Humaniora

Robot, Ancaman Bagi Profesi Wartawan



single-image

 

Besok, 9 Februari, hari untuk kita, insan pers Indonesia. Inilah Hari Pers Nasional. Sebelum menempuh perjalanan tahun ini, saya akan memotret kinerja industri media 2019. Upaya ini sangat penting. Pasalnya,  media merupakan alat ampuh yang membentuk dunia dan masyarakat kita.

 

Media dapat digunakan untuk membantu orang, dengan meningkatkan kesadaran, menghibur atau mendidik, memicu diskusi kritis, dan meruntuhkan stereotip. Namun, media juga dapat digunakan secara negatif seperti menciptakan kebingungan dengan informasi palsu, menggosip, menfitnah, dan memperkuat pandangan yang stereotip.

 

Sepanjang 2019, kita telah mengalami sendiri betapa industri media sangat dinamis. Dari sisi teknologi muncul beragam media baru. Dari sisi konten, media ibarat bandul jam, bergerak dari sisi positif ke negatif secara silih berganti.

 

Dalam tiga seminar konvergen bertajuk La Presse au Futur, Médias en Seine dan Les Nouvelles Pratiques du Journalisme, yang berlangsung akhir November hingga awal Desember lalu, para pakar dan praktisi media mengungkapkan bahwa selama 2019, lembaga pers internasional semakin intensif memanfaatkan alat jurnalistik inovatif, seperti jurnalisme robot. Namun, pada sisi lain, mereka mengisyaratkan bahwa pada masa depan lembaga pers internasional akan menghadapi banyak tantangan yang muncul akibat penerapan teknologi baru tersebut. Tantangan yang paling serius adalah kesiapan kompetensi para jurnalis, dan kode etik jurnalisme.

 

TREN MEDIA GLOBAL

 

Beberapa tren utama yang mendominasi lanskap media internasional selama 2019.

Pertama, video digital (streaming) semakin menjamur. Sepanjang 2019 video digital secara bertahap menutup kesenjangannya dengan siaran TV. Memang, televisi masih merupakan media berbasis konten yang paling luas di seluruh dunia. Namun menjamurnya konten dan layanan video digital, baik yang berbayar maupun yang gratis, telah membuat video-on-demand (VOD) menjadi sangat akrab dengan konsumen.

 

Di Australia, misalnya, 68,8% pengguna internet yang disurvei pada 2019 telah menonton layanan berlangganan VOD seperti Netflix. Di China dan India, responden yang mengaku sering menonton beberapa bentuk VOD lebih besar (69%) daripada persentase yang menonton siran TV langsung (65%). Jumlah pemirsa video digital (streaming) di seluruh dunia terus meningkat.

 

Lembaga survei eMarketer memperkirakan bahwa 2,63 miliar orang  menonton streaming atau mengunduh video setidaknya sekali sebulan pada 2019 ini. Dipekirakan pada 2022, jumlah itu akan mendekati 3,04 miliar. Tren tersebut pada gilirannya akan mendorong anggaran iklan video digital lebih tinggi. Pendapatan iklan digital bersih untuk YouTube saja diperkirakan akan melewati $ 15 miliar pada 2021.

 

Selama 2019, hampir setiap perusahaan media berlomba-lomba membangun hubungan langsung dengan konsumen agar mereka memiliki setidaknya satu langganan video streaming. Ke depan, perusahaan media dengan layanan video streaming yang menawarkan pustaka konten terbaik dan terluas dipastikan akan meraih sukes besar.

 

Hebatnya, dengan teknologi terbaru, perusahaan media memiliki kesempatan untuk menawarkan paket konten yang sangat terpadu. Artinya,  selain video streaming, ia dapat mencakup streaming musik dan game. Hebatnya lagi, perusahaan dapat menyediakan opsi kepada pelanggan untuk menerima video yang didukung iklan, dan iklan dengan imbalan “gratis” (nonvideo) berlangganan konten.

 

Pertumbuhan video streaming juga terjadi di Tanah Air. Hal itu paling tidak tercermin pada pertumbuhan pesat pendapatan iklan berbasis video.

 

Sayangnya, pertumbuhan video streaming di Indonesia dinodai oleh kegemaran konsumen mengakses situs streaming bajakan. Menurut survei yang dilakukan oleh YouGov untuk Coalition Against Privacy (CAP) dari Asia Video Industry Association, 63% konsumen online di Indonesia  suka mengakses situs streaming ilegal untuk menonton konten premium tanpa membayar biaya langganan.

 

Sebanyak 62% mengaku telah berhenti langganan sebagian atau semua layanan TV berbayar, dan sekitar 29% lainnya menggunakan perangkat TV box ilegal (ISD) berisi aplikasi-aplikasi ilegal pula yang memberikan akses ke konten video-on-demand dan channel TV bajakan.

 

Kedua, audio adalah media baru. Dalam beberapa tahun belakangan, sebagian besar platform media sosial adalah platform visual. Dari foto statis hingga GIF animasi, video bentuk panjang, video bentuk pendek, konten singkat, video langsung, dan juga teks (karena kita perlu membacanya), semuanya hampir visual. Namun, semenjak 2019 berkembang sebuah tren lain yaitu audio (suara).

Pada para pakar dan praktisi media global semakin meyakini bahwa audio (suara)  akan menjadi pintu gerbang ke media yang bergerak maju pada 2020 dan masa depan. Indikasinya, speaker untuk mengaktifkan audio sudah tumbuh lebih cepat dari smartphone.

Awal Maret 2019, MobileSphere, merilis sebuah platform media sosial berbasis audio baru yang disebut, Riffr. Riffr adalah sebuah aplikasi dan situs web gratis yang  memungkinkan konsumen untuk merekam, mengunggah, memposting, dan mendengarkan konten berkualitas tinggi dengan emosi dan keintiman suara.

 

Melalui platform media seperti itu para konsumen dapat mengungkapkan pikiran mereka, mendengarkan kisah perjuangan pahlawan mereka, mendidik orang lain, terhubung dengan teman dan keluarga, dan menjadi terinformasi hanya dengan mendengarkan. Klip audio ini – Riff – berdurasi antara lima detik dan tiga menit. Pengguna merekam dan streaming melalui aplikasi dan menikmati berbagai topik termasuk komedi, kesehatan dan kebugaran,  hiburan, dan banyak lagi.

 

Mulai Agustus 2019, platform media sosial berbasis suara mulai hadir di Tanah Air. Namanya, Soundfren. Ini adalah  aplikasi jejaring sosial karya anak muda yang diciptakan khusus untuk orang-orang yang bergelut di dunia musik, seperti solois, grup band, penulis lagu, sound engineer, hingga produser musik. Lewat Soundfren, para pengguna bisa saling berbagi pengalaman, ide, dan masukan seputar karya masing-masing.

 

Peluang untuk berkolaborasi juga sangat terbuka. Aplikasi Soundfren juga sudah tersedia di App Store dan Play Store yang memudahkan para penggunanya untuk mengakses Soundfren di mana saja dan kapan saja.

 

Ketiga, artificial intelligence (AI) telah memasuki ruang berita. AI sudah digunakan di banyak ruang redaksi dari agensi pers internasional. Di Agence France-Presse (AFP), AI telah meliput berita dalam hasil olah raga dan jajak pendapat.

 

Pemimpin Ruang Berita AI untuk Associated Press (AP), Lisa Gibbs menjelaskan bahwa penulisan robot juga sedang naik daun. Algoritma dan data memungkinkan robot untuk menghasilkan cerita dengan cepat. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah tulisan olah raga yang dihasilkan robot melonjak dari 300 menjadi 3.700 cerita.

 

Efisiensi AI ini berdampak langsung bagi pekerjaan wartawan. Robot dapat dilihat sebagai asisten jurnalis masa depan.

*) Lahyanto Nadie adalah Dosen dan Penguji Kompetensi Wartawan di Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS)

 

 

 

 

Berita Lainnya