INDOWORK.ID, JAKARTA: Lama tidak berbincang, petang kemarin (Selasa, 6 Agustus 2024) saya mendapat pencerahan baru dari Ilham Bintang, jurnalis senior, mantan boss saya di program Buletin Sinetron RCTI, Ketua Kehormatan PWI Pusat yang baru saja diberhentikan oleh mantan Ketua PWI Henry Ch Bangun.
“Wartawan itu tempatnya salah, Pri. Kemuliaan profesi kita adalah waktu kita mau meralat dan meminta maaf, ” katanya. ‘Pri’ adalah panggilan Pak Ilham Bintang kepada saya, merujuk pada nama saya di KTP.
Salah tulis, salah kutip, salah persepsi, salah sebut nama, salah pasang foto, misleading, adalah kesalahan nyaris rutin yang dialami para wartawan. Kesediaan meralat dan memperbaiki serta minta maaf itulah, bukti kemuliaan profesinya.
PRAHARA PWI

Kutipan inspirasi itu dikemukakan Ilham Bintang di tengah perbincangan menyangkut prahara di PWI Pusat, kini.
“Pak Ilham dapat pesangon berapa?” itulah pertanyaan saya pertama melalui telepon, disambut tawa gelak di sana. “Enam triliun Pri, ” katanya, diiringi tawa.
Hendry Ch Bangun yang sudah dicopot dari jabatannya sebagai Ketua PWI Pusat memecat Ilham Bintang sebagai Ketua Dewan Penasihatnya. Selain Ilham Bintang, Hendry juga memberhentikan Wina Armada Sukardi (Sekretaris Dewan Penasihat), Novrizon Burman (Wakil Ketua Bidang Pembinaan Daerah) dan Herlina (Wakil Bendahara Umum). Sebelumnya juga menolak dan mengecam putusan Ketua Dewan Kehormatan Sasongko Tedjo dan menuding pemberhentian dirinya tidak sah.
Praktis kini Hendry Ch Bangun sendirian di gedung PWI Kebon Sirih bersama kubu pengikutnya. Ada pun posisi Ilham Bintang diberikan kepada Irjen (Purn) Anton Charliyan, mantan Kadiv Humas Polri.
Mencermati prahara di PWI Pusat, selain mengikuti berita di media, pergunjingan di grup WA, saya juga dengan cerita langsung mereka yang tahu banyak di baliknya. Tentang orang -orang yang terlibat dan saling tuding. Saya pun memberitakan sebagian di media saya, Seide.id – tapi sengaja tak membahasnya di majelis FB, karena malu.
Sebagai “orang dalam” saya anggap itu aib – sembari berharap konflik segera reda. Faktanya, api pergolakan makin berkobar dan menyambar kian kemari. Mowat mawut.
SILANG SENGKARUT

Silang sengkarut masalah di PWI Pusat dimulai, ketika menjelang kongres, November 2023 lalu, para Pengurus PWI Pusat menghadap Istana Negara – diprakarsai oleh Timbo Siahaan (JakTV). Di depan presiden, Uni Z Lubis (IDN Times) mewakili PWI Pusat minta bantuan dana kepada Presiden Jokowi untuk biaya pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di 10 provinsi agar para wartawan lebih kompeten, independen dan paten – dengan tujuan jangka panjang membangun pers yang sehat, tampil maksimal dan profesional.
Jokowi memenuhi permintaan itu, dengan menunjuk Menteri BUMN Erick Thohir. Meneg BUMN itu pun merespon cepat. “Ajukan anggarannya, saya sediakan uangnya, ” kata Erick kepada Uni Z Lubis.
Disepakati, Forum Humas BUMN menyiapkan Rp18 miliar untuk tiga tahun, yang akan diberikan tiga tahap. Masing masing Rp6 miliar. Angka yang fantastis yang pernah diterima PWI. Masalah muncul sejak pencairan Rp6 miliar di tahap satu itu. Mendadak disebut adanya cashback ke ‘orang dalam’ BUMN dan fee untuk pengurus yang mencairkan. Totalnya nyaris 30%.
Bantuan dana Rp6 miliar yang masuk ke kas PWI, sudah sempat ditarik sebesar Rp1,771 milyar. Perinciannya, ‘cashback’ ke BUMN sebesar Rp1.080 M dan Rp691 juta untuk ‘orang dalam’ PWI Pusat – dengan bukti tanda terima, 29 Desember 2023. Dalam kuitansi jelas tertera “Untuk pembayaran cashback UKW PWI – BUMN.”
Skandal itu terbongkar saat Uni Z. Lubis menyampaikan ucapan selamat ke pengurus PWI, lantaran dana sudah cair. “Gimana ini? Harus kasi cashback!” keluh yang diucapi selamat. Uni Lubis pun kaget. Lalu telepon ke Erick Thohir, menanyakan oknum BUMN yang minta cash back. Erick Thohir berang dan mengusut anak buahnya. Ternyata tidak ada cashback itu. Nah!
Seperti mobil tronton pecah ban di jalan raya pada jam sibuk; Boom! Skandal BUMN Gate pun meledak.
Melalui rapat Juni 2024 lalu, Dewan Kehormatan PWI Pusat merekomendasikan pemecatan mereka yang dianggap bertanggung jawab, yaitu Sekjen PWI Sayid Iskandarsyah dan pengurus lain yang terlibat, ditambah keharusan pengembalian dana komisi yang ditarik. Diketahui, dari Rp1,7 miliar sudah kembali Rp1 miliar. Sisanya itulah – sekitar Rp600an juta, yang harus dikembalikan.
DITONGKRONGI PREMAN

Alih-alih segera mengembalikan sisanya, baik Ketua PWI Pusat maupun Sekjen malah melawan. Bahkan melapor ke polisi. Maka konflik makin berkobar, saling pecat satu dengan yang lainnya. Bahkan gedung PWI Pusat di Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat sampai kini masih dikuasai oleh pengurus yang dipecat, Henry Ch Bangun Cs, dan konon ditongkrongi para preman.
MEMENUHI tantangan Mbah Cocomeo Kandang Ayam di Rawa Mangun; saya menulis prahara di PWI Pusat kini – meski dalam hati saya ‘was-was’. Sebab ini organisasi yang saya cintai, organisasi yang menaungi kerja kewartawanan saya selama puluhan tahun.
Berita pemecatan Ilham Bintang dan Wina Armada memantik keberanian saya. Ilham Bintang sudah menduduki posisi Ketua Bidang Pembelaan Wartawan dan Ketua Kehormatan PWI sejak dua periode lalu. Sedangkan Wina Armada adalah penyusun Undang Undang Pokok Pers, juga penggagas dan perumus utama Kode Perilaku Wartawan (KPW) PWI. Dua-duanya pegangan wartawan dan para penegak hukum serta mereka yang berurusan dengan media dan studi hal ikhwal jurnalistik Indonesia.
Wina ArmadaI pun tertawa tergelak gelak, ketika saya tanyakan jumlah pesangon dari pemecatannya. “Kok, ada ya, pengurus dipecat dengan alasan tidak menghadiri rapat?” katanya sembari terkekeh. “Kan dia yang sudah dipecat, bukan hanya sebagai Ketua PWI, kartu keanggotaannya juga sudah dicabut sama PWI Jaya. Gak ada kewenangan dia bikin rapat, ” tegas Wina Armada.
Ketua PWI Jaya Kesit B. Handoyo menelepon saya, saat saya mengkonfirmasi pencabutan keanggotaan Hendry Ch Bangun via WA. “Yang mencabut keanggotaan Dewan Kehormatan Pusat. Sesuai PD-PRT, PWI Jaya bertugas membuat berita acaranya dengan mencatat keputusan DK Pusat tersebut, ” kata Kesit bernada hati-hati.
DEWA MABUK

Wina Armada mengulangi pernyataan Ilham bahwa Henry naik ke pucuk pimpinan PWI Pusat di Bandung, November lalu, atas dukungan suara dan kampanye dari para senior yang dipecat itu; H. Ilham Bintang, Uni Z. Lubis, Wina Armada dan Timbo Siahaan. “Sekarang dia sudah jadi Dewa Mabuk!” kata Wina terkekeh.
Jurnalis senior yang juga pengacara itu, menjelaskan, dalam Kode Perilaku Wartawan (KPW) sudah dengan tegas menyebut, salah satu perbuatan tercela bagi wartawan anggota PWI adalah korupsi uang organisasi dan keuangan negara. Sedangkan kemelut yang terjadi di PWI berawal dari dugaan korupsi keuangan organisasi dan uang negara di pengurusan PWI yang baru itu.
Sementara Wina Armada tertawa tawa setelah hilang jabatan, saya sedih karena organisasi kebanggaan saya makin kusut. Makin semrawut. Malu saya, berita kekisruhan PWI Pusat jadi berita di mana-mana. Upaya untuk melokalisir pergolakan menjadi sulit.
DIBESARKAN KOMPAS

Kobaran api terus membara, sampai artikel ini ditulis.
Saya heran, Henry Ch Bangun dibesarkan di Harian Kompas, media nasional dan kredibel. Dijaga cendekiawan dan jurnalis idealis. Selain itu, sudah dua kali menjadi Sekjen dan Wakil Dewan Pers. Mengapa berubah setelah duduk sebagai No.1? Benar lah apa kata Abraham Lincoln : “Jika Anda ingin menguji karakter sejati seseorang, berilah dia kekuasaan.”
Pada kesimpulan akhir – apa yang terjadi di PWI Pusat bukan masalah hukum dan bukan masalah aturan organisasi, melainkan masalah moral dan integritas. Yang kini menduduki kantor PWI di Jl Kebon Sirih Lt. IV, Jakarta Pusat, adalah mantan pemimpin organisasi profesi yang sudah kehilangan legitimasi, kehilangan kehormatan dan kehilangan integritas. Tapi masih kukuh dengan kekuatannya yang tersisa.
Dan yang sungguh menyedihkan dan memalukan berpangkal pada masalah uang! Urusan duit!
Jelas, ada penggelapan dana BUMN, manipulasi gratifikasi, korupsi oleh pengurus, dengan bukti yang terang benderang; dimana pelakunya sudah mengaku, sudah diberhentikan – tapi pemimpinnya tak mau mundur meski sudah diberhentikan.

Ini bukan konflik besar pertama di PWI Pusat. Sekira 54 tahun lalu, pada Kongres Palembang 1970, muncul dualisme kepemimpinan PWI yaitu H. Rosihan Anwar (Harian Pedoman) dan BM Diah (Harian Merdeka) . Namun tidak melibatkan pihak ke tiga. Sedangkan sekarang sudah sampai ke kantor polisi dan Kemenkumham.
Sungguh memalukan.
*) Ditulis oleh Dimas Supriyanto, wartawan senior/
Leave a reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *