Kecelakaan Pesawat, Paling Sering Karena Faktor Human Error

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Kecelakaan pesawat udara selalu disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab utamanya faktor teknis (technical problem), cuaca/alam (weather); dan kesalahan manusia (human error).

Menurut data statistik yang diolah dan disampaikan oleh Erick Burgueno Salas (2022),  41% dari 262 kecelakan pesawat udara antara periode 2016 dan 2020 disebabkan oleh faktor kesalahan manusia (human error) dan pelanggaran peraturan (violation of rules).

Di antara human error yaitu kurang cermat dalam membaca manual handling; dan/atau kurang latihan (training) sehingga dalam kondisi kritis tidak dapat mengontrol pesawat udara (flight control). Selain kesalahan manusia, kecelakaan pesawat juga disebabkan oleh pelanggaran aturan (violation of rules) yang dilakukan oleh manusia dan/atau perusahaan.

PILOT KURANG LATIHAN

Hemi Pramuraharjo

Pelanggaran oleh manusia, misalnya, pilot kurang mendapatkan latihan yang layak, kurang mencermati hal-hal penting, tidak mengindahkan kondisi cuaca, kelelahan, kurang komunikasi, stress, dan lain-lain (Khan, Siddique and Farrukh, 2022). Selain dari itu 7% kecelakaan disebabkan oleh kesalahan manufaktur (manufacture failure) termasuk sistem atau komponen yang malfungsi (Airbus, 2022).

Amerika Serikat yang telah memiliki peraturan terkait tanggung jawab pabrik (product liability) untuk pesawat udara yang dipergunakan untuk penerbangan non-niaga (general aviation) melalui U.S. General Aviation Revitalization Act of 1994 (GARA) (usia pesawat udara harus 18 tahun beroperasi untuk dapat menuntut) dan Uni Eropa melalui  EU Directive 85/37417 (usia pesawat udara harus 10 tahun beroperasi untuk dapat menuntut  (Zhang and Zhang, 2023).

Mengingat potensi kerugian yang harus ditanggung perusahaan jika terjadi kecelakaan penerbangan yang mengharuskan pemberian kompensasi, setiap perusahaan angkutan udara wajib memiliki asuransi. Hal ini diatur dalam Article 50 Konvensi Montreal 1999. Adetola Adegbayi,(2016) menjelaskan bahwa kewajiban, atau keadaan berada di bawah kewajiban, merupakan tanggung jawab hukum dan moral.

Kewajiban hukum, dapat dipaksakan dalam bentuk tanggung jawab kehati-hatian dalam menjalankan tugas (duty of care)atau dengan persetujuan/kontrak yang disengaja yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi atau tindakan yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran terhadap kontrak tersebut dapat mengakibatkan pengenaan sanksi dan/atau pemberian kompensasi. Karena tingginya potensi risiko penumpang Jika terjadi kecelakaan pesawat, perusahaan angkutan udara niaga dapat  menjadi bangkrut dan dilikuidasi jika mereka tidak mengasuransikan penumpangnya  (Hadiati, Djajaputra dan Martono, 2017).

MENUNTUT KONPENSASI

Menurut J.J. Kennelly (Verschoor, 1988) , ada 3 cara penumpang dapat menuntut kompensasi tidak terbatas (unlimited liability) dengan mengacu pada prinsip presumption of liability.  Kompensasi tidak terbatas (unlimited liability) ini dapat diukur berdasarkan “nilai (value)” seorang korban.

Nilai (value) seseorang tidak hanya dinilai berdasarkan nilai individual yang berupa antara lain pendapatan dan pelayanan yang diterima selama masih hidup, tetapi juga “nilai kemasyarakatan (contribution to society)” atau dapat dikatakan status sosial dari korban. (Jacob and Kiker, 1996).

Tiga kondisi di mana penumpang berhak mengajukan kompensasi tidak terbatas tersebut(unlimited liability) adalah:

Pertama, membuktikan bahwa pengangkut udara bersalah atas kesalahan yang disengaja;

Kedua, membuktikan bahwa tiket tidak diserahkan kepada penumpang;

Ketiga, membuktikan bahwa tiket yang diserahkan kepada penumpang tidak memuat peringatan yang memadai tentang Larangan Konvensi Warsawa.

TUNTUTAN AHLI WARIS

Selain tuntutan kepada perusahaan angkutan udara, tuntutan ahli waris terhadap cacat produksi (product defects) pesawat udara bukan merupakan isu hukum baru dalam industri penerbangan sipil. Kasus pertama gugatan terhadap pabrik pembuat pesawat udara (product liability) terjadi pada 1937 saat pengadilan Michigan dalam kasus Mynard vs Stinson Aircraft Corporation menyatakan bahwa Stinson Aircraft Corporation telah melakukan kesalahan (negligent)terhadap pesawat udara yang diproduksinya (Khouri, 1980).

*) Ditulis oleh Hemi Pramuraharjo, penulis buku Hukum Penerbangan Indonesia.
Aviation accidents are on the rise due to human error, contributing to the majority of events and resulting in catastrophic consequences. Statistics compiled by the International Air Transport Association (IATA) show that human error is the largest factor in aviation accidents, accounting for 84 percent of incidents.

Studies conducted by the National Transportation Safety Board (NTSB) have found that human error is the most influential and biggest contributor to aviation accidents. Common errors include inadequate communication between air traffic control and pilots, incorrect decision making, and insufficient maintenance and follow-up on aircraft systems and components.

Human errors are generally divided into three categories: Pilot error (which accounts for 56 percent of accidents), Air Traffic Control error (accounting for 25 percent) and maintenance error, which accounts for 18 percent of all accidents. Pilot error can occur in different ways, including poor judgment, lack of experience and training, failure to follow procedures, lack of knowledge of aircraft and aviation systems, and fatigue or distraction. Air Traffic Control errors can include incorrect instructions, inadequate air traffic coordination, or failure to monitor flight progress. Maintenance errors typically occur due to insufficient quality control and failure to properly maintain aircraft.

The NTSB has also found that human performance has a significant effect on aviation safety, affecting both the frequency and severity of accidents. To combat human error and mitigate its impact on aviation safety, it is essential that pilots and air traffic controllers receive thorough training and experience before taking on responsibility for flight operations. Furthermore, aircraft maintenance requires close monitoring to identify and repair any faulty components before flight.

Ultimately, human error can have a devastating, exponential impact on aviation safety. To ensure the safety of the public it is important to focus on not only aviation maintenance and procedures, but also the quality of human performance in the aviation industry.

16 Ruas Tol Siap Dioperasikan Jelang Mudik Lebaran 2023

Sebanyak 16 ruas jalan tol direncanakan beroperasi secara fungsional untuk mengakomodasi lonjakan kendaraan pada arus mudik Lebaran tahun ini. Tidak hanya di Jawa, beberapa ruas tersebut juga terdapat di Sumatra.

Dalam laman resmi Dirjen Bina Marga, Kementerian PUPR, Ruas tol lain yang disiapkan untuk beroperasi saat Lebaran 2023 adalah Tol Jakarta-Cikampek II Selatan Paket 3 (Kutanegara-Sadang) sepanjang 8,5 km, Cimanggis-Cibitung Seksi 2A (Jatikarya-Cikeas) sepanjang 3,5 km, Cinere-Jagorawi Seksi 3B (Krukut-Limo) sepanjang 2,19 km, dan Serpong-Balaraja Seksi 1B (CBD-Lego) sepanjang 5,4 km.

Untuk wilayah Sumatera, ruas tol yang disiapkan beroperasi saat arus Lebaran adalah Tol Sigli-Banda Aceh Seksi 5 dan 6 (Blang Bintang-Kuto Baro-Baitussalam) sepanjang 12,4 km. Selain itu, ruas Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat Seksi 1 sepanjang 20,4 km, Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat Seksi 2 sepanjang 18,05 kilometer, Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat Seksi 3 sepanjang 30 km, dan Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat Seksi 4 sepanjang 28 km.

Sementara yang aka dibuka secara fungsional adalah Tol Serpong-Cinere Seksi 2 (Pamulang-Cinere) sepanjang 3,64 kilometer (km) dan Tol Cibitung-Cilincing Seksi 4 (Taruma Jaya-Cilincing) sepanjang 7,29 km. ”Ini (Cibitung-Cilincing) pendek-pendek, tapi sifatnya menyambungkan,” lanjut Hedy.

Selain itu, ada ruas jalan Tol Cileunyi–Sumedang–Dawuan (Cisumdawu) Seksi 6A dan 6B (Ujung Jaya-Dawuan) sepanjang 5,10 km, Cisumdawu Seksi 4A dan 4B (Cimalaka-Legok) sepanjang 8,2 km, dan Cisumdawu Seksi 5A dan 5B (Legok-Ujung Jaya) sepanjang 14,9 km. Ada pula ruas Tol Ciawi-Sukabumi Seksi 2 (Cigombong-Cibadak) sepanjang 11,9 km dan Pasuruan-Probolinggo Seksi 4A (Probolinggo Timur-IC Gending) sepanjang 8,55 km.

Pada saat mudik, tol atau jalan bebas hambatan merupakan tulang punggung dalam upaya menekan waktu tempuh perjalanan. Pembangunan tol di sejumlah wilayah diharapkan mampu mengejar target waktu tempuh perjalanan menjadi 1,9 jam per 100 kilometer hingga tahun 2024.

Pada tahun 2022, realisasi waktu tempuh pada lintasan yang menjadi obyek pengukuran rata-rata masih 2,24 jam per 100 km atau setara kecepatan kendaraan 45 km/jam.
Just in time for Lebaran in 2023, sixteen new toll roads across Indonesia are set to open. The news was announced by the Minister of Public Works and Public Housing, Basuki Hadimulyono, who shared that the construction process is in its final stage and ready for operation.

This initiative is expected to help reduce traffic during the peak of the mudik holiday season, offering ease of access for those travelling from near and far to visit family during the festivities.

The open toll roads span across Indonesia, from Sumatra to Java, Bali, and Kalimantan. The roads also include the Banyuwangi Selatan portion of the Pacitan-Banyuwangi Toll Road, linking Surabaya, the capital of East Java, with Banyuwangi. Other routes include the South Palangkaraya Manau Pesuri Toll Road, the Tebing Tinggi South Sumatra-Jambi Toll Road, and the Palu-Kelay Toll Road of Central Sulawesi.

Interestingly, the toll roads do not just focus on transportation infrastructure; they also feature various other facilities such as rest stops, playgrounds, places of worship, and other amenities that make travel more enjoyable.

Minister Basuki acknowledged the importance of considering public convenience and safety in developing infrastructure, saying that the Ministry will continue to ensure traveller comfort and security. The Ministry is also currently studying new toll road construction in North Sulawesi, South Kalimantan, Maluku, and other areas in anticipation of Lebaran 2023.

With the imminent opening of these toll roads, Lebarans to come are going to be much smoother, faster, and more comfortable for everyone.

Kecelakaan Pesawat? Tanggung Jawab Maskapai Doong…

INDOWORK.ID, JAKARTA: Praduga bersalah (presumption of liability) merupakan prinsip dasar yang dipakai oleh Konvensi Montreal 1999 dan UU 1/2009 dalam pemberian kompensasi kecelakaan penerbangan komersial. Prinsip ini mengandung makna bahwa pengangkut wajib membayar kompensasi jika terjadi kecelakaan tanpa harus dibuktikan kesalahannya.

Presumption of liability adalah asumsi bahwa tanggung jawab atas kecelakaan penerbangan dibebakan kepada perusahaan angkutan udara niaga (Goonetilleke, 2006), kecuali mereka dapat membuktikan bahwa kecelakaan tersebut diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak dapat dihindari atau keadaan yang di luar kendali mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan angkutan udara niaga memiliki beban bukti untuk membuktikan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kecelakaan penerbangan (Legnaro, 2007).

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI

Konvensi Montreal 1999, yang merupakan perbaikan dan pengembangan dari Konvensi Warsawa, juga mengakui asumsi tanggung jawab default bagi perusahaan angkutan udara niaga dalam pasal 17. Namun, Konvensi Montreal juga memperluas tanggung jawab perusahaan angkutan udara niaga dengan mencakup kerusakan akibat keterlambatan dan kerusakan bagi penumpang dengan kebutuhan khusus  (Luft, 2013).

Sedangkan batasan besaran kompensasi (limitation of liability) dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan usaha pengangkut dan melindungi pengangkut dari tuntutan tak terbatas oleh ahli waris penumpang (Riadhy Arafah dan Amelia, 2019).

Kecelakaan pesawat udara yang menyebabkan korban meninggal dunia tidak hanya merugikan perusahaan angkutan udara, tetapi juga keluarga penumpang yang ditinggalkan. Oleh karenanya, kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan angkutan udara bukan bertujuan untuk mengganti nyawa penumpang yang hilang, tetapi merupakan upaya untuk mengembalikan keseimbangan kepada korban atau keluarganya yang sudah menderita akibat perjanjian atau kontrak yang gagal (Riadhy Arafah dan Amelia, 2019).

Hal inilah yang mendasari diberlakukannya prinsip “praduga bersalah dan “pembatasan kompensasi. Namun demikian, ahli waris dapat menuntut kompensasi tambahan tanpa ada batasan (unlimited liability) apabila kejadian atau kecelakan yang menyebabkan penumpang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka disebabkan adanya unsur kesengajaan (willful misconduct) atau kesalahan (negligent) dari perusahaan angkutan udara atau orang yang dipekerjakan.

DAPAT MENUNTUT

Konvensi Warsawa 1929,  Konvensi Montreal 1999 dan UU 1 Thn 2009 mengatur tentang kasus-kasus di mana penumpang dapat mengajukan tuntutan kompensasi yang lebih besar dari batasan tersebut, yaitu melalui Prinsip “unlimited liability“.

Dalam Konvensi Montreal, pasal 21(2) menyatakan bahwa batas kompensasi yang ditetapkan sebesar 128.821 SDR (Special Drawing Rights) hanya berlaku jika kecelakaan penerbangan terjadi karena kesalahan perusahaan angkutan udara niaga. Jika kecelakaan penerbangan terjadi karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga dengan sengaja atau karena kelalaian yang dilakukan dengan kesadaran bahwa kecelakaan tersebut mungkin terjadi, maka berdasarkan Pasal 21(1) Konvensi Montreal 1999, penumpang dapat mengajukan tuntutan kompensasi yang tidak terbatas (unlimited liability).

Sedangkan dalam Permenhub 77 thn 2011 Pasal 3 huruf a)  menyatakan bahwa besaran masksimum kompensasi perusahaan angkutan udara niaga untuk penumpang meninggal dunia sebesar Rp1,25 miliar. Sedangkan untuk tuntutan kompensasi tidak terbatas (unlimted liability) diatur dalam Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) UU 1 Thn 2009.

*) Ditulis oleh Hemi Pramuraharjo, penulis buku Hukum Penerbangan Indonesia.
Aviation Accidents: Airlines’ Responsibility

Aviation accidents can be devastating, resulting in serious injury, death and massive medical bills. When an airplane crash happens, it’s important to understand who bears responsibility. Airlines are generally responsible for compensating passengers and their families in the event of an aviation accident, but what exactly is their responsibility?

When it comes to aviation accidents, a key question is, who is liable? The answer often depends on the circumstances, but the airline is generally considered responsible. Airlines are responsible for compensating victims and their families for injuries, deaths, and other damages caused by an airplane crash.

The Federal Aviation Administration (FAA) regulates the rules and regulations governing airline safety. Among the most important is the Aviation Safety Reporting System, which also includes regulations around passenger safety. Airlines are required to comply with these regulations or face serious fines or suspensions of operations.

Some other regulatory topics that airlines must adhere to include maintenance requirements, screening of passengers and crew, proper operation of the aircraft, and measures for emergency situations. Airlines must also be transparent about any and all safety policies and procedures that they have in place.

Additionally, airlines are responsible for providing passengers with a safe and secure flight experience. This includes ensuring that the aircraft is properly maintained, all onboard safety and emergency systems are in place and functioning correctly, and that all emergency exits are clearly and easily identifiable. Airlines must also provide passengers with an emergency contact and emergency exits upon takeoff, as well as any other necessary safety and emergency equipment.

Ultimately, when an airline is found liable for an aviation accident, the airline’s responsibility is clear. Passengers and their families are entitled to compensation for any injuries, damages or deaths that occurred as a result of the accident. Airlines must take all necessary steps to ensure passenger and crew safety, and are expected to provide adequate compensation when something goes wrong.

Transportasi Paling Aman, Bagaimana Jika Terjadi Kecelakaan?

INDOWORK.ID, JAKARTA: Pesawat udara merupakan sarana angkutan yang secara teknis sangat aman dibandingka dengan sarana angkutan lainnya (Hannah, 2013). Berdasarkan  ICAO Safety Report Edisi 2020 dinyatakan bahwa pada 2019 telah terjadi kecelakaan fatal sebanyak 2,9 kejadian dari 1 juta keberangkatan pesawat di seluruh dunia. Angka ini meningkat 12% dibandingkan 2018 yang ratingnya 2,6 kejadian untuk 1 juta keberangkatan pesawat terbang (ICAO,2020).

Meskipun demikian kecelakaan pesawat udara juga merupakan musibah transportasi yang paling banyak menelan korban jiwa. Dengan demikian perlu ada pengaturan yang ketat terkait kompensasi kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa agar para pelaku bisnis aviasi dan konsumen jasa angkutan udara memperoleh acuan kepastian hukum yang jelas.

Setiap kecelakaan pesawat udara baik yang mengakibatkan korban jiwa atau tidak mengakibatkan korban jika, menjadi catatan penting Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dalam mengukur tingkat kepatuhan stake holder penerbangan sipil suatu negara terhadap peraturan-peraturan keselematan penerbangan sipil. Ukuran tingkat kepatuhan dilakukan melalui audit keselamatan penerbangan (Universal Safety Oversight Audit Program/USOAP).

Di Indonesia, pemberian kompensasi oleh perusahaan angkutan udara atas suatu kecelakaan pesawat udara yang menimbulkan korban jiwa diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, UU 1 Thn 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965  tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang oleh PT (Persero) Asuransi Jasa Raharja, dan   Permenhub 77 thn 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara.

Untuk kompensasi kepada penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, Indonesia menganut prinsip presumption of liability yaitu tanggung jawab dibebankan kepada perusahaan angkutan udara niaga tanpa perlu adanya pembuktian terlebih dahulu. Prinsip ini  memberikan perlindungan kepada pengangkut terhadap kemungkinan penuntutan yang tidak  terbatas oleh ahli waris (Ariadhy Arafah dan Amelia, 2019).

KONSUMEN BELUM DILINDUNGI

Meskipun demikian, hak-hak konsumen belum dilindungi secara optimal karena masih terdapat kelemahan atas beberapa ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku.  UU 8 Thn 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan peluang kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat udara untuk mengajukan tuntutan kepada pabrik pembuat pesawat udara apabila kecelakaan tersebut disebabkan oleh kesalahan pada pesawat udara yang diproduksinya (product liability).

Namun UU 1 Thn 2009 tentang Penerbangan dan Permenhub 77 thn 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara tidak mengatur secara tegas bahwa ahli waris tidak harus menandatangani release and discharge sebagai persyaratan pembayaran kompensasi. Padahal, baik UU No 1/2009 maupun Permenhub 77/2011 juga menyebutkan bahwa ahli waris dapat mengajukan tuntutan hukum ke pengadilan untuk memperoleh tambahan kompensasi apabila ditemukan bukti telah terjadi unsur kesengajaan (wisful misconduct) atau kesalahan (negligence) atas kecelakaan tersebut.

Dalam pelaksanaannnya, terjadi permasalahan hukum dengan dikeluarkannya perjanjian release and discharge oleh perusahaan angkutan udara nasional, terkait pembayaran kompensasi oleh perusahaan angkutan udara dalam beberapa kasus kecelakaan pesawat udara di Indonesia. Release and discharge adalah sebuah dokumen yang wajib ditandatangani oleh ahli waris korban kecelakaan pesawat udara sebagai persyaratan diberikannya kompensasi. Misalnya, kecelakaan pesawat udara milik PT Mandala Airlines tahun 2005; PT Lion Mentari Airlines Tahun 2018 dan PT Sriwijaya Airlines Tahun 2021, ahli waris diminta oleh pihak perusahaan angkutan udara untuk menandatangani perjanjian release and discharge sebagai persyaratan pembayaran kompensasi atau kompensasi.

Untuk kecelakaan PT Mandala Airlines telah diberikan kompensasi sebesar Rp 40 juta berdasarkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995, pada kecelakaan pesawat udraa  PT Lion Mentari Airlines dan PT Sriwijaya Air diberikan kompensasi sebesar Rp1,25 miliar. Berdasarkan Permenhub 77 thn 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut. Pada ketiga kasus kecelakaan tersebut, ketiga perusahaan angkutan udara mengeluarkan perjanjian “release and discharge” sebagai persyaratan pembayaran kompensasi.

HASIL INVESTIGASI

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) setelah resmi keluar, diketahui bahwa kecelakaan terjadi karena adanya faktor-faktor teknis operasional. Hasil investigasi ini digunakan oleh ahli waris sebagai dasar  penuntutan kepada perusahaan pembuat pesawat udara akibat dari cacat produk (product defects).

Dalam sengketa antara ahli waris dan PT. Mandala Airlines, gugatan para ahli waris untuk mendapatkan kompensasi lebih tinggi ditolak oleh Mahkamah Agung RI dikarenakan para ahli waris telah mendatangani perjanjian release and discharge(Keputusan Mahkamah Agung RI, 2010, 186/PDT.G/2009/PN.JKT.PST). Untuk kasus PT Lion Mentari Airlines ahli waris sudah menandatangani release and discharge, dan tidak melanjutkan gugatannya karena telah mendapatkan kompensasi dari pabrik pembuat pesawat, sedangkan untuk kasus PT Sriwijaya, masih terdapat ahli waris yang belum menerima kompensasi karena tidak mau menandatangi perjanjanjian release and discharge.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisa pasal release and discharge dalam peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia dengan mengacu pada pedoman dan standar yang berlaku di dunia penerbangan internasional. Permasalahan utama yang akan dibahas adalah apakah implemetasi prinsip presumption of liability memerlukan persyaratan release and dischargesebagai mekanisme pembayaran kompensasi atau kompensasi, dan apakah akan menghilangkan hak ahli waris untuk menuntut pihak lain yang terkait dengan kecelakaan pesawat udara serta saran perbaikan peraturan penerbangan terkait tanggung jawab pengangkut.

Kami mengharapkan hasil studi ini menjadi salah satu masukan bagi pemerintah dan Kementerian Perhubungan untuk menyempurnakan pasal-pasal terkait kompensasi kecelakaan penerbangan. Selain itu, kami juga optimis bahwa hasil studi Pustaka ini dapat berguna bagi penelitian lebih lanjut terkait dengan standar pemberian kompensasi kecelakaan penerbangan dan standar perlindungan konsumen.

*) Ditulis oleh Hemi Pramurahardjo, penulis buku Hukum Penerbangan Indonesia

When it comes to choosing a safe and reliable transportation method, public transportation is often at the forefront of the discussion. The potential risks involved in taking a taxi or renting a car are relatively high in comparison to public transport, and they often cost more. But while public transportation may be the safest method of travel, it’s important to think about what happens in the event of an accident.

The risk of a collision is always present when traveling, but in the case of public transport, the risk is much lower. This is largely due to the fact that most public transportation is regulated and inspected. This helps to minimize the chances of an accident occurring, as mechanical issues and driver errors can be addressed before they become a serious hazard.

Unfortunately, accidents can still occur, even with the most stringent safety regulations in place. So what are some of the risks associated with an accident on public transport?

The first and most obvious risk is physical injury or death. Passengers in buses, trains, and other public transportation can be at risk of being injured or even killed in an accident. Of course, the severity of these injuries is likely to depend on the nature of the accident itself and the speed of the vehicles involved.

Property damage is another risk associated with public transportation accidents. Both government-authored and private property can be damaged due to negligence or carelessness. Depending on the severity of the accident, the repair costs can range from hundreds to tens of thousands of dollars.

Finally, there is a risk of civil or criminal liability. In some instances, the operator of the public transportation system may be held liable for the negligence of their drivers, who may be held liable for their actions. For example, if a bus driver is found to be operating their vehicle recklessly, the bus company, the driver, and any other parties involved may be held legally responsible for any injury or damage that may have occurred.

Overall, public transportation is generally much safer than other forms of travel, but accidents can still happen. Knowing the risks associated with an accident can help ensure that you are prepared to mitigate them if the situation arises.

Mekanisme Penggantian Kerugian Kecelakaan Pesawat Belum Optimal

INDOWORK.ID, JAKARTA: Pengaturan kompensasi suatu kecelakaan pesawat udara yang menimbulkan korban jiwa, perusahaan angkutan udara niaga merupakan hal yang esensial untuk memastikan bahwa industri penerbangan komersial dijalankan dengan due professional care.

Pada prinsipnya dengan sistem tanggung jawab yang dianut oleh hukum perdata penerbangan Indonesia yaitu presumption of liability, besaran kompensasi untuk penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat sudah tetapkan dalam undang-undang. Meskipun demikian mekanisme penggantian kerugian kepada ahli waris karena kecelakaan yang disebabkan adanya unsur kesengajaan (wisful misconduct) atau kesalahan (negligence) masih belum optimal.

Artikel ini mengkaji mekanisme yang lebih optimal terkait pembayaran kompensasi kepada ahli waris untuk kecelakaan pesawat udara.

Tulisan ini adalah sebuah studi Pustaka. Kami mengumpulkan semua literatur yang terkait dengan mekanisme kompensasi kecelakaan pesawat, menganalisa peraturan dan standar yang relevan, mengidentifikasi hal-hal yang masih dapat ditingkatkan, dan merumuskan rekomendasi mekanisme pengaturan yang menurut kami akan lebih optimal.

REVISI PERATURAN

Hasil studi kami menunjukkan bahwa perlu dipertimbangkan untuk mereviu peraturan terkait tanggung jawab pengangkut dan perlu dibuat penelitian lebih lanjut terkait tanggung jawab produk (product liability) untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri penerbangan sipil.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu Kementerian Perhubungan dalam membuat peraturan terkait prosedur kompensasi kecelakaan pesawat udara untuk angkutan udara niaga di Indonesia. Selain itu, studi ini diharapkan juga memberikan platform bagi studi lebih mendalam tentang kompensasi kecelakaan kerja di sector penerbangan sipil.

*) Penulis Hemi Pramurahardjo, penulis buku Hukum Penerbangan Indonesia

Recent news surrounding the plane crash that occurred in the South of Jakarta have led to widespread speculation over the adequacy of the regulations surrounding compensation for losses incurred in the mishap. There is no doubt that the incident was tragic, with heart-breaking losses suffered by many families. Questions, however, have been raised around the regulations governing compensation payments to those affected, and whether they are sufficient to adequately provide financial relief to all the families who lost their loved ones.

The current legal framework for compensation in event of a plane crash is the Montreal Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriage by Air. The Convention seeks to outline minimum levels of compensation and requires signatory countries to ensure the survivors and families of victims of plane crashes get compensation for losses.

Despite the implementation of this global guideline and the assurance of compensation for losses, it is clear that the current mechanism for distributing the compensation is not optimal. As outlined by the World Bank, there are a number of issues with the current processes. These include non-inclusion of health and welfare costs in the compensation, differing levels of compensation based on victim’s nationality, and the lack of accessible and appropriate counselling and medical services for individuals affected by the crash. All these issues contribute to the exacerbation of the suffering of families affected by the plane crash.

It is therefore imperative for the Indonesian aviation industry to strive for greater measures to ensure that those affected by such tragic incidents receive the support, care and financial reparation they deserve. In particular, it is important for the Indonesian government to reassess the current regulations and strive for improvements that minimize the financial and emotional burden on families of victims, as well as providing suitable medical care and counseling services to all affected by the crash. Furthermore, stakeholders in the industry need to develop proactive strategies to reduce the risk of such disasters and ensure that the country maintains a world-class aviation safety standard.

It is imperative that the relevant responsible parties ensure that the current regulations are suitable and effective when it comes to rewarding compensation and providing emotional and mental support during times of distress. It is only by implementing these updates that Indonesia can hope to tackle the serious issue of inadequate financial and emotional support for families affected by plane crashes, and ensure that they are adequately supported by their government while seeking closure from their loss.

LPDS Gelar Webinar Standar Kompetensi Wartawan untuk Dewan Pers Timor Leste

INFRASTRUKRU.CO.ID, JAKARTA: Lembaga Pers dr. Soetomo (LPDS) dipercaya oleh Dewan Pers Timor Leste untuk membimbing para penguji wartawannya agar dapat melakukan uji kompetensi wartawan di negara bekas provinsi ke-27 Indonesia itu.

Direktur Program LPDS Aloysius Arena Ariwibowo menjelaskan bahwa untuk memberikan bimbingan UKW itu, sebelumnya digelar webinar yang menghadirkan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, wartawan senior Bambang Harymurti. Selain itu Pengawas Yayasan Multimedia Adinegoro Wina Armada Sukardi, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia Uni Zulfiani Lubis, dan Pemimpin Redaksi Katadata.id Yura Syahrul.

Ari menjelaskan latar belakang UKW di Tanah Air untuk dapat diterapkan di Timor Leste. “Piagam Palembang menegaskan bahwa uji kompetensi merupakan jalan meningkatkan kualitas dan profesionalisme pers Indonesia,” ujarnya, Selasa, 6 Maret 2023.

Pelaksanaan Standar Kompetensi Wartawan merespon fakta atau kondisi pers yang tidak sedang baik-baik saja. Ini merujuk setelah melihat bahwa media mengalami penurunan peminat, terkikisnya keuntungan, dan tingginya ketidakpercayaan publik kepada media.

Kegiatan mencari berita, mengolah berita, menulis berita dan menyusun berita tersebut akhirnya menjelma atau menjadi sebuah profesi. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1996 Pasal 1 dan 3 juga dengan jelas disebutkan bahwa: Kewartawanan ialah pekerjaan/kegiatan/usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan, radio, televisi dan film.

Kompetensi wartawan adalah kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai dan menegakan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) segala apa yang berkaitan dengan profesi kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan.Sejumlah pertanyaan muncul antara lain, untuk apa Standar Kompetensi Wartawan (SKW)?

RELEVANSI PROGRAM

Pertama, Penerapan Standar Kompetensi Wartawan menjadi sarana terbaik untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan wartawan guna mewujudkan jurnalisme berkualitas.

Kedua, Standar Kompetensi Wartawan merupakan salah satu instrumen yang menjadi acuan bagi kiprah organisasi wartawan untuk mewujudkan jurnalisme berkualitas dengan merujuk dan mengacu kepada upaya merawat kemerdekaan pers.

Ketiga, Upaya merumuskan modul uji dalam Standar Kompetensi Wartawan merupakan salah satu komitmen mewujudkan tanggungjawab kepada publik sebagai upaya mewujudkan jurnalisme berkualitas.

Keempat, Penerapan SKW merupakan bagian tidak terpisahkan dari advokasi ke masyarakat agar berkembang jurnalisme berkualitas dengan menghasilkan tulisan berkedalaman (in-depth).

TARGET PROGRAM

Ari menjelaskan bahwa target program webinar tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Memetakan profesionalisme wartawan agar masyarakat mampu melihat seberapa dalam pengetahuan dan ketrampilan wartawan dalam kerja jurnalistik, sehingga nantinya publik mengetahui dan memahami keseluruhan para pencari berita, memahami proses editorial untuk menjaga dan merawat kemerdekaan pers dengan menerapkan jurnalisme berkualitas.

Kedua, Memetakan kemerdekaan ekspresi/kebebasan pers di beberapa daerah Republik Indonesia. Ini merujuk kepada pengalaman pemberitaan baru yang perlu diciptakan, dengan dibarengi model baru dari bisnis media, dan dikuatkan dalam kerangka kerja dari jurnalisme berkualitas.

Ketiga, Menegaskan bahwa kebenaran dalam jurnalisme bukan kebenaran yang absolut, tetapi kebenaran yang fungsioal, artinya ada ruang untuk koreksi. Komitmen utama dari jurnalisme adalah kepentingan publik, sedangkan kepentingan diri sendiri dan pemilik media harus di bawah kepentingan publik.

Keempat, Dipandang penting untuk memperkuat komitmen terhadap Kode Etik Jurnalistik dan UU ITE dalam kerangka praktik jurnalistik agar kiprah wartawan makin bertanggungjawab kepada publik, dan senantiasa melakukan pengecekan dan verifikasi.

Ia mengatakan bahwa dalam jangka pendek keluaran dari program uji kompetensi bertujuan mendorong para wartawan agar mampu meliput dan menyajikan fakta/peristiwa mengenai isu-isu terkini yang berhubungan dengan perkembangan pemerintah setempat, agar masyarakat pembaca memahami dan bertanggungjawab.

Sedangkan dalam jangka menengah, para peserta diharapkan secara berkesinambungan meningkatkan kemampuan menulis dengan dipandu Kode Etik Jurnalistik, dan menerapkan jurnalisme berkualitas.

Dalam jangka panjang, katanya, para peserta dan humas di pemerintah setempat mampu bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan saling bertukar informasi yang bemanfaat.

 
On the 15th May 2020, The Indonesian Journalists Association (LPDS) was proud to hold the “Standard Competency Webinar For The Journalists Council of Timor-Leste” in conjuction with the International Press Freedom Day.

The event was held to discuss the importance of a standardized and implementable journalists’ code of ethics as a standard practice and competency as journalists. The webinar was attended by 25 participants consisting of members of the Journalists Council of Timor-Leste, representatives of media outlets, and other stakeholders.

The event was opened by the Head of the LPDS Mentawai Branch, Mr. Irwan Yusuf, who began with a brief but powerful statement about how everyone should recognize the power of words and media practices, as well as the potential for freedom of expression in Timor-Leste. He also expressed his appreciation for everyone gathered as representatives of the media industry and said that a unified code of ethics for media practices should be a priority for everyone.

During the session, all attendees discussed in-depth the importance of journalism standards and the possibility of establishing a unified system for media outlets in Timor-Leste—in particular, understanding the roles and responsibilities of media practitioners. The attendees agreed to cooperate in the establishment of a standard code of ethics and the implementation of applicable policies, in line with international standards.

The event concluded with an understanding that media practices and standards must be understood and implemented when covering news stories, and that any journalist must adhere to the highest ethical standards. The webinar highlighted the importance of all journalists in Timor-Leste to abide by the agreed code of ethics, as well as to abide by the ethical standards of their respective media organization and practice.

In line with International Press Freedom Day, LPDS would like to congratulate all attendees, as well as all media practitioners, as they are the front lines in keeping citizens informed and making sure that press freedom and freedom of expression are maintained in Timor-Leste.

Cerita Tentang Rawa di Setu Babakan, Ada Keramat dan Bakul

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Wilayah perairan yang tercakup dalam Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terdiri dari Setu Babakan, Setu Mangga Bolong, serta wilayah rawa-rawa.

Toponimi dari wilayah-wilayah tersebut beragam. Ada yang memiliki banyak versi cerita, ada pula yang penamaannya telah disepakati oleh berbagai pihak. Pada bagian ini, cerita-cerita tersebut akan dijabarkan dari berbagai perspektif berdasarkan hasil penelusuran.

SETU BABAKAN

Mengapa dinamakan Setu Babakan? Begitu bunyi pertanyaan dasar tentang toponimi. Hal tersebut tentu dapat dijawab dengan melakukan penelusuran atas nama “Babakan” terlebih dahulu. Ada beberapa hal yang dapat ditelusuri dari nama “Babakan”.

Pertama, dengan mencari arti kata babakan. Jika ditelusuri secara harfiah, kata babakan memiliki arti dusun yang baru, atau dapat dimaknai sebagai sebutan bagi suatu wilayah dusun (kampung) yang baru terbentuk dibandingkan dusun (kampung) lain di sekitarnya. Tak hanya itu, babakan juga dapat berarti kulit kayu yang dikubak dari batangnya. Hal ini mungkin memiliki kaitan khusus dengan kondisi Setu Babakan jika memang betul asal katanya berasal dari arti kata tersebut.

Selain itu, kata babakan juga mungkin sekali diambil dari kata babak. Kata babak memiliki arti bagian besar dalam suatu drama atau lakon yang terdiri dari beberapa adegan; bagian dari suatu keseluruhan proses, kejadian, atau peristiwa; atau bagian permainan yang waktunya tertentu atau beronde. Hal ini mungkin sekali berkaitan, dan jika iya, maka penelusuran terhadap kaitan dari arti kata babak dengan Setu Babakan perlu ditelusuri lebih lanjut.

Selain melalui penelusuran secara harfiah, nama Babakan juga dapat ditelusuri secara geografis. Nama Babakan ternyata dapat dijumpai sebagai nama dari suatu wilayah yang terletak tak jauh dari Setu Babakan.

Wilayah tersebut dikenal sebagai Kampung Babakan, yang namanya masih dikenal dan diakui oleh orang-orang yang sudah lama tinggal di wilayah Kampung Babakan dan sekitarnya. Pada peta lama yang dibuat tahun 1897, terlihat bahwa wilayah Babakan terletak di sebelah Kampung Kalibata (pada peta tertulis “Kali bata”). Adapun Kampung Kalibata merupakan lokasi dimana Setu Babakan berada. Namun, bagaimana kaitan antara Kampung Babakan dengan Setu Babakan?

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat di Kampung Kalibata, diperoleh adanya pendapat bahwa Setu Babakan merupakan setu yang dibuat oleh orang-orang dari Kampung Babakan. Hal itulah yang menjadikan setu tersebut dinamakan Setu Babakan.

Pendapat lain menyebutkan bahwa Setu Babakan dahulunya merupakan milik seorang tokoh yang berasal dari Kampung Babakan, sehingga setunya kemudian dinamakan Setu Babakan. Lebih rinci mengenai cerita tersebut memang agak sulit diketahui lebih lanjut, mengingat keberadaan Setu Babakan yang tercatat sudah ada lebih dari satu abad, sehingga tidak ada saksi mata penamaan Setu Babakan yang dapat ditemukan.

Pendapat lainnya diperoleh dari penelusuran di internet, yang disampaikan oleh Akhir Matua Harahap dalam catatannya pada poestahadepok.blogspot.com. Dalam catatannya itu, dia menceritakan tentang adanya kebutuhan air untuk persawahan di wilayah Tanjung Barat (mencakup wilayah Babakan pada masa itu), yang kemudian diatasi dengan usaha membendung air di sebuah setu, lalu mengalirkannya ke wilayah tersebut.

Wilayah yang dialirkan air tersebut salah satunya wilayah yang dikenal sebagai Kampung Babakan. Mungkin wilayah tersebut merupakan wilayah utama target dari pengaliran air yang sengaja dibendung di Setu Babakan, sehingga penamaan setu tersebut pun akhirnya berkaitan erat dengan nama Kampung Babakan.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, penulis mencoba membuat sebuah dugaan. Penulis menduga bahwa toponim Setu Babakan mungkin muncul karena air pada setu tersebut menjadi asal terbentuknya Kampung Babakan. Memang belum ada catatan sejarah yang dapat memperkuat dugaan ini.

Penulis hanya berusaha mengaitkan cerita-cerita yang telah diperoleh selama menelusuri toponimi dari Setu Babakan. Dugaan penulis, wilayah Kampung Babakan mungkin dulunya merupakan wilayah yang kering dan tidak layak huni. Barulah setelah adanya upaya pengaliran air dari sebuah setu di Kampung Kalibata, membuatnya lebih subur dan layak huni, hingga lambat-laun membentuk sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Babakan (atau kampung yang baru terbentuk). Namun demikian, dugaan ini perlu divalidasi dengan lebih banyak data kesejarahan mengenai Setu dan Kampung Babakan.

Pendapat mengenai asal-usul toponim suatu wilayah memang bisa banyak dan beragam. Hal ini pula yang akan dijumpai pada pembahasan-pembahasan berikutnya. Satu hal yang pasti adalah bahwa tidak ada benar dan salah, semua pendapat dapat diterima sebagai khazanah pengetahuan.

SETU MANGGA BOLONG

Berbeda dengan cerita tentang Setu Babakan yang mungkin memiliki kaitan dengan nama dari suatu wilayah, Setu Mangga Bolong memiliki ceritanya sendiri. Tidak rumit, penamaan Setu Mangga Bolong disepakati memang diambil dari adanya pohon mangga berbatang besar di pinggir setu, yang bagian tengah batangnya berlubang atau bolong. Pohon mangga yang dinilai ikonik itu kemudian dijadikan nama Setu Mangga Bolong.

Ada dua cerita tentang asal-usul bolongnya batang pohon mangga tersebut. Cerita pertama merupakan cerita fiksi tentang seorang pencuri yang bersembunyi dibalik pohon mangga. Dikisahkan pernah terjadi pencurian di sekitar Setu Mangga Bolong. Sang pencuri yang tertangkap basah aksinya, lari dikejar warga sekitar. Sampailah ia pada sebuah pohon mangga di pinggir setu, yang memiliki batang yang sangat besar. Ia pun bersembunyi disana. Warga yang merasa yakin sang pencuri berada di sekitar pohon mangga tersebut, akhirnya berusaha mencari si pencuri. Adegan selanjutnya seperti adegan yang biasa ada di film-film.

Saat warga bergerak ke salah satu sisi pohon mangga, sang pencuri bergerak ke sisi lainnya. Begitu terus, hingga warga memutuskan untuk melubangi pohon mangga tersebut. Peristiwa tersebut meninggalkan lubang pada pohon mangga, yang menjadikannya ikonik di wilayah tersebut. Oleh karena posisinya yang dekat dengan setu, akhirnya setu tersebut pun diberi nama Setu Mangga Bolong.

Saat penulis mewawancarai warga yang tinggal di sekitar Setu Mangga Bolong, ternyata banyak warga yang tidak setuju dengan cerita tersebut. Bagi mereka, adegan nguber maling di balik pohon mangga ini dianggap tidak masuk akal dan memberikan kesan yang buruk kepada orang Betawi. “Ya masa nguber maling aja sampe bolongin pohon mangga?!”, begitu tanggapan warga daerah Setu Mangga Bolong, yang hingga saat ini pun tidak tahu dari mana cerita tersebut berasal.

Cerita lainnya datang dari warga yang menyatakan bahwa bolongnya pohon mangga tersebut bukan karena disengaja, melainkan memang berlubang secara alami. Namun pendapat tersebut ditentang, salah satunya oleh Pak Sabar, yang kini menjabat sebagai ketua Rukun Warga 007. Menurutnya, pohon mangga yang ikonik dan dijadikan toponim Setu Mangga Bolong memang sengaja dilubangi. Informasi tersebutlah yang juga disampaikan oleh orang tua beliau. Namun, untuk alasan apa dan siapa yang melubangi, Pak Sabar juga kurang tahu pasti, karena beliau bukanlah saksi mata dalam hal ini.

Wajar sekali jika warga kurang dapat menceritakan asal-usul toponim Setu Mangga Bolong. Jika ditelusuri dalam sejarah, bukti peta lama yang dibuat tahun 1897 sudah menunjukkan eksistensi Setu Mangga Bolong yang ditandai dengan toponim “Sitoe Manggabolong”. Hal ini menunjukkan bahwa Setu Mangga Bolong sudah ada sejak satu abad lebih yang lalu, yang artinya tidak ada saksi mata pencetusan toponim Setu Mangga Bolong yang dapat ditemui, kecuali jika ada peninggalan data sejarah. Namun data sejarah yang membahas hal tersebut juga belum ditemukan, sehingga hanya itulah toponim Setu Mangga Bolong yang baru dapat disampaikan.

SETU ATAS DAN BAWAH

Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong terletak cukup berdekatan. Keduanya masih sama-sama berada di Kampung Kalibata, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Hanya membutuhkan waktu yang sebentar untuk sampai ke Setu Mangga Bolong, jika berangkat dari Setu Babakan. Begitupun sebaliknya. Sebutan lain pun muncul untuk keduanya, yaitu “setu atas” dan “setu bawah”.

Sebutan “setu atas” dan “setu bawah” muncul dari warga yang tinggal di antara Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Setu atas merujuk pada Setu Mangga Bolong yang terletak lebih tinggi dibanding Setu Babakan. Sementara setu bawah merujuk pada Setu Babakan. Tidak ada alasan lain selain bentuk penyederhanaan dalam penyebutan kedua setu bagi warga sekitar.

Penyederhanaan seperti itu memang sangat lumrah terjadi dalam lingkup kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut dapat menunjukkan karakteristik masyarakat di sekitar Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong dalam mendefinisikan atas dan bawah, yang kemudian hasil pendefinisian tersebut diwujudkan menjadi identitas bagi wilayah yang ada dalam lingkup hidupnya.

Dalam hal ini, gagasan masyarakat di sekitar Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong diwujudkan pada keberadaan dua setu, yaitu Setu Babakan yang diberi identitas baru sebagai setu bawah dan Setu Mangga Bolong yang diberi identitas baru sebagai setu atas. Meski nama tersebut lumrah bagi masyarakat sekitar, namun nama resmi kedua setu yang disepakati tetaplah Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong.

Berbagai Rawa

Setelah membahas tentang wilayah perairan utama pada Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, kini saatnya membahas tentang wilayah perairan lain berupa rawa yang ada pada Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Pada bagian ini, toponim rawa yang akan dibahas merupakan rawa-rawa yang masih ada eksistensinya sampai sekarang, maupun rawa yang sudah hanya tinggal namanya saja. Beberapa toponim rawa yang akan dibahas yaitu Rawa Bubu, Rawa Pule, Rawa Bakul, Rawa Bungur, Rawa Songseng, Rawa Krilin, dan Rawa Kramat.

RAWA BUBU

Rawa Bubu secara administratif terletak di wilayah RW 006, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Meski namanya masih diingat oleh warga Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, namun keberadaannya sudah tidak dapat dijumpai pada masa sekarang. Saat ini, lokasi Rawa Bubu sudah tergantikan dengan kompleks sekolah Yayasan Perguruan Rakyat atau yang umum disebut sebagai YPR.

Berdasarkan penuturan warga, toponim “bubu” pada Rawa Bubu diambil dari nama alat penangkap ikan yang biasanya dibuat dari potongan bambu yang dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Bubu umumnya berbentuk kerucut dengan bagian badan yang lebar. Salah satu ujung bubu dibiarkan terbuka, sementara ujung lainnya ditutup, biasanya dengan menggunakan batok kelapa. Bubu sengaja dibentuk demikian untuk merangkap ikan-ikan yang terbawa arus ke arah bubu. Dengan demikian, ikan yang terperangkap dapat dimanfaatkan oleh warga untuk diolah menjadi pangan.

Penggunaan bubu pada masa lalu sangatlah lumrah di kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah Perkampungan Budaya Betawi. Dapat dikatakan pula bahwa penggunaan bubu merupakan budaya khas masyarakat Betawi di lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak warga yang kini sudah mulai jarang menggunakan bubu untuk mencari ikan. Jangankan menggunakan bubu, kegiatan mencari ikan untuk pangan sehari-hari juga sudah mulai jarang dilakukan. Kebanyakan warga Perkampungan Budaya Betawi saat ini lebih memilih untuk membeli sumber pangan yang akan diolahnya.

Banyak faktor yang melatari hal ini. Namun demikian, hal tersebut merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat yang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana upaya kita untuk tetap melestarikan nilai budaya yang ada.

RAWA PULE

Toponim Rawa Pule diambil dari nama pohon pulai atau yang pelafalannya lebih dikenal sebagai “pule”. Dikutip dari jurnal mengenai Botani dan Bioaktivitas Pulai yang ditulis oleh Marina Silalahi, pohon pulai memiliki nama ilmiah Alstonia scholaris, yang merupakan tumbuhan tropis yang hijau sepanjang tahun.

Menurut Wang dkk, ilmuwan yang juga meneliti pohon pulai, tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli dari wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, salah satunya dapat ditemukan di Indonesia.

Berdasarkan keterangan yang ditulis oleh Sidiyasa pada 1998 mengenai pohon pule, pohon pule dikenal sebagai tumbuhan berbatang tinggi dengan kanopi yang rimbun. Tinggi pohon ini dapat mencapai 60 meter lebih, dengan diameter batang dapat mencapai 20-40 cm lebih.

Kulit batangnya halus bersisik berwarna coklat, dan daunnya berkarang (whorl). Pohon pulai memiliki bunga berwarna putih atau krem, yang memiliki aroma khas. Marina Silalahi dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa bunga pulai ini seringkali digunakan untuk ritual karena aromanya yang khas dan adanya kepercayaan mistis yang dimiliki bunga tersebut.

Menurut penuturan warga Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, pemberian toponim Rawa Pule yang merujuk pada pohon pulai dilatari karena adanya pohon pulai di sekitar rawa pada masa itu. Adapun saat ini, keberadaan rawa sudah tergantikan dengan rumah-rumah warga. Namun demikian, pohon pule masih dapat dijumpai di wilayah bekas rawa tersebut. Adapun secara spesifik, rawa pule terletak di bagian selatan RW. 007, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan–tak jauh dari lokasi Setu Mangga Bolong saat ini.

RAWA BAKUL

Jika Rawa Pule yang diberi nama demikian karena adanya pohon pulai di sekitar rawa, pemberian toponim Rawa Bakul memiliki cerita yang berbeda. Cerita versi pertama yaitu adanya pendapat yang menyatakan bahwa bentuk rawanya cekung seperti bakul. Bakul itu sendiri merupakan sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu, yang berkaitan dengan peralatan dapur. Bakul seringkali digunakan sebagai wadah untuk menyimpan beras, nasi yang sudah tanak, menyimpan botol-botol jamu, dan lain-lain. Seperti bubu, bakul juga erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi.

Cerita versi lain tentang toponim Rawa Bakul menyebutkan bahwa dulunya banyak ditemukan bakul di Rawa Bakul. Tidak tahu pasti siapa pemilik bakul yang menyimpan bakulnya di rawa tersebut. Namun hal itulah yang menyebabkan Rawa Bakul dinamakan demikian. Ada pula yang menyebutkan kisah tentang hilangnya seorang penjual bakul pada rawa tersebut, yang akhirnya mengilhami penamaan Rawa Bakul.

Cerita mengenai asal penamaan Rawa Bakul sangat beragam, namun tidak ada satu warga pun yang benar-benar yakin tentang asal penamaan rawa tersebut. Memori yang melekat tentang eksistensi Rawa Bakul diceritakan oleh Pak Wamil, warga RW. 008 yang menghabiskan masa kecilnya di wilayah sekitar rawa tersebut. Dalam ceritanya, Pak Wamil menjelaskan kondisi Rawa Bakul pada masa lalu. Rawa tersebut akan memiliki debit air yang banyak saat musim hujan. Pada saat itu pula, rawa tersebut akan memiliki banyak ikan yang dapat dimanfaatkan warga sebagai sumber pangan.

Sebaliknya, pada saat kemarau, air rawa akan mengering. Yang tersisa pada rawa hanyalah rumput-rumput liar. Pada saat itulah, rawa berubah fungsi menjadi lapangan, tempat anak-anak kecil bermain sepak bola. Pernah suatu hari, rumput-rumput yang ada pada rawa tersebut dibakar, hingga menyisakan residu hitam bekas pembakaran. Sambil mengingat memori masa kecilnya, Pak Wamil menceritakan betapa asyiknya bermain di Rawa Bakul pada saat itu. “Dulu kaki sampepada hitam, kena bekas bakaran rumput”, begitu cerita yang disampaikannya.

Kini, rawa yang dikenal sebagai Rawa Bakul itu hanya tinggal nama. Sejak tahun 2000-an, Rawa Bakul telah berubah menjadi wilayah perumahan warga yang termasuk dalam wilayah RW. 008. Meski demikian, toponim Rawa Bakul masih dipertahankan hingga sekarang. Yang dahulu berupa rawa, kini telah berubah menjadi tempat tinggal. Begitulah dinamika kehidupan di Rawa Bakul, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

RAWA BUNGUR

Seperti Rawa Pule, toponim Rawa Bungur juga diambil dari adanya pohon bungur di sekitar rawa tersebut. Dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Siti Muthia Rahmah, Dharmono dan Aminuddin Prahatama Putra, pohon bungur memiliki nama ilmiah Lagestroemia speciosa. Pohon ini merupakan pohon yang memiliki akar tunggang bulat berserabut banyak. Batangnya berwarna coklat, daunnya memanjang, serta bunganya majemuk terbatas.

Rahmah dkk juga menyebutkan bahwa tinggi pohon bungur berkisar antara 10-30 meter, dengan diameter batang bisa mencapai 150 cm. Namun umumnya, tinggi pohon bungur hanya 25-30 meter saja, dengan diameter 60-80 cm. Tentang daunnya, daun pada tumbuhan ini berbentuk oval memanjang dengan tekstur seperti kertas berwarna hijau tua. Panjang daunnya berkisar antara 9-28 cm dengan lebar 4-12 cm.

Sementara itu, bunga bungur merupakan bunga majemuk yang memiliki warna ungu yang khas. Susunan bunga bungur, panjangnya dapat mencapai 10-15 cm. Bunga bungur umumnya terletak di ketiak daun atau ujung ranting, yang akan mekar dua kali dalam setahun. Tentang buahnya, buah bungur berbentuk bulat dengan panjang 1,8-2,5 cm, dan memiliki diameter 1,5-2 cm. Ujung buah meruncing seperti jarum. Saat muda, buah akan berwarna hijau, dan berubah coklat saat sudah tua.

Pohon bungur yang terletak di pinggir Rawa Bungur ini cukup ikonik, sehingga mengilhami pemberian nama rawa tersebut. Bahkan tak hanya nama rawanya saja, nama gang yang menjadi akses menuju rawa tersebut pun akhirnya diberi toponim demikian. Rawa dan Gang Bungur ini merupakan bagian dari wilayah RW. 009, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

RAWA KERAMAT

Kramat atau keramat dalam bahasa Indonesia memiliki dua arti harfiah, yaitu berkaitan dengan orang yang bertakwa dan berkaitan dengan barang atau tempat suci. Berdasarkan pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, keramat yang berkaitan dengan orang diartikan sebagai orang suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan. Sementara itu, keramat yang berkaitan dengan barang atau tempat suci diartikan sebagai barang atau tempat suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain.

Rawa Kramat yang terletak di wilayah RW. 009, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan dianggap memiliki sesuatu yang bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada orang-orang yang mempercayainya. Sesuatu itu berupa batu besar yang terletak di tengah rawa. Menurut penuturan warga, batu yang dianggap keramat tersebut tak jarang didatangi orang sebagai tempat untuk melangsungkan ritual. Namun orang yang datang untuk ritual bukanlah orang-orang yang tinggal di wilayah sekitar. Kebanyakan dari mereka datang dari luar kota.

Berdasarkan kesaksian warga, batu yang dikeramatkan tersebut merupakan batu yang besar di tengah rawa. Biasanya di sekitar batu banyak ditemukan benda-benda untuk keperluan ritual. Namun demikian, keberadaan batu tersebut hanya tinggal dalam memori warga saja. Kini batu yang dikeramatkan itu sudah tidak ada. Setidaknya begitu kesaksian warga RW. 009 yang tinggal di sekitar rawa.

RAWA SONGSENG

Penelusuran tentang toponim Rawa Songseng pada mesin pencarian Google diakui sangat menyulitkan. Apa itu “Songseng”? Kata yang sangat asing sekali. Namun hal tersebut akhirnya terjawab melalui wawancara yang dilakukan dengan warga RW. 009 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Rawa Songseng terletak di bagian barat RW. 009, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dahulu, rawa tersebut berada pada sebuah lahan tak berpenghuni. Di sekitar rawa banyak ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Ada pohon bambu, pohon kirai, pohon kelapa, dan pohon lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya di sekitar rawa dibangun sebuah perguruan tinggi yang kini dikenal sebagai Institut Sains dan Teknologi Nasional atau ISTN. Dengan demikian, Rawa Songseng saat ini berada di dalam kawasan Kampus ISTN.

Toponim Rawa Songseng memiliki beberapa versi cerita. Cerita pertama berkaitan dengan kata “seng”. Menurut penuturan warga, pada masa lalu, Rawa Songseng merupakan rawa yang sangat besar. Besarnya rawa dimanfaatkan warga untuk menanam padi, mencari ikan, hingga bermain. Rawa Songseng yang memiliki mata air atau ntuk (istilah warga sekitar untuk mata air) juga kerap dimanfaatkan warga untuk mandi dan mencuci.

Air yang tersedia pada Rawa Songseng banyak dimanfaatkan warga, hingga akhirnya warga mulai membagi rawa tersebut ke beberapa bagian. Bagian-bagian rawa selanjutnya disekat dengan menggunakan seng, yang didatangkan dari Tanjung Priok, Jakarta Utara. Seng tersebut disusun sedemikian untuk menandakan kepemilikan lahan warga pada rawa. Seng juga disusun untuk dapat mengalirkan air dari rawa ke lahan-lahan milik warga. Akhirnya, sebuah rawa yang tenang kini dipenuhi oleh seng. Warga pun mulai menyebut rawa tersebut sebagai Rawa Songseng.

Jika kata “songseng” berasal dari kata “seng”, lalu mengapa tidak dinamakan Rawa Seng saja? Hal ini disebabkan karena adanya penyesuaian pelafalan lidah masyarakat lokal. Masyarakat lokal merasa penyebutan Rawa Seng terasa kurang afdol dan kurang enak untuk diucapkan. “Kayak ada yang kurang aja di lidah”, begitu pendapat warga. Jadilah penyebutan Rawa Seng yang menyesuaikan dengan lidah masyarakat lokal berubah menjadi Rawa Songseng. Lebih lanjut, penyebutan Rawa Songseng juga kerap disebut sebagai Roh Songseng.

Asal penyebutan Roh Songseng memiliki dua versi cerita. Cerita pertama masih berkaitan dengan pelafalan lidah masyarakat lokal. Banyak masyarakat merasakan adanya pemborosan pada penyebutan Rawa Songseng. Dipersingkatlah penyebutan tersebut menjadi Ro Songseng atau Roh Songseng. Jika ditinjau kembali, hal ini jadi bertentangan dengan apa yang terjadi pada kata Rawa Seng.

Kata Rawa Seng yang sudah cukup singkat (terdiri dari tiga suku kata), akhirnya ditambahkan menjadi Rawa Songseng (empat suku kata). Sudah begitu, terjadi penyederhanaan penyebutan lagi menjadi Roh Songseng yang mengembalikannya menjadi empat suku kata. Namun tentu saja, penyebutan yang nyaman bagi lidah lokal tidak hanya mempertimbangkan soal jumlah suku kata saja. Itulah dinamika budaya Betawi yang berkembang di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Selanjutnya, cerita kedua tentang asal penyebutan Roh Songseng lebih mengarah kepada kepercayaan mistis. Orang yang memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia biasa percaya bahwa di tengah rawa terdapat sebuah kerajaan yang dihuni oleh para roh. Di antara roh tersebut adalah Roh Songseng.

Roh Songseng-lah yang diyakini berkuasa atas seluruh wilayah rawa, sehingga bagi siapapun yang tidak melakukan hal baik akan celaka. Penjelasan mistis ini pula yang kadang dikaitkan jika terjadi sesuatu yang tidak mengenakan di Rawa Songseng. Bagaimanapun cerita mistis yang berkembang, kita sebagai umat yang beragama tetap perlu meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada satu zat pun yang melampaui-Nya.

RAWA KRILIN

Rawa Krilin terletak di perbatasan antara RW. 009 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dengan wilayah Depok, Jawa Barat. Rawa tersebut merupakan rawa milik seseorang bernama Rilin. Adapun Pak Rilin, pemilik rawa, kerap dipanggil dengan sebutan “Ki” atau “Aki” oleh warga sekitar.

Panggilan “Aki” merupakan panggilan yang ditujukan untuk seorang laki-laki yang sudah tua. Aki sepadan dengan kakek, sehingga panggilan “aki” sekaligus dapat menunjukkan perawakan dari orang yang menyandang panggilan tersebut. Tidak banyak cerita yang diperoleh mengenai sosok Ki Rilin selain dari panggilan dan kepemilikannya atas rawa besar di perbatasan wilayah Jakarta dan Depok itu.

Rawa Ki Rilin, begitu warga menyebutnya, selanjutnya turut mengalami penyesuaian dengan lidah masyarakat lokal. Bagi masyarakat, penyebutan Rawa Ki Rilin terlalu panjang dan kurang praktis. Penyebutan Rawa Ki Rilin pun disederhanakan, hingga akhirnya melahirkan nama “Rawa Krilin” yang dikenal hingga sekarang.

*) Penulis, Ide Nada Imandiharja, Mahasiswa Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
Underage Drinking”

Underage drinking is a growing problem that needs to be addressed. There are numerous causes of underage drinking including peer pressure, trying to ease social anxiety and having an overall lack of knowledge of the lasting effects alcohol can have on one’s health and development.

Public health campaigns have been created to help reduce underage drinking, in part, via educational awareness among the general public. For example, the consequences of alcohol abuse including falling grades, financial problems, risky behavior and physical health complications are now widely known. Often times, teens are unaware of these dangerous side effects and are misinformed about the effects that drinking can have.

To help combat underage drinking, parents and adults in a teen’s life need to be more involved with their children. This includes educating them about the effects of drinking, monitoring their activities and emphasizing the importance of making healthy choices.

In addition, communities need to join together to create laws and regulations aimed at curbing underage drinking. For example, purchasing alcohol should require an adult over the age of 21, and having adults serve alcohol at parties should be prohibited. This can help reduce the amount of alcohol a minor may be able to get their hands on.

Underage drinking is a serious issue that requires direct action to prevent its rise among today’s teens. Parents, teachers and communities alike should begin teaching and enforcing the dangers of drinking as well as creating necessary laws to give minors fewer opportunities to access alcoholic beverages. By doing this, adults can ensure teens are given the knowledge and support needed to make the right decisions when it comes to alcohol consumption.

Jasa Marga Pelopor Otomatisasi Gerbang Tol Menuju MLFF

INDOWORK.ID, JAKARTA: Pembayaran tol nontunai nirsentuh (MLFF) dijadwalkan akan diuji coba pada akhir tahun 2022, lalu diundur menjadi awal tahun 2023. Saat ini, mekanisme pembayaran tol tanpa henti berbasis MLFF tersebut masih dimatangkan guna memasuki periode transisi dari sistem pembayaran tol nontunai menggunakan kartu elektronik (e-toll).

Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan Sekretariat Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Ali Rachmadi mengemukakan, pemerintah tengah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Revisi PP itu menjadi landasan penerapan transaksi nontunai nirsentuh di jalan tol.

Adapun pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18 Tahun 2020 tentang Transaksi Tol Nontunai Nirsentuh di Jalan Tol. Sementara untuk PP 15/2005 masih dalam pembahasan dan harmonisasi.

Penerapan MLFF akan dilakukan secara bertahap. Dalam periode transisi, sekitar 50 persen atau paling sedikit 20 persen dari gardu di gerbang tol akan mengakomodasi pembayaran nontunai nirsentuh.

Adapun metode pembayaran tol menggunakan kartu elektronik masih dapat dilakukan di gerbang tol. Pihaknya sudah memilih beberapa ruas jalan tol yang diprioritaskan untuk penerapan MLFF. Ruas tol yang dipilih itu dipastikan sudah siap dan tidak banyak risiko untuk MLFF.

Implementasi MLFF dengan teknologi sistem satelit navigasi global (GNSS) masih menghadapi sejumlah tantangan. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasinya.

Tantangan tersebut antara lain ketiadaan sinyal seluler (e-OBU) di beberapa kawasan jalan tol, padahal sinyal sangat penting dalam implementasi GNSS yang menggunakan telepon pintar. Selain itu, GNSS OBU/e-OBU juga bisa sengaja dimatikan oleh pengguna jalan untuk menghindari pengenaan tarif jalan tol.

Ini bisa menyebabkan kesalahan dalam charging harga jalan tol. Selain itu, dapat terjadi baterai telpon seluler kehabisan daya dan tidak tersedia paket internet. Akibatnya, GNSS OBU/e-OBU tidak dapat mengirimkan data lokasi ke aplikasi back-end.

Persoalan lainnya adalah penipuan identitas. Pelaku memalsukan identitas atau memasukkan data dan klasifikasi yang tidak sesuai dengan data yang terdaftar untuk mendapatkan tarif tol yang lebih murah.

BERTAHAP TERAPKAN MLFF

Pemberlakuan MLFF harus bertahap dengan uji coba dan pengawasan yang ketat dan disertai upaya sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat, termasuk perubahan mekanisme pembayaran.

Perwujudan MLFF merupakan jalan panjang. Berawal dari 2007, BUJT yang pertama kali menerapkan adalah Jasa Marga dengan membangun GTO (Gerbang Tol Otomatis) di beberapa cabang. Itu merupakan untuk program Gerakan Nasional Non tunai (GNNT).

Pada tahap lanjut, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 16/PRT/M/2017 tentang Transaksi Tol Non tunai di Jalan Tol, Jasa Marga diwajibkan melaksanakan elektronifikasi 100% non tunai pada seluruh gardu.

Jasa Marga telah melaksanakan beberapa tahap dalam strategi perusahan menuju transaksi MLFF. Mulai bulan Maret 2013, Jasa Marga telah melaksanakan pemasangan perangkat e-Toll Pass sejumlah 162 unit. Perangkat e-Toll Pass dapat dikategorikan sebagai salah satu teknologi Single Lane Free Flow (SLFF), yaitu SLFF dengan Barrier.

Kedepannya akan diujicobakan untuk SLFF tanpa Barrier untuk selanjutnya dikembangkan menuju MLFF. Saat ini Jasa Marga menunggu kebijakan pemerintah dan secara aktif memberikan masukan kepada Pemerintah terkait dengan penerapan MLFF.
JASA MARGA, PELOPOR OTOMATISASI GERBANG TOL MENUJU MASA LIBUR FIESTIVAL

Pada hari Senin, 22 Februari 2021, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, sebuah perusahaan pemilik ruas tol terbesar di Indonesia, mengumumkan peluncuran proyek otomatisasi layanan gerbang tol ke arah menuju Masa Libur Fiestival (MLFF).

Pusat informative Jasa Marga menyatakan bahwa upaya otomatisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan pengalaman pelanggan gerbang tol. Proyek ini akan menampilkan teknologi otomatisasi gerbang tol dan manajemen lalu lintas modern, termasuk ruang sirine digital, kelebihan kapasitas jalan, lalu lintas tematik, dan navigasi. Ini akan secara signifikan mempercepat proses di gerbang tol.

Otomatisasi layanan gerbang tol ini dapat memudahkan kendaraan mengakses gerbang tol tanpa harus berhenti di pintu masuk. Selain itu, pengemudi akan diberi informasi detil tentang tol mulai dari kendala, peraturan kendaraan, dan informasi lain yang akan membantu mereka menemukan jalur yang aman dan tepat untuk mencapai tujuan mereka.

Selain itu, otomatisasi gerbang tol akan meningkatkan performa kinerja PT Jasa Marga dan juga mengurangi biaya operasional mereka dengan cara memudahkan pengelolaan tol. Proyek otomatisasi gerbang tol ini juga akan memungkinkan PT Jasa Marga untuk menyediakan layanan lebih dari sebelumnya, seperti layanan ticketing, multi-currency tunnel, dan tracking cctv.

PT Jasa Marga juga akan mengadopsi perangkat lunak AI, seperti neural networking, yang akan membantu meningkatkan keamanan dan kenyamanan para pengemudi. Fitur yang menarik lainnya adalah bahwa proyek ini juga akan memiliki dashboard yang menampilkan peta layanan tol dan informasi mengenai real-time lalu lintas kepada para pengemudi.

Otomatisasi gerbang tol ini akan menjadi pelopor baru dalam industri tol di Indonesia. Ini akan membantu masyarakat Indonesia meningkatkan produktivitas sehari-hari dan pengalaman kendaraan mereka di gerbang tol. Selain itu, proyek ini juga akan membantu PT Jasa Marga meningkatkan pelayanan kepada para pelanggan. Ini juga dapat membantu organisasi dengan biaya operasional rendah dan tingkat efisiensi yang tinggi.

Dengan peluncuran proyek otomatisasi gerbang tol ini, PT Jasa Marga telah menjadi pelopor dalam industri tol di Indonesia. Kami yakin bahwa proyek ini akan menjadikan pengalaman mengemudi di gerbang tol lebih menyenangkan dan terarah.

Berakhir di Banyuwangi, Jalan Tol Trans-Jawa Selesai Pada 2024

INDOWORK.ID, JAKARTA: Bagian akhir dari Jalan Tol Trans-Jawa yang menghubunhkan Banten sampai Banyuwangi berada pada Ruas Tol Probolinggo-Banyuwangi ditargetkan tuntas pada 2024.

Ruas Jalan Tol Probolinggo-Banyuwangi dengan total panjang 175,4 km. Pembangunan Jalan Tol Probolinggo-Banyuwangi terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap I menghubungkan Probolinggo hingga Besuki sepanjang 49,68 km, dan tahap II menghubungkan Besuki hingga Banyuwangi sepanjang 125,72 km.

Sementara itu, perusahaan yang memegang hak konsesi adalah PT. Jasamarga Probolinggo Banyuwangi (JPB), anak perusahaan dari Jasa Marga.

Pembangunan tahap I ruas Jalan Tol Probolinggo-Besuki terbagi atas 3 paket pekerjaan konstruksi. Paket 1, yakni Gending-Kraksaan sepanjang 12,88 km dengan tahapan pembebasan lahan sebesar 92,02 persen.

paket 2 Kraksaan-Paiton (11,20 km) dengan tahapan pembebasan lahan 89,67 persen, serta dan paket 3 Paito-Besuki (25,60 Km) dengan pembebasan lahan 28,48 persen.

DERETAN KONTRAKTOR

Adapun pekerjaan konstrukri terbagi menjadi beberapa paket: paket 1 ruas Gending-Kraksaan dilaksanakan oleh kontraktor PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Brantas Abipraya (Persero) dan PT Marga Konstruksi Nusantara berupa kerjasama operasi (KSO), sedangkan pengawasan dilakukan oleh Konsultan Supervisi dari PT Virama Karya (Persero).

Paket 2 ruas Kraksaan-Paiton dilaksanakan oleh KSO kontraktor PT Hutama Karya Infrastruktur, PT Acset Indonusa Tbk, dan PT Nindya Karya, sementara itu pengawasan dilakukan oleh Konsultan Supervisi dari PT Multi PHI Beta.

Sedangkan, paket 3 ruas Paiton-Besuki dilaksanakan oleh KSO kontraktor PT. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, PT Waskita Karya (Persero) Tbk, dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Adapun pengawasan dibagi menjadi 2 Paket, Paket 3A dilakukan oleh Konsultan Supervisi dari PT Eskapindo Matra sedangkan Paket 3B masih dalam tahap persiapan Pengadaan.

Jalan Tol Trans Jawa adalah jalur jalan tol yang menghubungkan beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dimulai dari Cikampek di Provinsi Jawa Barat menuju Banyuwangi di Jawa Timur. Jalur jalan tol tersebut dibagi menjadi enam ruas, yaitu ruas Cikamapek-Padalarang, Padalarang-Palimanan, Palimanan-Bawen, Cikampek-Kertapati, Kertapati-Surabaya, dan Surabaya-Banyuwangi.

Ruas Tol Probolinggo-Banyuwangi adalah bagian dari Jalan Tol Surabaya-Banyuwangi. Jalan tol ini diciptakan untuk mempercepat jarak perjalanan antara kota-kota tersebut dan juga mengurangi hambatan lalu lintas. Jalan tol ini juga dapat mengurangi beban lalu lintas di jalan raya lainnya dan membantu meningkatkan efisiensi angkutan umum.
The Indonesian Government has announced the completion of the Trans-Java Toll Road project, scheduled to be completed by 2024. The Trans-Java Toll Road will stretch across three different provinces, connecting the capital of Jakarta and the town of Banyuwangi in East Java.

The project, which began in 2016, will be spanning a total of 800 kilometers by the time it is finished. It will be the first toll road to span across the provinces of West Java, Central Java and East Java.

In addition to these three provinces, the Trans-Java Toll Road will also be connecting with several regional cities, such as Malang and Surabaya in East Java, Semarang in Central Java, and Bandung in West Java. This will provide travelers with an easier and faster route to reach their destination.

Significant progress has been made in the construction of the toll road, with a number of sections already completed. It is estimated that the remaining sections of the toll road will be completed by mid-2024, with some sections expected to be completed sooner.

The completion of the Trans-Java Toll Road is expected to bring numerous benefits to travelers and those living in the provinces it will be connecting. It will simplify journeys across the various provinces, and reduce the time taken to complete these journeys.

The Indonesian government is encouraging the public to be patient during the construction phase, as various drawbacks may arise as a result of the construction efforts.

When the Trans-Java Toll Road is completed in 2024, it will open a world of possibility to travelers and those living within the connected provinces of East Java, Central Java, and West Java.

The completion of the toll road is yet another example of the Indonesian government’s commitment to creating a better Indonesia.

Cerita Rawa dan Situ, Lengkap di Buku Toponimi Perkampungan Budaya Betawi

INDOWORK.ID, JAKARTA: Jakarta menarik banyak masyarakat dari berbagai kalangan untuk datang, singgah dan beranak-pinak. Tantangan pun semakin nyata, khususnya bagi budaya Betawi agar tetap lestari di tengah hiruk-pikuk perkembangan Ibu Kota.

Sebuah inisiatif muncul pada periode 1996-2001, yang kemudian dituangkan dalam sebuah rancangan program kerja “Membangun Pusat Perkampungan Budaya Betawi”. Dikutip dari laman Setu Babakan Betawi (setubabakanbetawi.com), awalnya inisiatif tersebut muncul dari adanya desakan masyarakat Betawi, yang kemudian didukung oleh tokoh-tokoh Betawi, serta organisasi masyarakat kebetawian yang kemudian dikoordinir oleh Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi. Berdasarkan hasil pertimbangan berbagai pihak, lokasi Setu Babakan dinilai memungkinkan jika dibangun sebuah perkampungan yang berfungsi sebagai pusat budaya Betawi.

Bagi Bamus Betawi, Lembaga Teknologi Universitas Indonesia (Lemtek UI), dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Perkampungan Budaya Betawi dapat didefinisikan sebagai suatu tempat di Jakarta, di mana dapat ditemukan dan dinikmati kehidupan bernuansa Betawi berupa: keasrian alam Betawi, komunitas Betawi, tradisi Betawi, kebudayaan dan materi yang merupakan sumber informasi dan dokumentasi kebetawian. Hal itulah yang mendorong pembangunan sebuah pusat budaya betawi atau Perkampungan Budaya Betawi yang dinilai dapat membantu pelestarian budaya Betawi di tengah modernisasi yang terjadi.

FESTIVAL SETU BABAKAN

Rumah Kebaya Setu Babakan

Percobaan atas inisiatif pembangunan Perkampungan Budaya Betawi kemudian dilakukan pada tanggal 13 September 1997. BAMUS BETAWI bersama Sudin Pariwisata Jakarta Selatan menyelenggarakan Festival Setu Babakan/Sehari di Setu Babakan sebagai langkah awal dari pematangan konsep pembangunan pusat budaya Betawi di Setu Babakan.

Kegiatan tersebut disambut hangat oleh masyarakat karena melibatkan berbagai aktivitas yang sangat erat dengan budayanya. Antusias yang baik dari masyarakat pada festival ini juga membuat BAMUS BETAWI berinisiatif menyerahkan embrio Perkampungan Budaya Betawi ini kepada masyarakat dan organisasi pendukung yang disebut sebagai SATGAS PBB.

Barulah pada 1998, BAMUS BETAWI mengajukan proposal Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi kepada Pemda DKI Jakarta, dengan alternatif pembangunan di wilayah Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Dua tahun setelah proposal diajukan, akhirnya Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. 92 tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Berdasarkan surat keputusan tersebut, akhirnya pada tanggal 15 September 2000, embrio PBB pun dimulai pembangunannya.

SUTIYOSO MERESMIKAN

Penonton antusias dalam acara ulang tahun ke-22 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (foto Muhammad Sulhi Rawi)Perkampungan Budaya Betawi selanjutnya baru diresmikan oleh Bapak Sutiyoso selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu pada tanggal 20 Januari 2001. Beliau menandatangani prasasti Pencanangan Awal Perkampungan Budaya Betawi, diiringi dengan pemberian mandat oleh Ketua Umum BAMUS BETAWI, Bapak dr. H. Abdul Syukur, S.K.M kepada SATGAS PBB untuk berperan aktif dalam pengawasan Perkampungan Budaya Betawi. Begitulah cikal-bakal Perkampungan Budaya Betawi yang didukung oleh berbagai pihak yang menganggap bahwa budaya Betawi penting untuk dilestarikan.

Saat itu, payung hukum yang berlaku adalah SK Gubernur No. 92 tahun 2000. Namun karena payung hukum yang telah dibuat itu belum dapat menaungi secara utuh, maka kemudian diusulkanlah pembuatan perda yang dapat menaungi seluruh pembangunan Perkampungan Budaya Betawi secara hukum. Kemudian lahirlah Perda No. 3 tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Salah satu bahasan yang dimuat dalam perda tersebut adalah bahwa wilayah Perkampungan Budaya Betawi mencakup wilayah yang kini secara administratif dikenal sebagai wilayah RT. 006 RW. 005, RW. 006, RW. 007, RW. 008, dan RW. 009, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan selanjutnya pada buku ini akan diceritakan toponiminya berdasarkan pembagian wilayah perairan dan wilayah daratan. Wilayah perairan mencakup dua setu yaitu Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong, serta rawa-rawa.

MASIH ADA RAWA

Adapun rawa yang akan diceritakan pada buku ini merupakan rawa yang masih ada eksistensinya, maupun yang sudah tidak ada seperti Rawa Bakul, Rawa Bubu, dan Rawa Pule. Sementara itu, pada wilayah daratan, cerita tentang toponiminya akan dibagi ke dalam dua wilayah perkampungan, yaitu Kampung Kalibata dan Kampung Cipedak.

Hal ini karena Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan mencakup dua kampung tersebut, meskipun tidak semua bagian dari Kampung Kalibata dan Kampung Cipedak termasuk dalam wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Jadi pembatasan yang akan dibuat disini untuk wilayah daratan adalah cerita toponim dari wilayah Kampung Kalibata dan Kampung Cipedak yang termasuk dalam wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

*) Penulis, Ide Nada Imandiharja, Mahasiswa Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
The internet””

The Internet has become an integral part of our lives. Now more than ever, the ability to connect to and access the Internet has drastically changed how we communicate, shop, learn, and do business.

At its most basic, the Internet is a global network of computers that are connected to one another. Through this network, users can send and receive data, including email, webpages, streaming videos, online gaming, voice calls, and more.

The Internet includes a variety of different technologies and services, including but not limited to, web servers, content delivery networks, WiFi routers, domain name systems, and Internet service providers. These services make it possible for users to connect to one another, access information, and carry out various activities.

No matter its form, the Internet has had a profound effect on how society operates. Businesses, for example, are now able to perform tasks like advertising, selling products, and conducting transactions online. Individuals can create personal websites or blogs, join online communities, and access a wealth of information that would have otherwise been impossible.

In addition, the Internet has enabled communication to become faster and more convenient than ever. It has revolutionized communication by opening up the world by allowing users to communicate with people all over the globe.

The Internet has become an essential part of our lives, and it is likely to continue growing in popularity and influence in the years to come. As users continue to pursue new ways to use the Internet and its services, the possibilities of what can be achieved online will continue to expand.