Headline Humaniora

Covid-19: Masih Ada Cahaya di Ujung Terowongan



single-image

INDOWORK, JAKARTA: Mengerikan. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan tentang musibah yang melanda kita. Dalam waktu 4 bulan (Maret-Juli 2020) 3.000 orang lebih meninggal akibat pandemi Covid-19.

Indonesia kini menjadi episentrum baru pandemi Covid-19 di Asia Tenggara, bahkan Asia. Korban angka penderita infeksi Covid-19 terus menanjak tinggi, pada saat sejumlah negara di Asia berangsur-angsur mengalami pemulihan. Per 5 Juli 2020, total jumlah penderita yang terinfeksi virus Covid-19 ini mencapai angka 62.142 jiwa, dengan angka kesembuhan 28.219 jiwa, dan meninggal 3.089 jiwa.

Saya mulai menghitung sejak  dua pasien pertama dari Depok, terdekteksi positif COVID-19, 2 Maret 2020. Sejak itu media massa terus membanjiri publik dengan berita mengenai COVID-19.

Hal itu mungkin akan terus berlanjut sampai wabah virus asal Wuhan, Tiongkok, itu berhasil ditaklukkan. Bahkan, Badan Intelijen Negara (BIN) memperkirakan wabah pandemi COVID-19 akan mencapai puncak penularannya pada Juli 2020. Diprediksi jumlah korban terinfeksi akan berkisar 106.287 jiwa.

Pada awalnya, banyak media massa memberitakan kasus COVID-19 secara membabi buta. Mereka misalnya, tidak akurat dan kurang selektif dalam memilih narasumber. Pemberitaannya juga masih lebih sering tidak lengkap. Parsial dan cuma mengetengahkan informasi yang mencemaskan dan menakutkan publik. Media massa terutama beberapa media elektronik sering membuat bingung dan cemas masyarakat karena berita yang bobot edukasinya kurang, sering pula diulang-ulang.

Yang lebih krusial, banyak media massa mengabaikan protokol kesehatan dalam proses peliputan. Mereka misalnya melakukan wawancara atau menghadiri press conference yang dilakukan pemerintah tanpa memperhatikan jarak atau tak menggunakan masker. Mereka merilis berita tanpa peduli pada etika dan hak-hak pasien. Informasi data pribadi pasien dibuka, dan disebarluaskan sehingga menimbulkan stigma.

Itu sebabnya, tak kurang dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan pernyataan untuk mengingatkan. Karena, membuka apalagi membeberkan rahasia medis pasien yang sedang ditangani dokter di rumah sakit tanpa izin sang pasien, merupakan pelanggaran atas Pasal 47 dan 48 UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Pasal 57 UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Belakangan, setelah terjadi polemik dan diskusi pro-kontra di kalangan komunitas pers menyusul insiden wartawan yang meliput Walikota Bogor Bima Arya, IJTI akhirnya mengeluarkan rilis baru meminta kepada seluruh media untuk membuka saja identitas pasien yang positif terjangkit COVID-19.

Tujuannya agar orang yang pernah berinteraksi dengan pasien/korban bisa melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan pandemi COVID-19. Koreksi kebijakan yang senada juga dirilis oleh KPI.

 

Memang, sejatinya tidak semua media massa bertindak ceroboh. Dewan Pers mencatat selain banyak media yang kurang berhati-hati, tapi sejumlah media massa arus utama (mainstream media) yang memberitakan kasus pandemi COVID-19 secara proporsional dan profesional. Mereka memberitakan secara kritis dan obyektif langkah pemerintah dalam penanggulangan kasus itu.

Dinamika pemberitaan media massa terhadap pandemi COVID-19 sebagaimana disebutkan di atas tentu tidak muncul begitu saja. Dinamika itu terjadi karena baik insan media massa maupun pemerintah, sama-sama tidak mengetahui secara pasti dalam ihwal COVID-19 itu. Makanya, dalam menjalankan fungsinya masing-masing, insan media dan pemerintah sempat membuat kekeliruan. Tapi, syukurlah keduanya sudah dapat mengoreksinya.

 

PERAN MEDIA MASSA

 

Tak dapat dipungkiri, sesuai amanat Konstitusi, pemerintah memikul tanggung jawab utama memberangus COVID-19 untuk menyelamatkan setiap warga bangsa Indonesia. Namun, sebagai elemen utama civil society, media massa juga harus dapat memainkan peran dan fungsi guna menghindarkan semua warga negara Indonesia selamat dari ancaman kematian akibat COVID-19.

