Jalan Oase

Hikayat Gerbang Tol Era Kolonial



single-image

Pada masa pemerintahan Inggris, beberapa kerajaan di Jawa menandatangani sebuah perjanjian yang mengalihkan pengoperasian gerbang-gerbang tol dan pasar-pasar kepada pemerintahan orang-orang Eropa. Hal ini membuka jalan bagi eksploitasi pemungutan pajak.

Saat itu, pemerintahan kolonial Belanda yang berhasil dipulihkan kembali kedudukannya di tanah jajahan tengah menghadapi utang-utang besar dan pemasukan yang tidak memadai dari pengaturan penyewaan tanah yang dilimpahkan pemerintahan Inggri di bawah Raffles. Setelah pemerintahan Inggris berakhir (1811-1816), muncul niat dari pemerintahan kolonial Belanda untuk memanfaatkan gerbang-gerbang tol sebagai sumber pemasukan untuk menutupi kekurangan pajak Pemerintah.

Perluasan jaringan gerbang-gerbang tol terus berjalan. Dalam waktu satu dekade (1811-1821), setelah orang-orang Eropa melakukan perampasan atas perdagangan candu, jumlah gerbang-gerbang tol di wilayah Yogyakarta saja telah naik dari 34 buah bandar-bandar utama dan sekitar 70 yang lebih kecil, menjadi 45 gerbang-gerbang tol ditambah dengan pasar-pasar, 106 sub-gerbang-gerbang tol dan 187 pos-pos pasar.

Sebagai tambahan, sampai tahun 1824, terdapat pula tiga buah gudang tembakau utama (gedhong tembakau) di perbatasan antara provinsi-provinsi pedalaman dan pantai utara, di mana kiriman-kiriman tembakau ditimbang dan kewajiban bea cukainya ditetapkan sebelum hasil bumi tersebut (terutama yang berasal dari Kedu dan Bagelen) dikirimkan ke daerah pesisir.

Pada periode yang sama, seluruh pajak dari gerbang-gerbang tol daerah di Yogyakarta saja hampir tiga kali lipat dan hal ini terjadi setelah kehilangan daerah Kedu (dengan bandarnya) pada bulan Juli 1812 serta penghapusan gerbang-gerbang tol di sepanjang Bengawan Sala atas Surat Perintah Raffles di dalam Dewan pada tanggal Februari 1814.

Sebelum dilanjutkan dengan melakukan penilaian atas pengaruh ekonorni dan sosial dari perkembangan perkembangan ini, penting kiranya untuk melihat ke samping secara singkat, menyaksikan bagaimana, sebenarnya sistem gerbang-gerbang tol dan gerbang gerbang tol yang lebih kecil itu bekerja. Menurut para Komisaris Belanda yang menyelidiki sistem tersebut, pada tahun 1824, gerbang-gerbang tol asli negara Mataram didirikan pada tempat-tempat pemberhentian di sepanjang jalan (pesanggrahan) bagi pelancong yang menggunakan jalan-jalan dagang utama.

Pesangrahan-pesangrahan di pinggir jalan ini satu dengan lainnya berjarak satu hari perjalanan dengan berjalan kaki. Sering dikunjungi antara lain oleh pedagang-pedagang Cina. Beberapa dari mereka membeli hak dari Kapitan Cina setempat untuk mengenakan sejumlah kecil cukai kepada pelancong lainnya, sebagai pembayaran atas jasanya mcmelihara barang-barang mereka.

Secara berangsur-angsur, seiring perjalanan waktu, dididirikan gerbang-gerbang tol yang lengkap. Ini dikelola oleh orang-orang Cina yang kadang-kadang berkembang dari asalnya yaitu warung-warung pinggir jalan, yang selama ini melayani tempat-tempat penginapan. Kemudian, dengan semakin akrabnya orang-orang Cina ini dengan daerah pedesaan di sekelilingnya, dan semakin besarnya tekanan yang dibcrikan oleh Kapitan Cina kepada mereka untuk membayar sewa yang lebih tinggi lagi, maka pos-pos yang lebih kecil (rangkah) akan mereka sediakan pada jalan-jalan yang berdekatan.

Sampai saat menjelang Perang Jawa, sesuai kata-kata para Komisaris tersebut, sejenis gerbang tol akan dapat ditemukan pada hampir setiap jalan masuk ke setiap kampung dan dusun kecil di Jawa Tengah.

  BERITA TERKAIT

Berita Lainnya