- 28 December 2025
- 10 min read
INDOWORK.ID, JAKARTA: Sunardi, Lurah Srengsengsawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, resmi mencanangkan Jalan H. Maat Sibi, yang berlokasi di sisi Jalan Lenteng Agung Timur. Anak-cucu dan tokoh masyarakat menyaksikan pemancangan plang jalan tersebut pada Sabtu, 27 Desember 2025.
Namun ada cerita menarik di balik peresmian jalan tersebut. Prosesnya cukup panjang. Penamaan nama jalan tersebut untuk mengenang kehidupan H. Maat Sibi yang dikenal juragan kambing. Engkong juga dikenal dermawan dan taat beragama sehingga mewakafkan tanahnya untuk pembangunan Masjid Al Ikhwan, yang kini berdiri megah di Jalan Haji Sibi.
INI JALAN ENGKONG KITA

Ceritanya begini. Nurul Laili Fazahiyah membuat flyer pada 21 Desember 2025. Isinya jelas “NGEDEPROK JILID VII. Untuk Seluruh Keluarga H. Maat.”
Makin terang benderang bahwa informasi itu penting. Tertulis dengan semua huruf kapital. “PEMANCANGAN JALAN H. MAAT SIBI”
Acara Ngedeprok memang buah pikiran Faza, begitu anak bontot Mang Haji Ali Munawar-Bi Hajjah Nuryanih itu dipanggil. Dan kali ini sudah digelar tujuh kali. Agar lebih menjual, maka ditulislah nama-nama beken. “Turut hadir: Bapak H. Sunardi, SSos., MM., Lurah Srengseng Sawah.
Untuk makin meyakinkan ditulis pula dalam flyer tersebut hadir pula para pembina Masjid Al Ikhwan yaitu Ustadz H. Abdullah KH Hasan, Ustadz Drs. H. Kamal Hasan, Ustadz H.M. Husni Thamrin Asmawi, S.Ag., M.Ag., H. Neddy H. Saaman Kari, dan H. Sukardi Syaeful H. Abdul Karim.
Waktunya pun jelas dan terang benderang: Sabtu, 27 Desember 2025 di rumah H. Zainal Abidin, pukul 07.00 WIB. Dan ini yang terpenting. Tertulis dengan gamblang, Pengundang: H. ZAINAL A. Lengkap dengan tandatangan digital. Sah!
Dari nama-nama pesohor yang hadir adalah Pak Lurah, Ustadz Kamal, dan Mang Haji Neddy. Ustadz Abdullah mengabarkan kepada saya. “Maaf, ane harus mengantar cucu ke pesantren, jadi nggak bisa hadir. Salam untuk Pak Haji Zaenal,” katanya takzim.
Bang Kardi, sepulang dari shalat subuh di Al Ikhwan juga berkata. “Waduh, maaf, pas barengan pernikahan anak Hajjah Siti Rahmah di Pinang Ranti.”
Jelas alasan ketidakhadiran mereka. Kabar itu penting karena, menurut mereka, acara itu penting. Kata “maaf” dan “waduh” adalah sebuah penyesalan.
Tapi bagaimana kita?
Bang Alham Mulia mengatakan kepada saya. “Tadi pagi Mang Enal, bari dengerin acara ngrundel aja,” katanya serius.
Mang Enal rupanya mengevaluasi kehadiran para keponakannya:
Keluarga Haji Ti-ich Sibi nggak ada yang datang.
Keluarga Haji Muhammad, H. Usman doang. Padahal ia menggandeng istri tercantiknya, Ustadzah Hajjah Aulia Mahda Surya Prihanti.
Keluarga Haji Zainuddin, diwakili oleh Imron Dwi Dinaryanto. Sejak awal memang Imron mengkonfirmasi kehadirannya. Namun setelah berdiskusi bersama Bang Alham dan Mang Enal, termasuk mengevaluasi program masjid, ia pun pamit. “Izin Bang. Saya kembali ke pasar, urusan dagang.”
Terima kasih Iron, begitu nama bekennya. Iron (zat besi) adalah mineral esensial yang vital bagi tubuh untuk membentuk hemoglobin dalam sel darah merah agar dapat mengangkut oksigen ke seluruh tubuh, serta mendukung pertumbuhan, fungsi otak, dan sistem imun, namun juga merujuk pada unsur logam abu-abu keperakan yang digunakan dalam berbagai material konstruksi dan industri. Ia memang kekar, badannya tambun. “Tuh, perutnya udeh kayak Mang Enal,” komentar Bang Alham.
Pada awal acara kami memang semua girang sambil menanti kehadiran saudara-saudara lain. Tapi tolong cermati pernyataan Iron setelah melihat foto pemancangan ia menuliskan komentar. “Yang pegang tiang, Rindu Ayah.”
Maksud Iron adalah Mang Enal, yang tampak sedih memegang tiang Jalan H. Ma’at Sibi. Jika diperhatikan (dari kiri ke kanan), Siti Nurzailina M. Zen, tampak senyum. Lilah juga girang. Bang Alham nyengir sambil menunjuk nama engkongnya. Pak Lurah juga senyum dan semangat menunjuk nama engkong kita. Begitu pun Samin H. Arsyad, yang baru pulang dari kuliah subuh langsung ke lokasi karena menghormati undangan Mang Enal. Tampak Mang Haji Ali Munawar tersenyum, begitu pun Bang Neddy, Mang Sobari, dan Bang Haji Anton H. Saaman Maan. Semuanya gembira.
“Bibi Nggak ada Mang?” Begitu saya bertanya kepada Mang Sobari.
“Ada,” katanya ringan.
“Di mana?” kejar saya.
“Di rumah,” katanya sambil terkekeh. Begitulah gaya anak Betawi Jagakarsa kalau bercanda.
Kembali ke Mang Enal, mengapa ia bersedih. Mungkin analisis Iron benar. Tapi saya lebih tertarik untuk merenungkan pernyataan Bang Alham. Mang Enal sedih lantaran keponakannya nggak banyak yang datang.
Saya berusaya menghiburnya. Setiap pesan dari keponakan dan cucunya saya jelaskan dengan rinci. “Assalamu’alaykum Ncang Haji. Mohon izin dengan berat hati saya nggak bisa hadir karena tanggal 24 harus ke Semarang untuk bertemu tukang yang rencananya renovasi rumah mertua dan kemudian lanjut ke Jogja.” Ini pesan dari Fachrizal Kurniawan bin Andry Kurnia bin H.M. Zainuddin bin H. Maat bin H. Sibi bin Radjimin.
Penyelasan Jali, begitu poyokannya, makin dalam. “Sedih banget nggak bisa hadir pada momentum bersejarah hari ini.” Terus terang saya terharu membaca pesan Jali. Tak terasa air mata menetes.
Bukan hanya Rizal yang memberikan alasan. Bang Muhammad Abdi Dalimunthe, juga memohon maaf. “Saya nggak bawa HP. Pulang dari olah raga di UI baru baca pesan.”
Firmansyah juga memberikan argumentasi atas ketidakhadirannya. “Iyan masuk kerja Bang Haji.” Intan, sang istri, pun menimpali. “Iya Bang Haji. Maaf nggak bisa hadir. Iyan hari Sabtu kerja setengah hari visit area. Kebetulan lagi ada tamu orang kantor dari Medan. Aan kondangan ke Bekasi.”
Semua pesan dari saudara saya sampaikan ke Mang Enal dengan takzim. Ia tampak maklum. Namun sekali lagi ia tak dapat menyembunyikan kesedihannya.
Di balik semua itu. Acara sakral berjalan lancar. Pak Lurah menyambut hangat, baik untuk urusan masjid Al Ikhwan maupun nama Jalan H. Ma’at Sibi. Bang Alham memberikan penjelasan tentang sejarah dan aspek legalitas masjid. Pak Lurah manggut-manggut. Samin Arsyad, yang duduk di samping saya berkomentar. “Bang Aam kalau ngomong enak ya. Runut dan jelas dengan istilah bahasa bagus dan kosa kata terpilih.”
Ustadz Agus Budianto, imam rawatib Al Ikhwan, menimpali. “Bicaranya sistematis dan pilihan diksinya tepat.”
Mang Haji Ali memberikan penjelasan tentang aktivitas masjid. Pak Lurah manggut-manggut. Mang Aaw, begitu panggilannya waktu muda, juga memikirkan tentang persiapan Ramadhan di Al Ikhwan.
Sementara itu, Haji Usman, sebagai ustadz tetap dalam Majelis Taklim Malam Rabu (ini adalah MT legendaris yang diawali oleh Ustadz H. Murtadho dan dilanjutkan oleh Ustadz H.M. Nurdin H. Nean Bantong), berkomentar lucu. “Saya nggak banyak ngomong. Hanya berdoa semoa Pak Lurah sehat wal afiat dan banyak rejekinya. Kalau sudah banyak nanti bagi kepada warganya.” Pak Lurah terbahak. Hadirin pun tertawa.
Pak Lurah meminta Pak RT berbicara. Widodo Suradi menanyakan tentang pemekaran wilayah RT. Tentu saja di luar bahasan mengenai masjid dan nama jalan. “Nanti kita bahas sambil makan.”
Maka kami pun makan. Suguhannya sungguh enak. “Ini yang biasa catering untuk Presiden Soeharto,” kata saya kepada Pak Lurah.
Bi Hajjah Sri Darwati pun mempersilakan makanan dengan menu semur daging, sop daging, semur jengkol lengkap dengan buah-buahan. Saya tak berbohong. Bi Wati memang kerap menyiapkan makanan untuk Pak Harto ketika bekerja di Mira Catering, yang berkantor di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.
Seusai makan, kami foto bersama. Oh ya, acara itu ramai karena kami berbalas pantun. Bang Samin nggak berhenti nyerocos dengan hafalan pantunnya. Bang Alham pun menimpali.
Adiknya si Doel Namanya Atun
Dia lahir pada bulan Safar
Kalau terus berbalas pantun
Ini kita semua udeh pada lapar
Mang Enal, dalam foto bersama itu. Juga siap-siap mendengarkan pantun. Ia memberikan kata kunci, “udeh kenyang.” Maka pantun yang meluncur adalah:
Inilah Pak Lurah Srengsengsawah
Silaturahmi ke rumah Mang Haji Enal
Udeh kenyang dan penuh berkah
Semoga persaudaraann kita kekal
Girang. Semua tertawa.
PEMANCANGAN JALAN

Kami berjalan beriringan menuju tempat pemancangan jalan. Pak Lurah yang menentukan lokasi. Mang Muharrom dibantu Reza ‘Maldini’ Sanjaya Sibi, menggali beton. Sambil menunggu. Plang jalan dipancangkan. Kami berfoto bersama. Pak Lurah meresmikan. Sah!
Semua momentum penting itu diabadikan oleh Mbak Tanti Wahyuni, istri Bang Alham. “Wah fotonya bagus-bagus. Kamera Kak Tanti bagus banget itu,” Lila berseru.
Sepertinya Mbak Tanti menggunakan seri terbaru iPhone 17. Nanti saya tanyakan ke Bang Alham.
Di jalan Engkong Kita, kami bahagia. Lilah dan Ellin foto berdua. Langsung diposting di WAG Family-H. Maat Sibi.
“Mang Enal sangat meresapi moment,” kata Mbak Tanti.
Iron menimpali. “Terungkap dengan baik.”
Intan bersyukur. “Masya Allah. Tabarokallah.”
Tapi kesedihan Mang Enal tak dapat ditutupi. Lilah mengomentari tentang komentar Iron, “Rindu Ayah.” Kata Lilah, “Iya sedih banget…”
***.
Menemukan ide untuk membuat nama jalan Engkong kita memang bukanlah instan. Setelah ngobrol dengan Mang Enal untuk menamakan jalan ke arah jagal, ia pun setuju. Ide ini saya bawa ke Bang Alham. Setelah jalan kaki dari 1C ke Mangga Bolong dengan waktu tempuh berjalan kaki 33 menit, kami pun ngobrol.
Di temani singkong rebus dan teh tawar panas. Obrolan dengan Mang Enal saya sampaikan. Seperti biasanya selalu ada pencerahan dan ide baru dari Bang Alham. Dia cermat. “Buatnya harus standar sesuai plang nama Jalan di DKI,” ia berpesan.
Bang Alham selalu mengingatkan aspek legalitas, lokasi, kepatutan, dan kepantasan karena nama jalan itu menjadi abadi. Sekali lagi, abadi. Bahkan, katanya, bisa jadi keluarga lain akan nulad. Mereka, terutama di Kampung Sawah, terinspirasi akan ramai-ramai menamakan jalan dengan nama engkongnya.
Sepulang dari Bang Alham, saya langsung ke Mas Abdul Wahid untuk memesan plang papan nama. Kami menuju Jalan Haji Sibi. “Persis buat seperti ini. Ukuran, tinggi, jenis huruf sesuai dengan standar,” pesan saya kepada Mas Dul.
Setelah pembuatan plang beres. Saya mengajak Jali mengambilnya dan sekaligus membawa ke rumah Mang Enal. Membonceng Honda Beat B 5100 SAY, Jali memanggul dengan bangga. Jalan motor meliuk-liuk karena cukup berat. Belum lagi jalan kecil dan berbelok. Sesekali berhenti karena plang besi tersebut khawatir tersangkut dahan atau lisplang rumah penduduk yang dilewati.
***.
Bagi Mang Enal momentum pemancangan nama jalan Engkong kita hanya salah satu strategi untuk mengumpulkan keponakannya agar memikirkan masjid Al Ikhwan. Setelah tujuh kali Ngedeprok, dalam pandangan Mang Enal, kepedulian terhadap masjid tampaknya belum signifikan.
TAK PERNAH LELAH

Namun ia tak pernah lelah. Dalam Ngedeprok ketujuh, ia memperkuat tim di bawah komandonya. Sebagai Ketua Dewan Pembina, kini Mang Enal diperkuat oleh Bang Alham dan Mang H. Neddy.
Pemikiran ini nggak ujug-ujug. Dari Susunan Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid Al Ikhwan periode sebelumnya (2022-2025) terdapat tujuh anggota Dewan Pengawas yang diketuai oleh Bang Abdi.
Menurut Bang Abdi, Dewan Pengawas tidak perlu terlalu banyak. “Cukup tiga orang, yang lain bisa bantu di bidang lain. Ini saran saya kalau belum ditandatangani oleh ketua. Tks,” tulis pejabat pengawas senior di Kementerian Pariwisata RI.
Argumentasi Bang Abdi didukung oleh Bang Alham. “Betul sekali. Setuju,” kata Engkong dari 12 cucu tersebut.
Bang Alham menjelaskan berhubung domisilinya berjauhan, dengan ini berinisiatif mengurangi jumlah daftar nama Dewas. Namun berkomitmen bantu-bantu bidang lain.
Namun Bang Abdi bersikukuh dengan pendapatnya “Tapi Bang Aam cocok di Dewas. Kalau ada renovasi atau pembangunan pas dengan kompetensinya.”
Mang Enal mengambil keputusan. Sebagai decision maker, ia mempromosikan Bang Alham menjadi anggota Dewan Pembina. Cocok.
Kepengurusan Masjid Al Ikhwan yang ditetapkan sejak 1 November lalu memang belum ada laporan. Ustadz Kamal kembali mengingatkan untuk segera mengumumkannya kepada public. “Susunan harus sudah dibuat dan ditempel di dinding masjid Al Ikhwan,” katanya kepada Murzal Bahtiar, Wakil Ketua yang baru terpilih. Murzal adalah cucu Ustadz H. Murtadho yang menjadi pioner penyebaran Islam di Kampung Sawah sejak 1978.
Mang Haji Aaw mengevaluasi. Dalam kepengurusan sebelumnya, terdapat tiga nama yang mengurusi sarana dan prasarana. “Tak satu pun dari mereka aktif mengurus persoalan itu,” ia menyesalkan.
Mang Enal kembali mengingatkan, bahwa pembukaan rekening di bank harus segera direalisasi. “Ini udeh 2 bulan belon ada kabarnya,” katanya dengan nada tinggi.
Begitulah dinamika rapat masjid Al Ikhwan.
Saya pun pamit. Ustadz Kamal, Mang Haji Aaw, Murzal, dan tentu saja Mang Enal masih semangat membahas persoalan masjid.
Rupanya hingga malam hari perbicangan masih hangat. Pada acara arisan Ernosa, Pak Ketua RT Widodo Suradi, mengumumkan bahwa kini sudah ada jalan baru di Kampung Sawah. JALAN HAJI MA’AT SIBI. Warga merespon positif. Benar kata Bang Alham, selanjutnya akan terdapat nama jalan baru di Kampung Sawah. Mereka terinspirasi dengan kita.
Menjelang ke peraduan, saya berniat ke rumah Intan. Eh, bertemu dengan Hariyuda Setiawan. “Maaf benar Bang. Saya baru pulang dari Jogja. Capek banget. Setelah subuh tidur lagi. Bangun sudah jam delapan,” katanya penuh penyesalan.
Saya tentu memaafkan. Sebagai menebus rasa berdosa ia menyanyikan sebuah lagu. Judulnya Bung Hatta. Jika syairnya diubah menjadi Engkong Kita, maka liriknya menjadi:
“Tuhan, terlalu cepat semua…
Kau panggil satu-satunya
Engkong kami tercinta
Jujur, lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Kami cucu-cucunya….”
Di sebelahnya tulang belulang Kong Haji Maat mungkin mendengar, jerita suara sang cucu.
Alfaatihah.


Leave a reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *