Oase

Merdeka Belajar dan Belajar Untuk Merdeka



single-image

INDOWORK –“Merdeka Belajar” atau “ Freedom of Learning”. Begitulan kebijakan baru yang dilontarkan Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, pada pertengahan Desember 2019 lalu. Kontan saja, kebijakan terebut mendapat beragam tanggapan. Ada yang setuju dan optimistis akan keberhasilannya. Namun, tak sedikit yang menangapi dingin karena pesismistis bahwa kebijakan tersebut tak membawa perubahan bagi dunia pendidikan nasional.

Nadiem Makaraim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI

Terlepas dari reaksi publik yang mendua, Nadiem tampak teguh dengan pendirianya. Dalam rangka mewujudkan ‘Merdeka Belajar’ .Nadiem mengumumkan peng-hentian ujian nasional pada 2021.
Ujian nasional akan digantikan oleh Penilaian Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (melek huruf, berhitung, dan penguatan pendidikan karakter). Tes ini berlakuk untuk siswa (kelas empat untuk sekolah dasar, kelas delapan untuk sekolah menengah pertama dan kelas sebelas untuk sekolah menengah atas). Namun, nilai ujian ini tidak dapat digunakan untuk ujian masuk sekolah. Nadiem, yang juga lulusan Harvard, berencana untuk merevisi materi pembelajaran, sistem zona untuk sekolah dan ujian sekolah nasional standar.
Pertanyaan yang paling sering diajukan adalah bagaimana mengukur kompetensi siswa tanpa ujian nasional?
Atas pertanyaan seperti itu, Nadiem menjawab: Pertama, kita harus berpaling ke konsep “Kebebasan Belajar”. Konsep itu bermaksud membebaskan institusi pendidikan dan mendorong anak-anak untuk menjadi inovatif dan mempromosikan pemikiran kreatif. Kedua, konsep tersebut diperlukan karena dunia (sekarang dan masa depan) tidak membutuhkan anak-anak yang pandai menghafal. Pernyataan ini, kata Nadien ia dengar sendiri dari seseorang yang memiliki kekuatan untuk mengubah kebijakan pendidikan Indonesia
Nadiem menyatakan ia sangat setuju dengan pernyataan tersebut karena beberapa alasan. Pertama, ia mendukung pemikiran orisinal. Nadiem mengemukakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia sering memberi tekanan pada siswa untuk memberikan “jawaban buku teks”. Ketika masih pelajar di Indonesia, dirinya merasa sulit untuk menulis ide sendiri. Pertanyaan ujian tidak memberinya ruang untuk mengeksplorasi pikiran sendiri dan mengungkapkan pendapat secara mandiri. Waktu itu siswa akan mendapatkan nilai yang lebih tinggi dengan menghafal jawaban dari buku teks.
Sebaliknya, Nadiem melanjutnya, ketika ia belajar di Manchester, untuk mempersiapkan ujian, ia harus menganalisis semua bahan bacaan dan menghasilkan ide-ide sendiri dan menulis pemikiran sendiri tentang teori-teori yang ada. Itu memungkinkan dirinya bertumbuh menjadi kreatif dan inovatif. Cara belajar seperti itu, membuat dirinya mampu berpikir di luar kotak. Ia merasa dihargai dan ditantang pada saat yang sama. “Makanya, saya percaya pemikiran kritis diperlukan untuk menghadapi secara efektif dengan lingkungan yang dinamis,” ujarnya.
Alasan kedua adalah bahwa ia sangat percaya pada karakter yang mengarah pada kesuksesan. Menurut Nadiem membangun karakter sama pentingnya dengan menguasai keterampilan membaca dan berhitung. Memiliki moral yang baik seperti empati, toleransi, kasih sayang, kemurahan hati yang dikombinasikan dengan keterampilan akademik akan menciptakan pemimpin masa depan yang fenomenal.
Perlu dicatat bahwa moral yang baik tidak boleh didasarkan pada agama tertentu karena itu tidak akan menciptakan lingkungan yang inklusif. Guru harus menggunakan pendekatan holistik yang melibatkan pembelajaran sosial dan emosional. Ketika siswa belajar bagaimana berkolaborasi dengan orang lain, bagaimana menghargai perbedaan, bagaimana bersikap adil, bagaimana mengendalikan amarah mereka, intimidasi sekolah dapat dicegah. Sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berinteraksi satu sama lain. Dalam sistem pendidikan Jepang, salah satu tujuan pendidikan adalah mengajarkan sopan santun sebelum pengetahuan, di mana anak-anak akan fokus pada pengembangan perilaku positif dan tidak akan memiliki ujian apa pun sampai kelas empat. Kita bisa berargumen bahwa itu bisa menjadi salah satu alasan mengapa orang Jepang sopan dan cerdas.

Suasana Belajar di sebuah sekolah di Finladia

Alasan ketiga, ungkap Nadiem, jika dicermati secara serius dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bertahun-tahun tidak dapat dinilai secara adil dalam beberapa hari ujian. Ini adalah kesalahan persepsi umum bahwa seseorang harus belajar untuk lulus ujian, sementara ujian mungkin tidak benar-benar mengukur pembelajaran. Karena itu, proses pembelajaran bisa dangkal dan tidak berarti bagi siswa. Untuk merangsang pembelajaran yang mendalam, siswa harus memahami tujuan pembelajaran holistik. Oleh karena itu Nadiem ingin melihat lebih banyak peluang bagi siswa untuk melayani masyarakat untuk mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari. Di Finlandia, sekolah adalah pusat komunitas dan siswa memainkan peran aktif di mana mereka menetapkan target mereka sendiri dan menilai diri mereka sendiri.

Nadiem mengatakan bahwa secara keseluruhan, ia setuju bahwa pendidikan harus merangsang siswa untuk menjadi pemimpin yang inovatif dengan rasa membumi. Bangsa membutuhkan pemimpin yang cerdas, pemikir kritis, bijaksana, dan memiliki kepercayaan diri tanpa membuat orang merasa rendah diri. Ia ingin melihat orang Indonesia berkumpul untuk mendukung kebijakan baru dan memberikan umpan balik yang membangun. Seringkali “perubahan itu sulit terwujud karena kita fokus pada kendala dan tantangan yang membuat kita terpkasa menyerah kalah, alih-alih pada kekuatan dan peluang yang membuat kita bisa menghasilkan perubahan.”
Bukan Sesuatu Yang Baru
Sejatinya konsep ‘Medeka Belajar’ bukanlah sesuatu yang baru samasekali. Di berbagai belahan bumi yang lain hal itu diupayan secara bersungguh-sungguh. Memang, banyak orang yang pesimistis dengan gagasan ‘Merdeka Belajar’. Mereka ini biasanya percaya bahwa jika kita mengizinkan anak-anak kebebasan untuk memilih apa yang akan dipelajari, mereka akan memilih untuk tidak belajar apa pun. Tapi, apakah benar terjadi begitu?
Dalam kenyataan, justru persis kebalikannya yang terjadi. “Merdeka Belajar” justru membuat anak-anak semakin termotivasi untuk belajar. Mereka datang ke sekolah dengan harapan mempelajari informasi baru, menarik dan bermanfaat. ‘Merdeka Belajar’ membuat mereka terlepas dari kungkungan. Sebab, terlalu sering mereka merasa wajib mengisi lembar kerja, menyalin informasi yang mungkin tidak mereka pahami. Terlalu sering pula mereka duduk untuk mendengar gurunya berceloteh di depan kelas. Sesungguhnya anak-anak masih ingin belajar tentang banyak hal. Namun, suasana di sekolah tidak mendukung mereka untuk mencaritahu apa yang ingin mereka ketahui.
Dalam sepuluh tahun terakhir, praktik ‘Merdeka Belajar’ muncul di mana-mana. Di sekolah berdasarkan model Sudbury Valley School di Massachusetts,misalnya, tidak ada pelajaran sama sekali. Anak-anak bebas memutuskan apa yang ingin mereka lakukan sepanjang hari dan setiap hari.
Di Sekolah Demokrasi, Hadera, Israel, tersedia banyak program pelajaran dan kegiatan. Namun anak-anak dapat memilih untuk mengambil bagian dalam salah satu dari mereka atau menghabiskan waktu mereka secara mandiri.
Di Summerhill, sub-urban Sydney Australia, ada jadwal pelajaran konvensional, tetapi semua pelajaran bersifat sukarela. Pada kenyataan anak-anak belajar dengan senang hati di sana.
Di Bildungsschule Harzberg, sekolah dasar di Jerman yang didirikan pada 2009 oleh Falko Peschel, anak-anak bertemu setiap hari untuk mengumumkan rencana belajar mereka. Kemudian mereka belajar secara mandiri atau dalam kelompok kecil. Tidak ada buku teks atau lembar kerja. Anak-anak bebas merencanakan cara belajar mereka sendiri. Ketika Peschel bekerja di sekolah negeri biasa, ia mengambil kelas selama empat tahun, menggunakan sistem ini. Ternyata, dalam hal prestasi akademik, ia menyamai atau melampaui kelas paralel di sekolah yang sama.
Di ruang no.13 di Caol Primary School di Skotlandia, adalah sebuah studio seni yang dikelola oleh anak-anak. Mereka memiliki rekening bank mereka sendiri, membeli bahan mereka sendiri dan mempekerjakan artis mereka sendiri di tempat tinggal. Mereka dapat mengunjungi studio setiap kali mereka menyelesaikan pekerjaan kelas mereka. Sesampai di sana, mereka dapat melukis atau menggambar apa pun yang mereka suka, atau membaca, atau mengobrol, bermain catur, atau mendengarkan musik, atau bermimpi. Karya seni yang dihasilkan dalam suasana bebas ini telah dipamerkan di berbagai galeri, termasuk Tate Modern di London, dan sering dianggap sebagai karya orang dewasa.

Ketika inspektur The Office for Standards in Education (OFSTED) mengunjungi William Booth Nursery dan Infant School di Nottingham pada 2007, mereka mengamati: ‘Anak-anak merencanakan hari-hari mereka dan staf mendorong dan membimbing mereka, untuk mencerminkan kebutuhan dan minat mereka. Gaya mengajar individual sekolah, berdasarkan intervensi terpandu daripada pengajaran kelas tradisional, membantu memastikan bahwa anak-anak belajar dengan baik dan membuat kemajuan yang baik. Perilaku itu baik, meskipun ada kegelisahan di saat-saat ketika anak-anak belajar lebih formal dalam kelompok. ‘
Kesimpulan inspektur menggambarkan sikap irasional yang dimiliki begitu banyak orang terhadap kebebasan dalam belajar. Mereka tidak menyarankan bahwa anak-anak harus memiliki lebih banyak waktu untuk kegiatan mereka sendiri. Yang jelas, mereka dapat menggunakan waktu dengan baik. Namun mereka harus menghabiskan lebih banyak waktu di bawah instruksi, di mana mereka jelas bosan. Dalam kata-kata dalam laporan itu tertulis begini: ‘Belum ada sesi membaca dan menulis yang fokus, seperti lokakarya, untuk mempercepat kemajuan anak-anak dalam membaca dan menulis.’
OFSTED rupanya berpikir lebih penting untuk belajar dengan cara duduk diam daripada aktif menindaklanjuti minat sendiri. Karena, para inspektur berasumsi, jika seseorang duduk diam belajar, ia akan menjadi lebih cepat menjadi pintar. Apa yang sebenarnya terjadi adalah pengajaran memang dipercepat, namun minat anak-anak diabaikan, bahkan dimatikan sama sekali.
Sejatinya, perbedaan antara apa yang diajarkan dan apa yang dipelajari adalah perbedaan yang sulit dipahami oleh banyak guru, pengawas pendidikan dan politisi. Sama seperti mereka melupakan perbedaan antara apa yang dipelajari, dan apa yang diingat. Jika pembelajaran yang terjadi di sekolah dipilih secara bebas, maka anak-anak tidak hanya akan lebih bahagia, mereka juga akan meraih kemajuan yang lebih baik.
Belajar Untuk Merdeka
Saya baru-baru ini membaca sebuah buku berjudul “Melintasi Garis Finish” yang menggambarkan keadaaan dunia yang runyam akibat dari sistem pendidikan yang sekarang diterapkan. Namun, di balik itu, tersingkap banyak alasan mengapa pendidikan itu penting bagi umat manusia. Dari begitu banyak alas an, hemat saya, satu-satunya alasan terbesar bahwa pendidikan itu penting adalah karena pendidikan itu tidak hanya mendukung tetapi juga meningkatkan kebebasan dan keadilan bagi semua.

Potret Siswa di Pedalaman Manggarai Timur, Flores
Sebagai contoh, sebuah studi dari Biro Nasional Penelitian Ekonomi Amerika Serikat melacak 10 persen penduduk yang berpenghasilan tertinggi di 20 negara dari tahun 1910 hingga 2005. Studi ini menunjukkan bahwa di banyak negara maju, persentase dari populasi yang menghasilkan tingkat pendapatan tertinggi hampir dua kali lipat sejak Perang Dunia II.
Beberapa ekonom percaya bahwa ini bukan hanya karena kebijakan ekonomi negara-negara tersebut tetapi juga kebijakan pendidikan. Dengan kata lain, negara-negara yang telah berhasil menawarkan kesempatan pendidikan kepada penduduk mereka telah melihat peningkatan dramatis dalam pendapatan dan distribusi kekayaan.
Bagaimana pendidikan berkaitan dengan kebebasan dan keadilan untuk semua? Pertanyaan ini memang tidak mudah untuk dijawab. Namun, pada kenyataan melalui pendidikan, orang dapat menjadi tenaga kerja profesional, dan meraih upah yang memadai. Atau, mereka dapat memiliki wawasan sehingga dapat berwirausaha dengan cara yang lebih produktif. Tetapi dalam arti yang lebih praktis, peningkatan pendapatan yang dibawa oleh pendidikan, memperlengkapi orang dengan kebebasan untuk memilih gaya hidup yang mereka sukai.
Namun, tak dapat dipungkiri pula, bahwa pendidikan juga tidak banyak mengubah nasib, akibat sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Bahkan, dalam sejumlah kasus pendidikan tinggi seakan menimbulkan masalah sosial yang mengerikan. Karena banyak orang yang berpendidikan tinggi terlibat dalam kejahatan keji dan skandal keuangan seperti korupsi. Tetapi, hal itu tak berarti masalahnya seluruhnya ada pada sistem pendidikan. Sebab, bagi orang-orang yang berkarakter buruk, nilai-nilai yang dipelajari selama masa pendidikan seperti ‘angin lalu’; tak bermakna apa-apa. Pendidikan tidak memaksa orang-orang untuk membuat pilihan yang buruk, tetapi karakter mereka melakukannya. Margaret Thatcher pernah berkata, “Saya tidak menegosiasikan prinsip (nilai-nilai) saya. Saya justru bernegosiasi berdasrkan prinsip (nilai-nilai)saya”.

Intinya adalah bahwa pendidikan berpotensi membebaskan umat manusia dari kebodohan dan kemiskinan. Sebab, pendidikan membantu mendistribusikan kembali kekayaan dan kesempatan. Dengan begitu pendidikan memberi orang kebebasan untuk memilih gaya hidup yang mereka sukai. Ben Bernanke, ketua Dewan Federal Reserve, AS mengatakan: “Pendidikan membuat orang memiliki wawasan, kompetensi dan ketrampilan bekerja. Pendidikan adalah cara terbaik untuk meningkatkan peluang ekonomi dan mengurangi ketidaksetaraan.”

Catatan Khusus
Melihat tren dan manfaatnya, kita semua perlu mendukung dan perlu berpartisipasi merealisasikan gagasan ‘Merdeka Belajar’. Namun, perlu diingat gagasan tersebut rasanya tidak akan mulus berjalan dalam kondisi sosial-budaya dan politik yang menyuburkan kesenjangan sosial: kaya-miskin; penindas-tertindas. Sebab, bagi orang ‘kaya’ menjalani program ‘Merdeka Belajar’ tentu saja mudah. Namun, tidak bagi mereka yang ‘miskin’ dan ‘tertindas’. Orang miskin pada hakekatnya tidak memiliki kesiapan, baik secara ekonomi dan mental, untuk berpartisipasi dalam program tersebut.
Dalam buku Pedagogy of the Opressed, filsuf pendidikan Brasil, Paul Freire menulis begini: “Pendidikan harus peduli pada perbedaan penindas-tertindas. Menerapkan perbedaan itu pada pendidikan, sam maknanya dengan memperjuangkan bahwa pendidikan harus membuat kaum tertindas mendapatkan kembali rasa kemanusiaan mereka. Langkah tersebut, pada gilirannya akan mengatasi kondisi sosial mereka.” Namun demikian, Friere mengakui bahwa agar hal ini terjadi, individu yang tertindas harus memainkan peran dalam pembebasan mereka.
Akhirnya, secara realitiss kita harus mengakui bahwa tidak ada pendidikan yang benar-benar membebaskan. Artinya, tidak akan ada ‘Merdeka Belajar’ yang seutuhnya. Sebab, dalam era kompetisi sekarang sekarang, dunia pendidikan cenderung bersifat komersial. Ia akan selalu menempatkan diri jauh dari kaum miskin dan tertindas. Oleh karena itu, orang-orang yang miskin dan tertindas harus menginisasi model ‘Merdeka Belajar’ ala mereka sendiri. Tak usah menggantungkan terlalu banyak asa pada Nadiem.Sebab, bukan tidak mungkin setelah Nadiem lengser nanti, gagasan ‘Meredeka Belajar’ ikut terbujur kaku. Mati!***

  BERITA TERKAIT

Berita Lainnya