Figur Headline Humaniora

Kenangan Rusdi Saleh bersama Rochjani Soe’oed dari Gedung Joang Hingga Muhammad Hoesni Thamrin



single-image
Rusdi Saleh

INDOWORK.ID, JAKARTA: Ngobrol bareng budayawan Betawi Rusdi Saleh pada Jumat sore, 31 Mei 2024, di kediamannya kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, banyak cerita yang selama ini belum terkuak. Ia memulai cerita dari sejarah hingga harapan bertambahnya tokoh Betawi menjadi Pahlawan Nasional.

Ingatan Rusdi, jauh ke belakang. Ia bercerita tentang persahabatannya dengan Muhammad Rochyani Soe’oed, Ketua Pemoeda Kaoem Betawi yang ikut menandatangani naskah Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928.

Isi Soempah Pemoeda itu, Rusdi Masih ingat di luar kepala dalam usianya menjelang 82 tahun.

Pertama, KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA MENGAKU BERTUMPAH DARAH YANG SATU, TANAH AIR INDONESIA;
Kedua, KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA MENGAKU BERBANGSA YANG SATU, BANGSA INDONESIA;
Ketiga, KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.

Rusdi bercerita bahwa pertemuannya dengan Rochjani Soe’oed untuk pertama kalianya di Gedung Joang, Jalan Menteng Raya 31, Jakarta Pusat.  Gedung Joang ’45  atau Museum Joang 45 adalah salah satu museum yang berada di Jakarta. Museum ini awalnya dikelola oleh Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta, dan selanjutnya untuk saat ini pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Dalam ingatan Rusdi pertemuan itu dalam rangkaian ulang tahun Kota Jakarta pada 1966. “Masih Zaman Bung Karno, Orde Lama,” katanya.

MASALAH HUKUM

Perbincangan Rusdi dengan tokoh Betawi di pentas nasional tersebut seputar upaya untuk memajukan kaum Betawi ketika itu. “Maklum, zaman itu jangankan berbicara tentang perjuangan, mengaku sebagai orang Betawi saja masih banyak yang malu,” kenang ayah dua anak itu.

Rochjani juga bercerita tentang persoalan hukum di Tanah Air pada masanya. Rusdi yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tentu saja tertarik tentang pembahasan topik penegakan hukum di masa-masa akhir Orde Lama.

Rusdi mengenang pembicaraannya kepada Rochjani dalam suasana yang akrab meskipun mereka baru pertama kali saling mengenal. “Pembawaan Pak Rochjani tenang dan tutur katanya tersusun dengan baik. Maklum, beliau ahli hukum,” kata pendiri Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) tersebut.

Kebiasaa Rochji adalah setiap pergi ke mana pun selalu membawa buku. Cara membawanya pun cukup unik yaitu buku dipegangnya dengan tangan kiri dan dedekapkan di dadanya. Hal itu dilakukannnya ketika sedang berjalan sepanjang jalan Menteng Raya hingga ke Cikini, Jakarta Pusat.

Penyiar TVRI yang populer pada 1970-1980-an tersebut mendeskripsikan sosok Rochjani sebagai orang yang berpenampilan rapi. “Pakaiannya perlente. Keren. Sesuai pada zamannya.”

BERLANJUT KE KENARI

Setelah pertemuan di Gedung Joang itu, perjumpaan Rusdi dengan Rochjani berkelanjutan. Perbincangan selanjutnya berlangsung di Jalan Kenari, Jakarta Pusat, rumah milik  Mohammad Hoesni Thamrin. Kini Gedung Mohammad Hoesni Thamrin atau Museum Mohammad Hoesni Thamrin menjadi museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan Kenari II No. 15, Jakarta Pusat. Keberadaan museum ini berada dekat di sekitar Universitas Indonesia Salemba, Universitas Gunadarma Kampus A, dan Pasar kenari.

Koleksinya terdiri atas warisan-warisan budaya Betawi. Gedung pertemuan yang terletak di Jalan Kenari II No. 15, Senen, Jakarta Pusat. Gedung ini sering disebut “Gedung Kenari”. Semula merupakan rumah tinggal orang Belanda yang bernama Meneer de Has yang dibeli Thalmin pada  1929.

KURSUS POLITIK

Rumah tokoh Betawi ini kemudian digunakan untuk tempat kursus pengetahuan umum dan pertemuan politik. Kursus politik diadakan oleh kaum nasionalislainnya seperti Mr. Soenario, dan Mr. Sartono. Kursus ini banyak menarik minat kaum muda, laki-laki dan perempuan.

Pada  1929 di gedung ini diperdengarkan lagu Indonesia Raya, kemudian gedung ini dipakai oleh organisasi-organisasi kebangsaan.

Setelah revolusi kemerdekaan gedung tersebut digunakan sebagai sarana pendidikan yang kemudian pada 29 Agustus 1994, dihibahkan oleh ahli waris kepada Pemda DKI Jakarta dan selanjutnya dikelola oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Di dalamnya ditampilkan foto-foto dokumentasi pahlawan Mohammad Husni Thamrin dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, serta peranan gedung tersebut pada masa lalu.

Perbincangan Rusdi dengan Rochani Soe’oed berlangsung sekitar akhir 1966, ketika usia Rusdi baru 22 tahun. Rochjani bercerita tentang kepahlawanan Thamrin dan perjuangannya sejak 1908 saat Kebangkita Nasional.

JASA THAMRIN UNTUK KEMERDEKAAN

Rochjani ketika itu menjelaskan bahwa Mohammad Hoesni Thamrin menjadi Pahlawan Nasional karena jasa-jasanya terhadap persiapan kemerdekaan Republik Indonesia.

Thamrin lahir di Weltevreden, Batavia, pada 16 Februari 1894. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda.

Sementara itu kakeknya, Ort,  seorang Inggris, merupakan pemilik hotel  di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama Noeraini. Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana di bawah Giubernur Jenderal Johan Cornelis van Der Wijck.

Setelah lulus dari. Gymasium Koning Willem III te Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatshchappij.

TOKOH PERGERAKAN NASIONAL

Munculnya Mohammad Hoesni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang berkaliber nasional tidaklah mudah. Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari bawah, dari tingkat lokal. Dia memulai geraknya sebagai seorang tokoh (lokal) Betawi. Thamrin sejak muda telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang sehari-hari dilihatnya.

Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat jelata. Malah, dia sangat dekat dengan mereka. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya, yang terdiri dari anak-anak rakyat jelata, dia pun tidak canggung-canggung untuk mandi-mandi bersama di Sungai Ciliwung. Dia tidak canggung-canggung untuk tidur bersama mereka, sebagaimana yang pernah disaksikan oleh ayahnya sendiri. Kelincahannya sebagai pemimpin agaknya telah menampak sejak ia masih berusia remaja.

Thamrin meningal pada 11 Januari 1941. Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 175 tahun I960 tertanggal 28 Juli 1960.

Ngobrol dengan Rusdi Saleh setelah shalat ashar, memang asyik.  Ditemani suguhan minuman dan penganan kecil yang disediakannya, waktu mengalir tak terasa berlangsung lama. Ia berjanji akan meluangkan waktu untuk bercerita kembali tentang Rochjani Soe’oed yang diharapkan menjadi pahlawan nasional dari Betawi.

Saat ini ada empat tokoh Betawi yang telah menjadi pahlawan nasional dari Betawi yaitu MH Thamrin, KH Noer Ali, Abdul Rachman Saleh, dan Ismail Marzuki. “Nanti kite sambung lagi ye,” katanya dengan logat Betawi yang kental. Maklu, Rusdi anak Tenabang.

*) Ditulis oleh Lahyanto Nadie, Redaktur Khusus Indowork.id

 

Berita Lainnya