INDOWORK.ID, JAKARTA:ย Di pagi yang lengang, saya membuka halaman koran dengan bunyi khas: kertas menggesek udara, aroma tinta yang tak tergantikan oleh layar ponsel. Rasanya seperti membuka pintu rumah masa kecilโakrab, hangat, tapi terasa jauh.
Koran zaman sekarang makin tipis, iklannya pun makin sedikit. Makin jarang saya melihat orang membaca atau beli koran di pinggir jalan, di halte, di stasiun, juga di tempat lain.
Pertanyaan yang terus menghantui: apakah media cetak sekarat? Atau ia hanya menua dengan anggun, menunggu bentuk barunya sendiri?
Hari ini, orang membaca berita dengan cara menggesek layar, bukan membalik halaman. Notifikasi lebih cepat dari detik jam, dan headline kini bersaing dengan meme, thread di X, dan video kucing di TikTok.
SURAT DARI MASA LALU
Di tengah gegap gempita digital itu, koran terasa seperti surat dari masa lalu. Dilirik sebentar, lalu ditinggalkan.
Tapi tunggu dulu. Bukankah sesuatu yang lambat tak selalu usang?
Kadang, yang pelan justru menyimpan kedalaman.
Kadang, yang dilupakan adalah yang kita butuhkan diam-diam.
Dalam buku Breaking News: The Remaking of Journalism and Why It Matters Nowย (2018), Alan Rusbridgerโmantan pemimpin redaksi The Guardianโmenulis bahwa jurnalisme kini berada di antara dua kutub: bisnis dan kepercayaan.
Media cetak, yang pernah menjadi simbol otoritas dan keandalan, kini terjepit di antara pendapatan iklan yang menguap dan pembaca yang pindah ke dunia daring.
Ironisnya, justru di tengah kelelahan digitalโdi mana berita datang terlalu cepat untuk dicernaโmuncul kerinduan terhadap yang lambat dan bermakna.
Di sinilah media cetak, atau lebih tepatnya ๐จ๐ก๐ค๐ฌ ๐๐ค๐ช๐ง๐ฃ๐๐ก๐๐จ๐ข, mendapat ruang. Bukan sebagai pesaing berita cepat, tapi sebagai penyeimbang.
PENJAGA AKAL SEHAT
Seorang jurnalis senior pernah berkata, โKita bukan sekadar pencatat kejadian, kita adalah penjaga akal sehat publik.โ Tapi bagaimana menjaga akal sehat kalau semua berita diburu demi klik, bukan demi kebenaran?
Media cetakโdengan segala keterbatasannyaโmasih menyimpan ritual jurnalistik yang sakral: riset, jeda, editor yang menyunting dengan cermat, dan waktu terbit yang memberi ruang berpikir. Seperti masakan yang dimasak pelan, bukan instan. Ia tak hanya memberi informasi, tapi juga rasa percaya.
Dan memang, ada yang memilih tetap setia. Lihat koran ๐
๐๐ฌ๐ ๐๐ค๐จ, ๐๐ค๐ข๐ฅ๐๐จ, ๐๐๐๐๐ ๐๐ฃ๐๐ค๐ฃ๐๐จ๐๐, ๐๐๐ ๐ฎ๐๐ฉ ๐๐๐ง๐๐๐ ๐, ๐๐๐ ๐๐๐ฌ ๐๐ค๐ง๐ ๐๐ง, ๐๐ค๐ฃ๐ค๐๐ก๐โsemua tetap mencetak, bukan karena keras kepala, tapi karena tahu bahwa sebagian pembaca tidak mencari kecepatan, tapi kedalaman.
Sebagian dari kita masih ingin membaca, bukan sekadar mengonsumsi.
Kita tentu tak bisa menutup mata: media cetak akan terus menyusut. Tak semua bisa bertahan. Banyak yang akan hilang, seperti warung koran yang kini digantikan warung pulsa. Dan itu bukan aib. Karena setiap zaman punya mediumnya, tapi tidak semua medium mampu menjaga muruah jurnalisme.
Apakah media cetak akan mati?
Mungkin iya, dalam bentuk lamanya. Tapi bisa jadi, ia akan hidup dalam bentuk baru: sebagai edisi khusus, sebagai artefak budaya, atau sebagai simbol perlawanan terhadap kebisingan digital.
Bagi wartawan muda, ini bukan ajakan untuk menulis dengan mesin tik atau bercita-cita jadi editor halaman depan.
Ini adalah undangan untuk menulis dengan perlahan tapi pasti.
Untuk merawat empati, bukan sekadar algoritma.
Untuk membangun narasi, bukan hanya memuntahkan fakta.
Karena seperti kata Ryszard Kapuลciลski, โGood journalism is not about speed, but about understanding.โ Dan itu tak akan pernah kedaluwarsa, di kertas atau di layar.

Jadi, apakah media cetak akan jadi bagian dari sejarah jurnalistik?
Tentu sajaโsejarah yang layak dikenang, bukan dikubur.
Siapa tahu, dari sejarah itulah kita bisa belajar:
bahwa dalam dunia yang semakin cepat, wartawan yang mampu berhenti sejenak adalah mereka yang bisa melangkah paling jauh.
*) Ditulis oleh Wicaksono, Kreator Digital
Leave a reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *