INDOWORK.ID, JAKARTA: Alkisah, seorang penjelajah asal Venesia bernama Marcopolo mengijakkan kaki di Pulau Sumatra. Kunjungan tersebut diperkirakan terjadi pada 1290.
Sebelumnya, Marcopolo menjelajahi daratan Cina. Ia bertolak dari pelabuhan di selatan Cina bernama Zaitum. Dari sana ia dan rombongannya berlayar menuju Ziamba (Tsiampa atau Champa) ke daerah paling selatan Cochin-china. Kunjungan itu terjadi pada 1280, saat pemerintahan Kublai Khan.
Setelah berada beberapa lama di pulau Sumatra, Marcopolo kembali berlayar dan singgah di Ceylon, Karnatick, Malabar, Guzerat, Persia, Kaspania dan Euxine lalu ke Genoa. Ia tiba di kampung halamannya kembali pada 1295.
Perjalanan singkatnya di Sumatra meninggalkan catatan. Ia menyebut nama pulau ini dengan Java Minor (Jawa Kecil). Nama tersebut diberikan karena tidak mengetahui nama sebenarnya. Pulau Jawa digambarkan oleh para kartografer dengan berbagai versi (nama, ukuran, dan bentuk).
Hal itu menyebabkan Marcopolo menyebut Sumatra sebagai Java Minor. Tanpa mempertimbangkan skala, padahal Jawa (yag saat itu dikenaal dengan Java Mayor) memiliki ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan Sumatra.
William Marsden, dalam bukunya The History of Sumatra (edisi ke-2,1784) mengemukakan bahwa Sumatera mendapat perhatian istimewa dari banyak penjelajah, mulai dari penjelajah asal Arab pada abad ke-9, geographer asal Nubia pada pertengahan abad ke-12, dan Nicolo di Conti (1449), penjelajah asal Portugis dan Spanyol pada abad 16.
Jauh sebelum itu, pulau ini ternyata menyimpan daya tarik tersendiri. Di mata para penjelah dunia lainnya, pulau yang terletak di bagian barat nusantara ini sudah banyak dijamah dari jaman Mesir Kuno.
Dhani Irwanto lewat bukunya Land of Punt: In Search of the Divine Land of the Egyptians (2019) mengungkapkan bahwa pulau Sumatera oleh orang-orang Mesir Kuno disebut Land of Punt. Sebutan ini, secara literal dapat diterjemahkan sebagai Land of the Gods atau Divine Land (Negeri Para Dewata).
Hal yang memperkuat keyakinan orang Mesir Kuno bahwa Sumatera adalah negeri para leluhur adalah kekayaan alam. Pada masa itu, Sumatera dikenal sebagai negeri penghasil emas, kayu manis, dupa, kapur barus, rempah-rempah dan kayu.
Di antara semuanya itu, industri pertambangan emasnya yang paling berkembang dan yang paling terkenal sehingga Sumatera disebut dengan beberapa ama seperti Aurea Chersonesus, Chryse Insula, Aurea Insula. Suvarbhumi, Suvarnadvipa, Ophir dan Punt.
Seperti halnya sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, kekayaan alam Sumatra juga tidak dapat dipisahkan dari asal usul namanya.
Bila menyebutkan bahwa nama ‘Sumatra’ berarti “Pulau Emas”. Istilah Pulau Ameh (bahasa Minangkabau, berarti ‘pulau emas’) dapat dijumpai dalam cerita Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatra.
Seorang musafir dari Cina yang bernama I-tsing (634-713), yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”.
Dalam berbagai prasasti, Sumatera disebut dalam bahasa Sanskerta dengan istilah: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah India sebelum Masehi.
Meski memiliki sumber daya alam yang sangat kaya dan melimpah, potensinya masih belum dimaksimalkan. Kendala infrastruktur yang masih timpang menjadi masalah klasih.
Cerita tentang ketimpangan infrastruktur itu ditemui dalam tulisan Muhammad Radjab pada Catatan di Sumatra. Ia adalah seorang wartawan Kantor Berita Antara yang diminta oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia untuk mengelilingi Sumatra, Malaka dan Singapura pada medio 1947. Radjab menjelajah dari Sumatra Timur (meliputi Aceh dan Sumatra Utara) sampai Teluk Betung (Lapung)
Selama dalam sembilan bulan perjalanan, ia menuliskan apa yang menjadi pengamatannya atas berbagai persoalan. Selama berbulan-bulan perjalnan jadilah sebuah buku yang bercerita tentang ketimpangan di pulau terbesar kedua Indonesia itu.
Rajab menuliskan, saat berada di antara Pancur Batu dan Binjai, berikut kutipannya “…sebab di mana mana kita jumpai rumah-rumah yang usang, toko-toko yang kotor, dan jalan buruk tak terpelihara…”
Juga saat berada di Brastagi, hal yang sama juga dialaminya, “…malam itu kami sangat letih, seharian diguncang dalam kendaraan yang terkantuk-kantuk di jalan yang berbatu dan berlubang-lubang…”
Saat menuju Bukittinggi, Rajab kembali menemukan kendala, “… tetapi malang sekali di Teluk Kayu Putih, 18 km sebelum Samilidu, kendaraan kami terbenam lagi ke dalam lubang yang dalam gardannya bertengger di atas tanah yang keras, tidak dapat beringsut lagi..”
Dalam perjalanan dari Kuamang menuju Samilidu, Sumatra Barat, Rajab benar-benar mengalami kendala berat, “… di suatu tempat, 7 km sebelum sambil induk, jalan bukan main buruknya, semua orang yang ke Jambi mengalami keburukan jalan ini. Lubang-lubang nya sampai ke lutut, panjang dan bertaburan di jalan yang kira kira 50 m panjangnya hingga hampir tidak ada jalan yang telah suntuk dilalui kendaraan…”
Infrastruktur yang buruk juga ditemuinya di Riau, di sana Rajab hampir putus asa, “…Baru 3 km dari Tanjung Pauh, di sebuah kelok Prahoto kami terbenam rodanya dan miring tegaknya. Lumpur di sini semester lebih dalamnya. Kami terpaksalah bekerja keras tiga jam lamanya di tengah hutan yang gelap, sunyi, dan dingin ini…”
Kondisi infrastruktur jalan yang buruk membuat kekayaan alam Sumatra belum optimal dimanfaatkan. Jalan yang buruk membuat akomodasi menjadi mahal. Akses jalan seringkali terkendala oleh sulitnya medan dan waktu tempuh. Ini menjadi persoalan klasik yang tidak pernah terselesaikan sejak dulu.
Tapi kini apa yang dialami Muhammad Rajab tentang infrastruktur yang buruk saat menjelajah Pulau Sumatra sudah bisa diatasi. Sebuah proyek besar bernama Trans Sumatra telah menjadi impian masyarakat pulau ini sejak dulu.
Terhitung semenjak Presiden Joko Widodo melakukan peletakan batu pertama ruas Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar pada 30 April 2005. Waktu melakukan peresmian Jalan Tol Ruas Bakauheni-Terbanggi Besar pada Jumat (8/3), Presiden Jokowi mengatakan, Jalan Tol Trans Sumatera merupakan roda penggerak utama perekonomian di Sumatera.
‘Ini adalah awal yang baik. Jika Tol Trans Sumatera rampung, maka tingkat daya saing Indonesia akan naik karena pergerakan manusia dan barang akan jauh lebih cepat. Kita harap (proyek) ini bisa selesai lebih cepat sehingga mobilitas orang, arus logistik dan barang akan menjadi lebih cepat. Dengan begitucompetitiveness index daerah Sumatera dan Indonesia secara keseluruhan akan menjadi lebih baik,”
Siasat Pemprov DKI Tangani Banjir Rob Jakarta Utara