 

Peran dan fungsi media massa terasa makin penting, karena selain menyebabkan musibah kematian, COVID-19 juga menghantam keras sektor ekonomi Indonesia. COVID-19 telah mengakibatkan semua lini ekonomi mati suri. Pemerintah menyatakan, dalam skenario moderat, ekonomi hanya akan tumbuh 2,3 persen. Namun, dalam skenario terburuk pertumbuhan akan berada di tingkat 0,4 persen.

 

Makanya, pemerintah telah mengeluarkan Perppu 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilisasi Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan COVID-19. Dengan legalisasi Perppu ini, pemerintah akan mengoreksi APBN 2020-2021 dan menggelontorkan dana sekitar Rp405 triliun untuk menyelamatkan rakyat dan perekonomian dari terjangan COVID-19.

Sejatinya, dalam kondisi krisis akibat pandemi COVID-19, media massa memiliki dua fungsi penting, yaitu melakukan pengawasan (watchdog), dan melakukan edukasi. Dalam hal pengawasan, media mainstream, dan media umum hendaknya dapat membantu pemerintah dengan cara memantau secara ketat setiap kebijakan dan langkah-langkah konkrit yang diambil pemerintah dalam memerangi COVID-19.

 

Lebih dari itu, media juga mengawasi cakrawala berita tentang COVID-19, baik yang diproduksi oleh sesama rekan media, terutama yang direproduksi dan disebarkan oleh pelaku media sosial. Pengawasan terhadap media sosial terasa makin urgen karena per 13 maret 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengidentifikasi 204 isu hoaks di media sosial.

 

Berkenaan dengan fungsi mengedukasi, media massa dapat merumuskan pemberitaan dengan tone yang berimbang yaitu negatif, positif, dan netral. Selain itu, media juga perlu mengembangkan berita yang sifatnya korelatif dengan mengaitkan sudut-sudut cerita yang berbeda, dengan perspektif yang berbeda, dan menyeimbangkan interpretasi yang berbeda sehingga menghasilkan konten berita yang kohesif dan gamblang.

 

Melalui fungsi edukatif, media dapa menumbuhkan awareness kepada masyarakat mengenai COVID-19 mengenai pola penyebaran, metode test COVID-19, pengobatan dan protokol keamanan memakamkan korban COVID-19. Termasuk, memberikan motivasi kepada masyarakat untuk lebih waspada dan menahan diri untuk beraktivitas di rumah guna memutuskan mata rantai penyebaran sehingga Indonesia segera keluar dari krisis COVID-19.

 

Supaya insan media dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal, diharapkan pemilik media massa, termasuk pemilik stasiun televisi, untuk tetap memberikan hak-hak jurnalis, seperti gaji dan pembayaran THR meski pemasukan iklan berkurang.

 

Selebihnya, diharapkan pemimpin redaksi media massa dan televisi untuk tetap mempertahankan protokol COVID-19 selama pandemi belum berakhir.

 

Pada sisi lain, diharapkan para pejabat negara, pimpinan instansi lembaga pemerintahan dan swasta, untuk bisa menerima permohonan wawancara jurnalis TV melalui teknologi skype maupun live by phone atau video call, sesuai protokol COVID-19.

 

CAHAYA DI UJUNG TEROWONGAN

 

Dinamika, khususnya langkah koreksi dari komunitas media, dan upaya perbaikan di jajaran pemerintah dalam merespons pandemi COVID-19, agaknya menyadarkan kita semua betapa pelik dan tidak sederhananya masalah yang dikandung pandemi COVID-19 ini.

 

COVID-19 bak racun berbahaya yang sudah merangsek masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Kondisi seperti itu, hendaknya membuat kita lebih waspada, dan semakin solid bersatu, bukannya panik dan tercerai-berai.

 

Satu hal yang menggembirakan bahwa hari-hari belakangan ini jagat media pers (media cetak, siber, televisi, radio, dan fotografi) serta media sosial terus menyorot dan mengabarkan perkembangan COVID-19 secara faktual dan transparan. Mereka menyiarkan semua langkah strategis yang dilakukan Presiden Joko Widodo (pemerintah) untuk menanggulangi wabah pandemi itu. Mereka juga semakin patuh pada protokol kesehatan yang digariskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan panduan dari Gugus Tugas Penanggulangan COVID-19 yang diperkuat oleh Perpu 1 tahun 2020, PP no 21 tahun 2020 dan Keppres no 11 tahun 2020.

 

Tentu saja, media massa tak akan pernah dapat memainkan peran dan fungsinya secara sempurna dalam masa pandemi COVID-19 ini. Namun, melihat langkah-langkah koreksi dan komitmen serius yang ditempuh media massa sejauh ini, kita setidaknya memiliki harapan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi pandemi COVID-19 akan segera berlalu. Masih ada cahaya di ujung terowongan.

 

Berita Lainnya