Bisnis Headline

Saham Sri Rejeki Isman Terancam Delisting, Bagaimana Nasib Investor?

Share on:

INDOWORK.ID, JAKARTA: Dalam rekening anak saya ada saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL). Saham yang sudah 30 bulan dihentikan perdagangannya di bursa (suspensi) dan kini terancam delisting.

Saya tidak ingat persis kapan saham tersebut dibeli dan masuk dalam portfolio anak saya. Tapi pasti sudah lebih dari 30 bulan. Pemilihan saham itu diambil berdasar persepsi fundamental. Persepsi fundamental yang terbentuk dari laporan, rilis-rilis resmi perusahaan, dan pernyataan manajemen dalam ekspose publik atau wawancara.

SRIL menyatakan diri sebagai salah satu perusahaan tekstil barisan depan. Ekspansinya diresmikan Presiden Jokowi. Memproduksi dan menjual dari benang, mori, kain jadi dan pakaian jadi. SRIL menyatakan mengekspor seragam tentara ke lebih dari 100 negara. Melaporkan ekspor semakin meningkat dari waktu ke waktu, dan menempati porsi mayoritas pendapatan (publikasi paling akhir yang saya baca: ekspor 53% dari revenue).

UTANG BESAR

Utangnya memang cukup gede. Tapi DER 200% bukan sesuatu yang melampaui batas. Utangnya sebagian besar dalam USD. Tapi tokh penghasilannya juga mayoritas dalam mata uang yang sama.

Lalu tiba-tiba default. Tiba tiba gagal bayar. Tiba tiba cedera janji. Dan disuspensi hingga hari ini. Sejatinya kalau sebuah perusahaan jujur dalam publikasinya, potensi financial distress tentu bisa dimonitor dari jauh jauh hari.

Saya ingin menitipkan beberapa pertanyaan. Kepada Bursa Efek Indonesia, kepada OJK, dan otoritas lain terkait, dan siapa saja yang boleh jadi bernasib serupa dengan anak saya. dan siapa saja yang peduli tentang mekanisme pasar modal Indonesia.

Pertama, apakah perlindungan investor publik cukup dengan mengusir perusahaan dari Bursa, lewat delisting?

Kedua, apakah pemegang saham pengendali, pengurus dan manajemen selama tiga tahun sejak gagal janji sudah melakukan upaya upaya penyelesaian optimal dengan memperhatikan perlindungan terhadap investor publik, atau semata mata kepentingan pengendali? Apakah BEI dan OJK memonitor upaya upaya itu?

Ketiga, yang pernah memimpin perusahaan tentu bisa membedakan mana force majeure, mana salah kelola. Begitu tumpulkah rasa etika pengendali / pengelola untuk menyelesaikan persoalan salah kelola, bila perlu mengorbankan sebagian kepentingan pribadi? Katakanlah, misalnya, melepaskan status mayoritas dengan mengkonversi hutang menjadi saham, dan perusahaan bisa beroperasi kembali dengan normal.

Keempat, setelah delisting suatu perusahaan masih berstatus Tbk. Tetap tunduk pada UUPM. Apakah OJK akan mewajibkan perusahaan menempuh proses go private dan pengendali melakukan mandatory tender offer? Atau diam saja menonton investor publik bergelimpangan menjadi korban?

Kelima, kalau kemudian perusahaan dinyatakan pailit dan dilikudasi adakah peran BEI dan OJK untuk memastikan bahwa pemegang saham publik memperoleh pembagian sisa aset secara adil? Sekaligus memastikan tidak ada transfer pricing, trik memindahkan aset perusahaan terlebih dahulu menjadi kekayaan pribadi / kelompok lalu meninggalkan perusahaan papan nama dan pemegang saham publik yang gigit jari?

Celoteh bersungut-sungut ini saya tutup dengan mengutip “joke” Mr. MU (ketua keempat Bapepam). Kata beliau Neil Armstrong bukan orang pertama mendarat di bulan. Dia sudah didahului orang Indonesia. Naik pesawat ruang angkasa? Bukan. Caranya dengan menumpuk hasil seminar, lokakarya, FGD, undang undang, PP kepres, kepmen dst dst, lalu memanjat tumpukan itu sampai di bulan.

(Joke mode on: yang ini tambahan saya). Sesampainya di bulan dia kentuti tumpukan dokumen itu. Tumpukan dokumen itu bukti pameran kecerdasan otak tapi nyaris tak terlihat dan berbekas dalam prilaku.

Omdo bin omko, di sini, di negara ini, memang nyaris selalu memperoleh remunerasi tinggi dan tepuk tangan meriah.

*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, investor di pasar modal, Redaktur Khusus Indowork.id


Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *