INDOWORK.ID, JAKARTA: Nonfarm payrolls (NFP) Amerika Serikat pada November lalu, naik 253.000. Jauh di atas konsesnsus analis. Bersamaan dengan kenaikan itu, rata-rata upah per jam (average hourly earnings) juga naik 0,55%. Tingkat pengangguran pun tetap rendah, 5%.
Berita itu jadi pedang bermata dua:
Pertama, Good news, karena peluang ekonomi AS masuk ke dalam resesi, tahun depan semakin kecil.
Kedua, Bad news, karena membuka kemungkinan The Fed kembali agresif dengan kenaikan tingkat bunga.
DUA TUGAS POKOK
Bank Sentral Amerika, Federal Reserve Board, The Fed, diberi mandat UU untuk melaksanakan dua tugas pokok: Mengendalikan inflasi (target 2%) dan memacu kesempatan kerja.
Dua tugas itu seringkali saling meniadakan. Faktor paling ampuh yang bisa menurunkan inflasi adalah resesi. Untuk mengerem inflasi, pertumbuhan ekonomi secara sadar dikorbankan. Resesi nyaris indentik dengan penurunan kesempatan kerja, utamanya NFP.
Ketika kesempatan kerja masih tinggi, The Fed memiliki keleluasaan untuk menaikkan FFR, dalam rangka mengerem inflasi, yang masih tercatat 7,7% pada Oktober lalu. Tapi begitu resesi dan kesempatan kerja menurun, arah kemudi the Fed akan berbalik arah. Tingkat bunga tinggi buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.
Chairman The Fed, telah memberi sinyal akan menurunkan tingkat kenaikan FFR dalam sidang FOMC terakhir tahun ini, minggu depan. Para pakar sepakat bahwa FFR akan naik 50 basis point – bukan 75 bp – bulan ini, disusul masing masing 25 bp pada dua sidang pertama FOMC tahun yang akan datang.
Ekspekstasi itu yang mengerek ke atas Indeks harga saham – DJIA, S&P dan Nasdaq – minggu lalu. Bersamaan dengan itu, indeks USD (DXY) – juga treasury yield – mengalami penurunan signifikan. Penurunan DXY pada gilirannya manaikkan harga harga komoditas.
Akankah data NFP mengubah kembali sikap “agak dovish” The Fed kembali menjadi hawkish?
*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id
Stay at Home! Polda Metro Jaya Batasi Mobilitas Masyarakat di 10 Titik