INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Kecelakaan pesawat udara selalu disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab utamanya faktor teknis (technical problem), cuaca/alam (weather); dan kesalahan manusia (human error).
Menurut data statistik yang diolah dan disampaikan oleh Erick Burgueno Salas (2022), 41% dari 262 kecelakan pesawat udara antara periode 2016 dan 2020 disebabkan oleh faktor kesalahan manusia (human error) dan pelanggaran peraturan (violation of rules).
Di antara human error yaitu kurang cermat dalam membaca manual handling; dan/atau kurang latihan (training) sehingga dalam kondisi kritis tidak dapat mengontrol pesawat udara (flight control). Selain kesalahan manusia, kecelakaan pesawat juga disebabkan oleh pelanggaran aturan (violation of rules) yang dilakukan oleh manusia dan/atau perusahaan.
PILOT KURANG LATIHAN
Pelanggaran oleh manusia, misalnya, pilot kurang mendapatkan latihan yang layak, kurang mencermati hal-hal penting, tidak mengindahkan kondisi cuaca, kelelahan, kurang komunikasi, stress, dan lain-lain (Khan, Siddique and Farrukh, 2022). Selain dari itu 7% kecelakaan disebabkan oleh kesalahan manufaktur (manufacture failure) termasuk sistem atau komponen yang malfungsi (Airbus, 2022).
Amerika Serikat yang telah memiliki peraturan terkait tanggung jawab pabrik (product liability) untuk pesawat udara yang dipergunakan untuk penerbangan non-niaga (general aviation) melalui U.S. General Aviation Revitalization Act of 1994 (GARA) (usia pesawat udara harus 18 tahun beroperasi untuk dapat menuntut) dan Uni Eropa melalui EU Directive 85/37417 (usia pesawat udara harus 10 tahun beroperasi untuk dapat menuntut (Zhang and Zhang, 2023).
Mengingat potensi kerugian yang harus ditanggung perusahaan jika terjadi kecelakaan penerbangan yang mengharuskan pemberian kompensasi, setiap perusahaan angkutan udara wajib memiliki asuransi. Hal ini diatur dalam Article 50 Konvensi Montreal 1999. Adetola Adegbayi,(2016) menjelaskan bahwa kewajiban, atau keadaan berada di bawah kewajiban, merupakan tanggung jawab hukum dan moral.
Kewajiban hukum, dapat dipaksakan dalam bentuk tanggung jawab kehati-hatian dalam menjalankan tugas (duty of care)atau dengan persetujuan/kontrak yang disengaja yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi atau tindakan yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran terhadap kontrak tersebut dapat mengakibatkan pengenaan sanksi dan/atau pemberian kompensasi. Karena tingginya potensi risiko penumpang Jika terjadi kecelakaan pesawat, perusahaan angkutan udara niaga dapat menjadi bangkrut dan dilikuidasi jika mereka tidak mengasuransikan penumpangnya (Hadiati, Djajaputra dan Martono, 2017).
MENUNTUT KONPENSASI
Menurut J.J. Kennelly (Verschoor, 1988) , ada 3 cara penumpang dapat menuntut kompensasi tidak terbatas (unlimited liability) dengan mengacu pada prinsip presumption of liability. Kompensasi tidak terbatas (unlimited liability) ini dapat diukur berdasarkan “nilai (value)” seorang korban.
Nilai (value) seseorang tidak hanya dinilai berdasarkan nilai individual yang berupa antara lain pendapatan dan pelayanan yang diterima selama masih hidup, tetapi juga “nilai kemasyarakatan (contribution to society)” atau dapat dikatakan status sosial dari korban. (Jacob and Kiker, 1996).
Tiga kondisi di mana penumpang berhak mengajukan kompensasi tidak terbatas tersebut(unlimited liability) adalah:
Pertama, membuktikan bahwa pengangkut udara bersalah atas kesalahan yang disengaja;
Kedua, membuktikan bahwa tiket tidak diserahkan kepada penumpang;
Ketiga, membuktikan bahwa tiket yang diserahkan kepada penumpang tidak memuat peringatan yang memadai tentang Larangan Konvensi Warsawa.
TUNTUTAN AHLI WARIS
Selain tuntutan kepada perusahaan angkutan udara, tuntutan ahli waris terhadap cacat produksi (product defects) pesawat udara bukan merupakan isu hukum baru dalam industri penerbangan sipil. Kasus pertama gugatan terhadap pabrik pembuat pesawat udara (product liability) terjadi pada 1937 saat pengadilan Michigan dalam kasus Mynard vs Stinson Aircraft Corporation menyatakan bahwa Stinson Aircraft Corporation telah melakukan kesalahan (negligent)terhadap pesawat udara yang diproduksinya (Khouri, 1980).
*) Ditulis oleh Hemi Pramuraharjo, penulis buku Hukum Penerbangan Indonesia.
Aviation accidents are on the rise due to human error, contributing to the majority of events and resulting in catastrophic consequences. Statistics compiled by the International Air Transport Association (IATA) show that human error is the largest factor in aviation accidents, accounting for 84 percent of incidents.
Studies conducted by the National Transportation Safety Board (NTSB) have found that human error is the most influential and biggest contributor to aviation accidents. Common errors include inadequate communication between air traffic control and pilots, incorrect decision making, and insufficient maintenance and follow-up on aircraft systems and components.
Human errors are generally divided into three categories: Pilot error (which accounts for 56 percent of accidents), Air Traffic Control error (accounting for 25 percent) and maintenance error, which accounts for 18 percent of all accidents. Pilot error can occur in different ways, including poor judgment, lack of experience and training, failure to follow procedures, lack of knowledge of aircraft and aviation systems, and fatigue or distraction. Air Traffic Control errors can include incorrect instructions, inadequate air traffic coordination, or failure to monitor flight progress. Maintenance errors typically occur due to insufficient quality control and failure to properly maintain aircraft.
The NTSB has also found that human performance has a significant effect on aviation safety, affecting both the frequency and severity of accidents. To combat human error and mitigate its impact on aviation safety, it is essential that pilots and air traffic controllers receive thorough training and experience before taking on responsibility for flight operations. Furthermore, aircraft maintenance requires close monitoring to identify and repair any faulty components before flight.
Ultimately, human error can have a devastating, exponential impact on aviation safety. To ensure the safety of the public it is important to focus on not only aviation maintenance and procedures, but also the quality of human performance in the aviation industry.
A-Life, Jasa Marga Sosialisasikan Program Alih Profesi bagi Karyawan