Bisnis Headline

Dari Media Massa ke Media Tanam

Share on:

INDOWORK.ID, SLEMAN, YOGYAKARTA: “Menawi sampun semburat, pun endhah kemawon, Pak,” ujar Jimin, bukan nama sebenarnya, yang menggarap bidang sawah di seberang petak sawah milik saya. Saya sedang memanen perdana cabe rawit yang sudah menguning-tua dan nampaknya sudah memasuki usia panen.

Anjuran tersebut tentu saja saya sambut baik dan kalimat anjuran Jimin yang bermakna “kalau buah cabe sudah mulai berwarna kuning tua dan cenderung memerah, sebaiknya diunduh/dituai saja” tersebut menjadi pelajaran pertama memanen tanaman cabe yang saya budidayakan dengan cukup intens selama 2,5 bulan terakhir.

Sekitar 9,5 bulan sebelumnya, saya hanya ‘berani’ bercocok tanam di pekarangan sekitar rumah untuk tanaman berkategori mudah dikerjakan bagi pemula, seperti menanam berbagai jenis sayur-mayur, jagung, kacang panjang, dan sebagainya. Hasil panenan tentu saja tidak seberapa, belum berskala komersial, dan hanya dikonsumsi sendiri maupun dibagikan ke sedulur dan tetangga.

Sedangkan panen perdana cabe yang berskala komersial kelas ‘gurem’ tersebut, Alhamdulillaah, sekaligus menandai tepat setahun saya dan keluarga boyongan ke Sleman, DIY, ini untuk menetap. Kami berhijrah dari hiruk-pikuknya Jakarta Raya yang sudah kami geluti hampir sepertiga abad lamanya. Selama 30 tahun, saya meniti karir profesional sebagai ‘orang pers’, dari berstatus Carep alias calon reporter, menjadi koresponden, dan akhirnya menjadi reporter

KARIR MEDIA

Karir saya menanjak terus setelah melalui fase sebagai asisten redaktur, meningkat kemudian sebagai redaktur dan dalam tempo hampir lima tahun, saya sudah beroleh amanah sebagai redpel alias redaktur pelaksana yang di Bahasa sono-nya managing editor. Singkat cerita, sebelum genap persis satu dekade, saya Kembali memperoleh amanah sebagai chief editor alias pemimpin redaksi.

Oh iya, saya meniti karir di media nasional Bisnis Indonesia, induk dari Harian Umum Solopos yang melayani pembaca di kawasan Solo Raya dan Harian Jogja yang melayani konsumen informasi di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya, dengan memucaki karir sebagai wakil pemimpin umum sebelum menjalani ‘tugas nasional’ sebagai anggota Dewan Pers selama dua periode, 2016-2019 dan 2019-2022.

Jadi, sebelum berhijrah ke Sleman ini, saya tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam hal bertani ataupun menekuni bidang pertanian. Paling banter yang saya lakukan dalam hal tanam-menanam ya cuma untuk tanaman hias di pot dan di halaman rumah yang tidak seberapa luas itu. Begitu menerjuni bidang pertanian yangn real time ini, saya mencoba untuk benar-benar all out, dengan cara banyak membaca dan memperhatikan bagaimana orang-orang melakukannya dengan baik. Dan sukses menuai hasil.

BANYAK KESAMAAN

Setelah saya banding-bandingkan, ternyata kedua bidang tersebut—pers dan pertanian—memiliki cukup banyak kesamaan, sama-sama membutuhkan media yang harus ditangani secara intensif. Pers membutuhkan media massa, sedangkan bertani/pertanian multlak memerlukan media tanam.

Kalau kredo baku di bidang pers adalah 5W1H—what (apa yang terjadi), where (di mana kejadiannya), when (kapan peristiwa berlangsung), who (siapa saja yang terlibat), why (mengapa bisa begitu), dan how (bagaimana kejadiannya), di bidang agribisnis juga tidak jauh dari 5W1H juga, bahkan bisa 6W1H.

Tapi, untuk bidang pertanian, terdapat sedikit perbedaan: what (apa yang harus ditanam), where (di mana akan dibudidayakan), when (kapan saja waktu tanam yang tepat), which (peranti, bibit, dan bahan pendukung apa saja yang harus digunakan), why (mengapa menanam ini, bukan itu), whom (siapa target pasarnya), dan how (bagaimana cara menanamnya).

Kesamaan yang lain dari kedua bidang tersebut adalah fleksibilitas waktu kerja. Mengerjakan tugas jurnalistik, kendati terikat tenggat atau deadline dan keterbatasan ruang penulisan—khususnya untuk media cetak, yang tidak jarang harus ‘mengalah’ pada ruang iklan—karena itu seorang jurnalis harus pandai-pandai membuat produk tulisan yang sangkil/efektif dan mangkus/efisien.

SANGAT LONGGAR

Lahan pertanian milik Ahmad Djauhar di Sleman, Jogjakarta

Sedangkan pada bidang pertanian, waktu terasa begitu sangat longgar. Namun, di saat-saat tertentu, misalnya di musim kemarau yang biasanya kesulitas memperoleh catu air irigasi, pemenuhan tenggat ini terasa sangat ketat. Sebab, bila tidak disiplin waktu penggunaan jatah aliran air, tentu harus mengatakan good bye untuk musim tanam ini, harus menunggu kehadiran musim tanam mendatang.

Hal unik yang saya pelajari dari keintensifan mengikuti pola tana mini adalah terdapat periodisasi penanaman berbagai komoditas, dan ternyata hampir setiap komoditas itu masing-masing memiliki siklus triwulanan alias quarterly, dari mulai penyiapan lahan hingga memanen hasil budi daya. Hal seperti ini tidak saya ketahui sama sekali sebelumnya.

Tenggat lain yang juga harus dijaga dengan ketat adalah pemberian rabuk/pupuk, karena hal itu sangat memengaruhi kinerja si tanaman terbudi daya. Melonggarkan tenggat pemberian pupuk dan insektisida sama halnya membiarkan si tanaman tumbuh tidak optimal serta rawan serangan hama. Bila sudah demikian halnya, hasil penanaman tidak akan optimal dan sedikit-banyak tentua akan berpengaruh pada hasil akhir.

GULMA DAN DISTORSI

Hal lain yang tidak kalah penting adalah memberantas gulma penyedot nutrisi yang seharusnya diperuntukkan bagi tanaman terbudi daya. Dalam bidang pers, gulma ini dapat diidentikkan dengan distorsi informasi, yang jika seorang wartawan tidak benar-benar cermat dapat terjebak dalam menghasilkan informasi menyesatkan alias hoax.

Kini dan seterusnya, seperti halnya ketika meniti karir di bidang pers, saya akan banyak belajar dan mencoba menekuni bidang pertanian ini selain selain sebagai hobi juga karir baru tanpa harus meninggalkan sama sekali dunia pers yang memanng sudah mandarah-daging bagi saya. Sekarang-sekarang ini, ketika bangun tidur pagi hari, hal yang mewarnai benak saya selain “ada perkembangan informasi apa ya..” adalah “mau menanam apa hari ini..”

Ternyata sama menyenangkannya bergelut di bidang media massa dan media tanam, karena keduanya memerlukan ketekunan, ketelitian, dan harus selalu belajar agar tidak ketinggalan informasi terkini di bidang masing-masing.


Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *