Pertumbuhan industri financial technology (fintech) di Indonesia terus meningkat. Terlihat dari kenaikan jumlah penyelenggara fintech yang memiliki status perizinan, ragam layanan keuangan digital yang ditawarkan, serta tingkat pemanfaatannya di masyarakat.
Menurut laporan dari CCAF, ADB Institute dan Fintech Space, lebih dari 17% penyelenggara fintech di ASEAN berada di Indonesia. Atau kedua terbanyak setelah Singapura.
Ragam layanan keuangan digital penyelenggara fintech di Indonesia kepada masyarakat saat ini juga sudah semakin beragam. Tidak terbatas pada pembayaran elektronik dan peer to peer (P2P lending), fintech juga menawarkan layanan jasa keuangan. Seperti: asuransi, perencana/penasihat keuangan, serta investasi retail online.
Sebagai akibatnya, adopsi fintech di masyarakat Indonesia terus meningkat. Pembatasan sosial yang terjadi pada masa pandemi saat ini juga telah semakin mendorong pemanfaatan fintech.
Jumlah uang elektronik beredar, misalnya, di bulan Februari 2021 telah melebihi 456 juta. Meningkat lebih dari 43% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara akumulasi penyaluran pinjaman melalui fintech P2P lending mencapai lebih dari IDR 169 triliun atau meningkat 6.23% dibanding Februari 2020.
Pertumbuhan industri fintech diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan percepatan digitalisasi serta literasi keuangan masyarakat. Performa dari perusahaan/penyelenggara fintech juga diekspektasi akan terus meningkat, meski tidak lepas dari berbagai tantangan termasuk permodalan perusahaan.
Terkait dengan hal ini, Survei Anggota Tahunan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) 2019/2020 menunjukkan, sekitar 28% perusahaan fintech mendapatkan permodalan dari private equity, 23% dari dana sendiri, 19% dari angel investor, dan 13% dari modal ventura (venture capital).
Pemanfaatan bursa, khususnya melalui initial public offering (IPO) sebagai salah satu opsi mendukung permodalan penyelenggara fintech yang umum dilakukan diluar negeri. Tapi saat ini di Indonesia belum banyak digunakan.
Guna membahas potensi mekanisme IPO dalam rangka mendukung permodalan penyelenggara fintech di Indonesia, termasuk potensi dan tantangannya, Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) bekerjasama dengan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengadakan Fintech Talk.
“Penyelenggaraan acara pada hari ini sangat bermanfaat bagi perusahaan-perusahaan fintech yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai apa yang perlu dipersiapkan oleh perusahaan apabila berminat melakukan IPO di pasar modal. Untuk perusahaan yang berminat, penting kiranya untuk mengetahui seluk-beluk, termasuk potensi, penilaian, dan tantangan yang akan dihadapi sepanjang proses ini,” terang Dickie Widjaja, Wakil Sekretaris Jenderal AFTECH, Kamis (1/4).
MATANG UNTUK GO PUBLIC
Pandu Patria Sjahrir, Komisaris BEI menyampaikan, secara umum perusahaan teknologi di Indonesia, termasuk fintech, sudah cukup mature untuk bisa go public. Meskipun demikian, ia menyadari pemahaman investor publik di Indonesia mengenai perusahaan teknologi masih perlu ditingkatkan.
Terkait cara menilai perusahaan, misalnya, publik cenderung melihat berapa price to earning (PE). Padahal terdapat cara-cara lain dalam melakukan penilaian. Sedangkan untuk regulasinya, saat ini BEI terus berdiskusi dengan OJK mengenai beberapa hal.
“Tapi satu hal yang ingin saya ingatkan, fintech di Indonesia akan terus mengalami pertumbuhan lebih banyak lagi. Sehingga akan berperan sangat besar terutama dari sisi inklusi keuangan dan ini bisa menjadi masa depan Indonesia,” kata Pandu. (eko) http://fintechnesia.com
Otoritas Bursa Perlu Gencarkan Pendidikan Investor yang Lebih Intens dan Massif