Oase

Mencermati Etika Media Massa dalam Liputan Covid 19



single-image
Covid 19

 

OLEH MAXIMUS ALI PERAJAKA

Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Saint Mary, Jakarta

 

 

 

 

 

MELIPUT Covid-19 bagi para insan media massa ibarat makan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Dilematis. Di satu sisi, wartawan harus tetap membentengi diri  agar tidak terpapar atau pun menjadi carrier. Di sisi lain mereka harus mengembangkan model reportase yang  berbeda, namun  tetap selaras dengan etika jurnalistik.

 

Model reportase yang berbeda adalah tuntutan yang mutlak dipenuhi ketika media massa berhadapan dengan suatu situasi bencana. Bencana, baik yang natural catastrophe maupun yang man-made disaster, memiliki kekuatan dahsyat yang mengguncang fondasi kehidupan sosial-budaya. Bencana selalu meninggalkan bekas yang dalam pada kesadaran kolektif manusia sehingga menimbulkan trauma budaya yang hebat.

 

Trauma budaya dalam berbagai skala, sering terjadi dalam sejarah umat manusia. Dalam skala lokal ketika terjadi akibat bencana alam seperti tsunami Aceh 2004 dan gempa bumi Palu 2018.

 

Sedangkan dalam skala global, trauma budaya terjadi akibat pandemi  global seperti The Great Plague of Marseille (1720), Penyakit Kolera (1820), Flu Spanyol (1920), perang Dunia I (1914-1918) dan II (1939-1945), dan  Covid-19.

 

REPORTASE KRITIS

Trauma budaya yang dahsyat akibat pandemi Covid-19 menimbulkan implikasi mendalam bagi dunia jurnalisme. Ia seakan memaksa para jurnalis media massa mengubah pola reportasenya, dari krisis yang biasa ke model baru.

 

Ketika pandemi Covid-19 baru muncul Desember lalu, media massa mengganggapnya sebagai ‘bencana normal’ juga. Oleh karena itu, reportase cenderung menonjolkan peristiwa dramatis seperti peningkatan pesat jumlah orang terpapar dan meninggal dunia.

 

Situasi berubah  ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa  Covid-19 menjadi pandemi global. Semenjak itu, jurnalis media massa harus beralih ke pola reportase krisis yang baru.

 

Dalam pola reprotase krisis yang baru, para jurnalis diharuskan untuk memenuhi berbagai macam tantangan:

  • memberikan panduan dengan melaporkan secara komprehensif dan akurat tentang perkembangan krisis;
  • memberikan informasi tentang risiko kesehatan masyarakat tanpa menimbulkan kepanikan;
  • mendidik masyarakat memahami pandemi secara ilmiah;
  • memberi tahu warga masyarakat tentang tindakan perlindungan yang diperlukan dan penyesuaian perilaku;
  • tetap melaksanan fungsi pengawasan (watch dog) sekalipun krisis menjadi semakin hebat.

 

 

TANTANGAN ETIS

Di tengah pandemi Covid 19 yang semakin meluas, jurnalis media massa,  (juga mereka yang menyebut dirinya citizen journalist)  akan menghadapi tanggung jawab sosial dan tantangan etis yang makin berat. Sebab, publik akan mengawasi secara ketat cara reportase dan kinerja, termasuk kepatuhan pada kode etik jurnalistik.

 

Publik juga memantau orang-orang yang aktif di media sosial, jaringan sosial, mesin pencari dan layanan messenger.

 

Sejatinya, ada empat tantangan etis yang perlu dipertimbangkan oleh setiap jurnalis ketika membuat reportase  pandemik Covid-19.

 

Pertama, menggunakan perspektif global. Ketika berhadapan dengan krisis Covid-19, media massa mulai cenderung melakukan reportase dengan perspektif  transnasional (global).

 

Kedua, emosi ‘panas’ dan ‘dingin’.  Ssaat melaporkan bencana di kejauhan, jurnalis diliputi emosi yang lebih  ‘negatif’ dan ‘lebih tegang’. Namun, ketika kisah bencana terjadi di sekitar dirinya, jurnalis mulai diliputi  emosi yang lebih positif dan lebih tenang.”

 

Kondisi yang sedikit berbeda dengan reportase media massa Indonesia. Ketika Covid-19 masih berada di luar, media massa Indonesia tampak kalem saja. Namun, ketika kasus pertama ditemukan di Depok, media massa Indonesia tampak agak panik.

 

Melalui emosi yang negatif demikian, media massa Indonesia lebih mudah terperosok ke masalah etis. Ia tidak lagi tampil sebagai agen ‘civil society’ yang membawa pencerahan dan soliditas sosial. Dalam emosi yang negatif, reportase media massa cenderung tidak akurat.

 

Ketidakuratan amat dekat dengan kebohongan. Makanya, tidak terlalu mengherankan ketika kasus Covid-19 mulai diidentifikasi, hoax merebak pula di media sosial.

 

Beruntung, dalam perkembangan selanjutnya, melalui sosialisasi informasi yang kuat dari Dewan Pers, pemerintah dan  berbagai pihak, emosi jurnalis media massa dan ‘citizen journalist’ menjadi semakin ‘matang’. Alhasil, belakangan reportase media massa dan informasi di media sosial menjadi  faktual.

 

Ketiga, pengawas mitigasi. Melalui peran ini, jurnalis terlibat dalam upaya melindungi kehidupan manusia.

 

Dalam konteks pandemi Covid-19, jurnalis media massa perlu selalu memperingatkan penduduk tentang ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Melalui reportasenya, jurnalis harus selalu mendorong warga masyarakat  baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk ikut bertanggung jawab terhadap keselamatan diri dan sesamanya.

 

Keempat,  ancaman infodemik (infodemic trheat). Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 merangsang berkembanganya rumor tak berdasar dan kesalahan informasi (disinformasi).

 

Rumor seperti  itu jelas merupakan ancaman infodemik yang serius. Berhadapan dengan ancaman itu, jurnalis harus bekerja ekstrakeras memainkan perannya sebagai pihak yang memberikan informasi (to inform) dan mendidik (to educate).

 

Berkenaan dengan ini, kita berharap, pemerintah, lembaga pers, dan semua pihak terkait berkomitmen dan berjuang lebih keras lagi untuk mengedukasi masyarakat agar tidak mudah mempercayai rumor yang tidak berdasar mengenai Covid-19.

 

Berita Lainnya