Headline INFRASTRUKTUR Jalan Manufaktur

Teknologi Bahu Seribu Mahakarya Insan Hutama Karya



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Teknologi Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH) Sosrobahu merupakan mahakarya insan Hutama Karya. Dr. Ir. Tjokorda Raka Sukawati merancang inovasi tersebut pada medio 1987-1988. Teknologi tersebut pertama kali diaplikasikan untuk pembangunan tol layang pertama di Indonesia, sebelum akhirnya melanglang buana hingga ke luar negeri.

Sosrobahu sesungguhnya bercikal dari proyek terdahulu Hutama Karya yang juga lahir berkat inovasi lainnya. Proyek tersebut adalah Jembatan Semanggi yang ditangani oleh Sutami, sang direktur Hutama Karya yang menjabat tahun 1961.

Awalnya, teknologi tersebut disangsikan banyak orang. Termasuk oleh gurunya sendiri yaitu Guru Besar Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung Prof. Dr. (HC) Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo. Alasan utamanya karena belum terbukti berhasil dipalikasikan di Indonesia.

Akan tetapi, Sutami tetap ngeyel menggunakan teknik konstruksi beton prategang (prestressed concrete) yang belum pernah digunakan di Indonesia ketika ditunjuk menangani pembangunan Semanggi.  Metode baru tersebut terbukti berhasil dan Semanggi hingga saat ini kokoh berdiri.

Dari teknologi pembangunan jembatan beton prategang yang dirintis Sutami itulah kemudian berkembang teknologi Sosrobahu yang menjadi andalan untuk proyek-proyek prasarana umum besar lainnya, seperti pengerjaan jalan layang.

Keputusan mengembangkan teknologi konstruksi jembatan untuk digunakan ke jalan layang diambil sebab pada hakikatnya jalan layang adalah beberapa buah jembatan yang dijadikan satu. Teknologi yang pertama kali diterapkan pada Jembatan Semanggi pun direncakan untuk digunakan pada proyek pembangunan jalan tol layang pertama di Indonesia, yaitu Cawang-Tanjung Priok.

Metode beton prategang yang sebelumnya digunakan dalam pembangunan Semanggi tidak serta merta langsung diaplikasikan untuk jalan tol layang Cawang-Tanjung Priok. Tjokorda mengadakan penelitian dan uji coba terlebih dahulu pada tahun 1987-1988. Sebagaimana dengan Sutami yang diragukan ketika hendak mencoba teknik konstruksi baru, teknik Tjokorda juga diragukan oleh rekan-rekannya.

Sadar diragukan oleh kawan-kawannya, Tjokorda dengan tegas berkata, “Begini, saya baru diangkat jadi Direktur Utama tanggal 10 Juni 1988. Kalau pier head ini tidak dapat berputar, pukul delapan pagi besok saya akan menghadap Menteri PU, saya akan mengajukan permohonan berhenti menjadi Direktur Utama.” (Kompas, 1/1/2000).

Siti Hardijanti Rukmana yang akrab dipanggil Mbak Tutut yang kala itu menjadi ketua Konsorsium Proyek juga meragukan penggunaan metode baru itu. Namun, karena Tjokorda dengan mantap menjawab yakin bisa digunakan, Mbak Tutut langsung meminta pada malam itu juga (27 Juli 1988) teknologi itu segera diterapkan.

Akhirnya, menjelang tengah malam 27 Juli 1988 teknologi Landasan Putar Bebas Hambatan untuk pertama kalinya diterapkan dalam pembangunan tol Cawang-Tanjungpriok. Prosesi kelahiran teknologi ini ditandai dengan pemutaran kepala tiang (berupa gelagar beton sepanjang 25 meter) yang bertumpu pada badan tiang vertikal, yaitu dari posisi sejajar sumbu jalan hingga melintang 90 derajat terhadap jalan di bawahnya. Seperti yang sudah diyakini Dr Ir Tjokorda Raka Sukawati, teknologi itu berhasil bekerja sesuai perhitungannya.

Nama “Sosrobahu” kemudian diberikan langsung oleh Presiden Soeharto yang maknanya adalah “bahu seribu”. Sosro itu artinya seribu dan bahu atau pundak. Kata ini berasal dari kisah pewayangan. Semenjak itu, teknologi ini dikenal dengan nama Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH) Sosrobahu.

Begitu menggemparkannya penemuan teknologi yang dilahirkan oleh insan Hutama Karya ini, sampai-sampai pihak luar negeri pun terpikat membeli paten teknologi LPBH Sosrobahu untuk digunakan di negara asal mereka. Negara-negara itu adalah Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Sri Lanka.

Tjokorda terus memperbarui teknologi Sosrobaru. Pada versi kedua yang berhasil diciptakannya, Sosrobahu tidak memakai angker tetapi dipasang kupingan berlubang di tengahnya. Berbeda dengan versi pertama yang memakai angker baja untuk dimasukkan ke beton.

Dengan Sosrobahu versi baru hanya diperlukan waktu pemutaran dan pemasangan sampai 45 menit, sedangkan yang lama memakan waktu dua hari. Tipe baru itu digunakan tahun 1996 untuk konstruksi jembatan kereta api di Yogyakarta.

Basuki Winarto, insan Hutama Karya yang juga terlibat langsung dalam riset Sosrobahu bersama Tjokorda sejak awal mengungkapkan, perseroan sampai saat ini terus mengembangkan teknologi tersebut. Jika pada awalnya Sosrobahu dirancang untuk mampu memutar pilar dengan bobot 450 ton, kini sudah dikembangkan sampai bobot 1300 ton.

Berkat pengembangan terus menerus oleh Hutama Karya, sampai saat ini LPBH Sosrobahu masih dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dalam negeri. Belum lama ini, teknologi Sosrobahu digunakan dalam proses pembangunan Tol Cikampek II pada tahun 2017. (Kompas, 27/12/2017)

Berita Lainnya