TLKM, Kerugian yang Belum Direalisasi

INDOWORK.ID, JAKARTA: Dalam Laporan Keungan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (TLKM) 9M22 ada pos “Kerugian yang belum direalisasi dari perubahan nilai wajar atas investasi”. Nilainya Rp3,084 triliun

Itu investasi Telkomsel dalam saham GOTO. Dan itu berdasar harga saat laporan Keuangan. Pada tutup pasar Jumat 09 Desember 2022, – pada penutupan harga saham GOTO Rp93 – hitungan saya – potensi kerugian itu sudah membengkak menjadi Rp4,19 triliun.

Yang harus dilakukan TLKM, menurut saya, adalah menghitung keuntungan tidak langsung dari investasi tersebut, lalu mengumumkannya kepada publik. Keuntungan tidak langsung itu dalam bentuk perolehan data dari seluruh pengguna platform GOTO. Pengendara, para merchants, konsumen dll. Berapa banyak ekspansi pengguna Telkomsel dari kolaborasi dengan GOTO.

GOTO RONTOK

Sejatinya, yang ruginya paling besar dalam kerontokan harga saham GOTO adalah investor ritel yang membeli saat IPO dan belum sempat menjual hingga saat ini. Potensi kerugian sudah lebih dari 72%. Dan masih terbuka peluang lebih besar lagi. Kalau longsor saham GOTO berlanjut.

Investor awal – institusi – yang menyetor lebih dahulu memperoleh banyak keuntungan. Mereka yang menyetor Rp1, pada harga gocap pun masih berpesta pora. Perusahaan raksasa seperti ASII, Allianz – termasuk Tsel – memperoleh manfaat di luar potensi capital gain.

ASII, misalnya, bisa memacu penjualan mobil dan motornya. Perbankan bisa menaikkan penyaluran kreditnya. Perusahaan asuransi membuka pasar baru: asuransi kendaraan.

Malangnya nasibmu wahai sahabat gurem!

*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id

Bursa Saham Tetap Butuh Filter

INDOWORK.ID, JAKARTA: Bursa saham adalah toko raksasa. Super supermarket. Tidak ada toko lain yang mencatat omset Rp15 triliun per hari. Jutaan pembeli bebas memilih mau belanja apa, sesuai kebutuhan dan selera masing-masing.

Tapi tetap butuh filter. Agar jangan barang beracun atau barang berbahaya diperdagangkan di dalam toko.

IHSG kemarin Selasa, 6 Desember 2022, merosot 1,36%. Dalam rupiah artinya kapitalisasi pasar mengalami penurunan nilai sekitar Rp130 triliun.

Para pemegang saham di seantero BEI kehilangan kekayaan sebesar Rp130 triliun. Per sektor, nampaknya hanya sektor energi yang mencatat perubahan positif dalam indeks sektoral. Sebanyak 461 saham mengalami penurunan harga, 123 tidak berubah dan 122 naik.

Praktis saham saham big cap, penggerak indeks, mengalami penurunan. BBCA turun Rp100 (1,14%). BBRI turun Rp30 (0,61%). ASII turun Rp150 (2,49%. TLKM mengalami penurunan paling tajam, Rp240 (6,25%). Nyaris ARB. Boleh jadi rontoknya saham GOTO menjadi pelatuk emosional pemegang saham TLKM. Para manajer investasi, menarik nafas panjang.

BULAN LABA

Indeks Wall Street

Selama sepuluh tahun terakhir, bulan Desember adalah bulan laba. Selalu menutup tahun dengan kenaikan IHSG. Akankah Desember 2022 mengganti tradisi? Selama 4 hari perdagangan, hanya hari pertama mencatat kenaikan IHSG. Pada Kamis tanggal 1. Tiga hari sisanya selalu negatif. Melihat dorongan daya luncur hari ini, peluang melanjutkan penurunan besok, masih cukup besar.

Penurunan IHSG 1,36% sejatinya bukan angka yang besar. Dalam batas fluktuasi pasar normal. Tapi saya, intuitif, merasakan semacam sentimen publik yang negatif terhadap pasar. Sentimen negatif, di bursa saham, terbukti selalu mengalahkan pertimbangan rasional fundamental

Kejatuhan GOTO nampaknya diperlukan agar kita bisa menjawab ulang pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar yang dibutuhkan suatu pasar modal – bursa saham – yang terpercaya.

Sudah jujurkah disclosures? Sudah memadaikah tata kelola? Terdeteksikah para oportunis? Datarkah lapangan permainan? Simetriskah akses terhadap informasi dan sarana transaksi? Adilkah perlakuan otoritas sebagai wasit terhadap dikotomi pemegang saham pengendali dan pemegang saham ritel?

