleh swasta. Pokoknya, itu harus dikelola secara profesional,” ujarnya.

Selain itu, Rusdi  aktif memperjuangkan agar Ismail Marzuki diakui sebagai pahlawan nasional.

Memang, waktu mengusulkan Ismail Marzuki melalui Depertemen Sosial , ada pejabat di istana negara yang berkeberatan, karena menganggap Ismail Marzuki   tidak  pernah melakukan perjuangan bersenjata.

“Namun, saya terus mendesak. Karena menurut saya yang pantas disebut pahlawan adalah orang yang  mengobarkan semangat perjuangan. Ismail Marzuki melalui lagu-lagu yang digubahnya,   seperti  ‘Halo Halo Bandung’, ‘Indonesia Pusaka’, ‘Rayuan Pulau Kelapa’ dan lagu legendaris lainnya, telah mengobatkan semangat perjuangan di hati seluruh warga bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke,” ujarnya.

Perjuangan Rusdi  pun tidak sia-sia. Pada 2004, Ismail Marzuki menerima gelar Pahlawan Nasional yang diwakili oleh anak angkatnya Rachmiaziah Ismail Marzuki. Gelar ini diberikan langsung oleh  Susilo Bambang Yudhoyono, yang waktu itu menjabat sebagai Presiden RI.

TIGA KARAKTER UTAMA

Bapak Rusdi Saleh Foto: Ferdiansyah

Dari permenungannya,  Rusdi,  menyimpulkan bahwa dari diri setiap manusia terdapat tiga sifat atau karater utama yang dapat dikelola agar bisa bertumbuh menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain. Pertama, sifat atau karekter ketuhanan atai keilahian. Sifat ini tampa dalam sikap taqawa kepada Tuhan, dan patuh kepada orangtua. Setiap manusia harus berusaha mengembangkan sifat-sifat keilahian tersebut.

Kedua, sifat atau karakter insaniah yang tampak dalam sikap irihati, dengki, cemburu. “Setiap manusia, harus berusaha untuk mengubah sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang positif tolong menolong, gotong-royong.

Ketiga, adalah sifat atau karakter sataniah yang tampak dalam perubatan mencuri, merusakan, membunuh, dan merusakkan alam lingkungan. Setiap manusia harus berusaha sekuat tenaga untuk menghapus atau membasmi sifat-sifat sataniah tersebut.

“Nah, jika setiap orang dapat mengelola ketiga sifat tersebut secara tepat, maka ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang berguna bagi banyak orang,” tandasnya

 

Berita Lainnya