Adakah perlindungan kepada para pemegang saham ritel dari korban kejahatan yang dilakukan oleh oknum pengendali? Sudah tegakkah hukum? Adakah mekanisme yang mampu membatasi pelarian dana masyarakat melalui transfer pricing atau cara lain? Daftar ini masih bisa diperpanjang!

*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id

 

NFP Amerika Serikat Naik, Jauh di Atas Konsesnsus Analis

INDOWORK.ID, JAKARTA: Nonfarm payrolls (NFP) Amerika Serikat pada November lalu, naik 253.000. Jauh di atas konsesnsus analis. Bersamaan dengan kenaikan itu, rata-rata upah per jam (average hourly earnings) juga naik 0,55%. Tingkat pengangguran pun tetap rendah, 5%.

Berita itu jadi pedang bermata dua:

Pertama, Good news, karena peluang ekonomi AS masuk ke dalam resesi, tahun depan semakin kecil.

Kedua, Bad news, karena membuka kemungkinan The Fed kembali agresif dengan kenaikan tingkat bunga.

DUA TUGAS POKOK

Bank Sentral Amerika, Federal Reserve Board, The Fed, diberi mandat UU untuk melaksanakan dua tugas pokok: Mengendalikan inflasi (target 2%) dan memacu kesempatan kerja.

Dua tugas itu seringkali saling meniadakan. Faktor paling ampuh yang bisa menurunkan inflasi adalah resesi. Untuk mengerem inflasi, pertumbuhan ekonomi secara sadar dikorbankan. Resesi nyaris indentik dengan penurunan kesempatan kerja, utamanya NFP.

Ketika kesempatan kerja masih tinggi, The Fed memiliki keleluasaan untuk menaikkan FFR, dalam rangka mengerem inflasi, yang masih tercatat 7,7% pada Oktober lalu. Tapi begitu resesi dan kesempatan kerja menurun, arah kemudi the Fed akan berbalik arah. Tingkat bunga tinggi buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.

Chairman The Fed, telah memberi sinyal akan menurunkan tingkat kenaikan FFR dalam sidang FOMC terakhir tahun ini, minggu depan. Para pakar sepakat bahwa FFR akan naik 50 basis point – bukan 75 bp – bulan ini, disusul masing masing 25 bp pada dua sidang pertama FOMC tahun yang akan datang.

Ekspekstasi itu yang mengerek ke atas Indeks harga saham – DJIA, S&P dan Nasdaq – minggu lalu. Bersamaan dengan itu, indeks USD (DXY) – juga treasury yield – mengalami penurunan signifikan. Penurunan DXY pada gilirannya manaikkan harga harga komoditas.

Akankah data NFP mengubah kembali sikap “agak dovish” The Fed kembali menjadi hawkish?

*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id

Saham ISSP, Penjualan Naik Tapi Laba Turun

INDOWORK.ID, JAKARTA: Pada pembukaan sesi pagi ini (Jumat 2 Desember 2022), saya menyendok saham PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk. (ISSP) di Rp264. Begitu transaksi done, tiba-tiba harga saham anjlok lumayan tajam ke Rp256. Peristiwa SGER berulang.
Reaksi saya sedikit berbeda. ISSP merupakan salah satu anggota inti portfolio saya. Di samping IPCM, MTEL dan BRMS.
Saya sejatinya tak terlalu pusing dengan harga yang bergerak seperti gigi gergaji dalam jangka pendek. Sepanjang keyakinan saya terhadap prospek perusahaan tidak goyah.

PUBLIC EXPOSE

Karena itu, saya mencoba mencari latar belakang fundamental. Kebetulan ISSP akan menyelenggarakan public expos tanggal 6 Desember yang akan datang. Saya mengambil waktu untuk melihat selintas sebagian dari materi public expose. Berikut beberapa yang sempat saya baca.
Pertama, penjualan tahun ini diperkirakan akan tetap naik. Volume maupun nilai. Perusahaan memperkirakan nilai penjualan akan naik 14% dari Rp5,4 triliun pada 2021 menjadi Rp6,3 T pada tahun ini.
Kedua, namun laba kotor dan laba bersih diperkirakan turun karena penurunan ASP, biaya persediaan dan kenaikan bahan bakar. Marjin laba bersih turun lumayan tajam dari 11,8% pada 3Q21 menjadi 6,5% pada 3Q22
Ketiga, komposisi penjualan perusahaan relatif lebih merata walaupun masih didominasi oleh sektor konstruksi dan infrastruktur (69%). Sisanya merupakan kontribusi sektor furnitur (18%), otomotif (14%) dan migas (kurang dari 1%).

TETAP NYAMAN

Tetap nyaman memegang ISSP sebagai anggota inti portfolio. Berikut beberapa penerawangan:
Pertama, penjualan akan tetap meningkat. Industri pelanggan merupakan sektor yang bertumbuh. Terutama konstruksi, transportasi dan infrastruktur. Dimulainya pembangunan IKN merupakan potensi pasar yang luar biasa, disamping proyek proyek prioritas nasional lainnya.
Kedua, marjin akan kembali meningkat dengan strategi fokus pada produk dengan marjin lebih tinggi, fokus pada end-users, dan efisiensi proses produksi. Ditambah lagi upaya peningkatan perputaran aset dan persediaan yang lebih cepat.
Ketiga, leverage mengalami penurunan. Biaya dana pinjaman – refinancing – turun dari 7,5% menjadi 6,3% per tahun. Beban keuangan akan turun signifikan.
Keempat, sektor migas menjanjikan peluang cukup besar bila digarap dengan serius.
*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id

Kiat Melewati Badai Krisis dan Lanjutkan Perkembangan Bisnis

INDOWORK.ID, JAKARTA: Salah satu insan PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA) yang berperan dalam proses IPO adalah Slamet Maryono. Kala itu, pria kelahiran 16 Maret 1952 ini duduk sebagai direktur keuangan, sekaligus memimpin  proses privatisasi WIKA sebagai Ketua Tim Initial Public Offering (IPO).

Sedari awal, sarjana teknik sipil Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya ini mengawal proses IPO WIKA hingga bisa berjalan mulus.

Menghabiskan karir lebih dari tiga dasawarsa di WIKA, Slamet sarat pengalaman dalam memimpin sederet proyek-proyek lapangan besar di WIKA. Bergabung dengan WIKA pada akhir dekade 1970- an, Slamet selama 20 tahun menggeluti bidang operasional WIKA, 5 tahun di divisi, 5 tahun duduk sebagai Direktur Keuangan dan 5 tahun dipercaya sebagai Direktur Operasional II WIKA. Sumbangsih ide dan gagasan selama bertugas di WIKA tidak perlu diragukan lagi.

IMBAS KRISIS

Salah satu peran penting Slamet di WIKA adalah soal kepemimpinannya dalam proses IPO WIKA. Ia sukses membidani IPO WIKA yang kondisinya pada saat itu sedang mengalami imbas dari krisis ekonomi memiliki utang dari aset yang tidak produktif.

Aset-aset itu dibiayai dengan utang yang berbunga tinggi. Persoalan lain yang tak kalah pelik dihadapi WIKA saat itu adalah biaya overhead perusahaan yang tinggi dan harus segera dikurangi.

Gagasan Slamet sebagai Ketua Tim IPO WIKA saat itu sangat sederhana, yaitu bagaimana menghilangkan beban bunga WIKA. Maka, Slamet bersama tim merekomendasikan menjual aset-aset yang tidak produktif tersebut.

Aset-aset yang tidak lancar diubah menjadi cair. Setelah menjual aset tidak produktif dan penyertaan di beberapa perusahaan asosiasi, maka ekuitas WIKA semakin kuat, menjadi Rp400 miliar. WIKA pun semakin sehat dengan membuku laba yang baik pada saat itu.

Dengan modal tersebut, pada tahun WIKA pun percaya diri untuk IPO. Kesuksesan IPO berpengaruh positif terhadap keberhasilan dalam langkah WIKA berikutnya.

BADAI KRISIS

Bisa dikatakan bahwa IPO adalah turning point transformasi WIKA dalam melewati badai krisis dan melanjutkan estafet perkembangan bisnis selanjutnya. Hari-hari menuju IPO diakui Slamet adalah rekaman perjalanan yang cukup mendebarkan.

Setiap kebijakan yang diambil dalam restrukturisasi bisnis, tidak lahir begitu saja, ada keberanian dan pertaruhan risiko di dalamnya. Banyak perdebatan yang masing-masing memiliki argumen pembenar.

Lagipula, kurang dari dua tahun, Direksi WIKA mampu menyelesaikannya dengan baik. Pada akhir 2007, baru WIKA mendapat clue untuk memukul gong IPO.

Pasca IPO, WIKA dihadapkan pada babak baru untuk mencari peluang bisnis, guna memutar modal yang diperoleh dari publik sebesar Rp775 miliar. IPO 2007 telah menaikkan ekuitas WIKA Induk secara signifikan dan sekaligus memperbaiki labanya sehingga melebihi laba perusahaan anak secara keseluruhan.

IPO 2007 telah mengakibatkan utang dan bunga WIKA turun drastis dan bisa dikatakan terhapus. Surplus dana yang didepositokan menghasilkan bunga yang dapat digunakan untuk mendanai overhead WIKA Induk sehingga laba WIKA Induk naik secara drastis.

Secara meyakinkan, WIKA kini sudah menjadi perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia.