Indowork.id – Persoalan utama yang dihadapi sektor industri sawit saat ini adalah menurunnya harga CPO yang juga pada berdampak pada merosotnya harga tandan buah segar (TBS) dan pendapatan atau kesejahteraan petani. Untuk memperbaiki kondisi ini dan meningkatkan kinerja sektor sawit Indonesia, beberapa program perbaikan perlu dilakukan dalam jangka pendek dan panjang. Salah satu program jangka pendek untuk menstabilkan harga CPO yakni memperluas pasar domestik CPO melalui penerapan kebijakan mandatori biodiesel dan program bio-hydrocarbon fuel.
Sebagai unit organisasi non eselon di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkomitmen penuh mendukung program perluasan segmen mandatori biodiesel B20 yang dicanangkan pemerintah. Tujuannya adalah meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan guna mengurangi CO2 sekaligus menghemat cadangan devisa negara, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan petani sawit. Sesuai dengan visinya, menjadi pengelola dana yang berperan dalam pengembangan kelapa sawit berkelanjutan sebagai salah satu komoditas strategis Indonesia, BPDPKSt mendukung kebijakan mandatori biodiesel dengan menyiapkan dana insentif yang diperlukan untuk memproduksi biodiesel.
Menurut catatan BPDPKS, kebijakan mandatori biodiesel sejak Agustus 2015 sampai dengan Oktober 2018 membawa dampak yang luar biasa, di antaranya: mengurangi efek rumah kaca (grrenhouse gas emission/GHG) hingga 9,88 juta ton CO2e, penggunaan biodiesel dari sawit 6,61 juta kilo liter, pajak yang dibayarkan kepada negara Rp2,43 triliun, dan penghematan devisa akibat tidak perlu impor solar sebesar US$2,77 miliar.
Komplain Petani Sawit
Meskipun kebijakan mandatori biodiesel sangat bermanfaat, dan BPDPKS siap mendanai penerapan kebijakan mandatori biodesel B20, namun tak semua kalangan memahaminya. Terbukti, tak sedikit dari kalangan petani sawit yang mengajukan komplain melalui pemerintah, bahwa BPDPKS lebih banyak menyalurkan dananya untuk program biodiesel, daripada demi pemberdayaan petani seperti program replanting sawit. Jaringan Organisasi Petani Sawit Indonesia (JOPSI) yang terdiri dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia (AspekPIR) dan Lembaga Sawitku Masa Depanku (Samade) menilai alokasi penggunaan dana sawit oleh BPDPKS selama ini alokasinya salah kaprah karena hanya untuk kepentingan industri biodiesel.
Menurut JOPSI, pemerintah dan BPDP-KS harus lebih adil dalam mengalokasi dana sawit, dengan porsi sebesar 55% untuk petani. Pasalnya, petani swadaya dirugikan, selalu menjual ke tengkulak dengan harga rendah sementara industri biodiesel hanya memperoleh suplai bahan baku dari kebun mereka sendiri.
JOPSI berpendapat, perlu ada kepastian bagi petani sebelum pemberlakuan kembali pungutan dana sawit. Pertama, alokasi dana harus lebih besar untuk petani ketimbang alokasi bagi biodiesel dengan tambahan alokasi untuk revitalisasi koperasi, pendataan dan sertifikasi petani.
Kedua, bahan baku untuk industri biodiesel harus bersumber dari kebun petani yang sudah treceable bukan dari kebun industri. Ketiga, harus ada insentif bagi petani pekebun swadaya. Keempat, pelibatan petani dalam pengambilan keputusan dan reorganisasi kelembagaan BPDP-KS yang transparan, bertanggungjawab dan perbaikan kepemimpinan.
Menurut JOPSI, BPDPKS tidak banyak memberikan dampak kepada petani sawit. Sebab dana pungutan sawit lebih banyak digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel. Terbukti, hingga akhir 2018, peremajaan sawit rakyat yang didukung oleh dana sawit baru mencapai 28.100 hektar (Ha) dengan jumlah petani sekitar 11.200 petani dari target 185.000 Ha.
JOPSI juga beranggapan bahwa sesuai amanat UU No.39 tahun 2014 tentang perkebunan BPDPKS seharusnya mengutamakan peningkatan kesejahteraan petani sawit, daripada mendukung kebijakan mandatori biodiesel B20.
BPDPKS dan Kebijakan Mandatori Biodiesel
Semenjak Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pembentukannya pada 2015, BPDPKS mengelola dana pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Hinga akhir 2018 dana pungutan atau potongan penjualan ekspor CPO yang dikelola BPDPKS telah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp 43 triliun. Berdasarkan pada Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, alokasi penggunaan dana sawit ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi, peremajaan perkebunan, pengadaan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.
Penggunaan dana tersebut juga termasuk untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. BPDPKS menetapkan prioritas penggunaan dana tersebut dengan memperhatikan program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah. Sebagaimana diketahui, pemerintah akan menerapkan kebijakan untuk memperluas penggunaan bahan bakar dengan campuran 20 persen biodiesel (B20), baik untuk penggunaan pada Public Service Obligation (PSO) maupun non-PSO.
Dalam rangka pemanfaatan biodiesel, selama tahun 2017 BPDPKS telah memberikan insentif atas penyaluran 2,3 juta kilo liter biodiesel. Sementara itu, sampai dengan semester I/2018, BPDPKS telah memberikan insentif atas penyaluran 1,1 juta kilo liter biodiesel.
Mandatori Biodiesel Untuk Menstabilkan Harga CPO
Seperti diketahui, sejak 2009 penerapan kebijakan mandatori biodiesel belum pernah memenuhi target. Pada 2009, targetnya 1% namun hanya terpenehui 0,4%, Kemudian, pada 2017, targetnya adalah 20%, namun hanya terpenuhi 9,1%. Meskipun kebijakan mandatori biodiesel B20 sudah ditetapkan sejak Januari 2016, pada kenyataannya pelaksanaan sepenuhnya baru dimulai 2018, terutama untuk sektor non-PSO.
Total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 38,7 triliun dalam periode 2015-2019 atau rata-rata insentif mencapai Rp 7 triliun hingga Rp 8 triliun per tahun, sementara untuk ke petani disalurkan melalui dana replanting sekitar Rp 702 miliar sampai dengan tahun 2018 atau sekitar 1,6%.
Setidaknya terdapat dua manfaat yang bisa diperoleh dari program mandatori biodiesel. Pertama, mendukung kebijakan energi baru dan terbarukan, melalui bauran energi Indonesia yang akan mendorong terciptanya ketahanan energi nasional. Kedua, mendukung terciptanya stabilisasi harga crude palm oil (CPO), melalui pengaruh pengendalian permintaan dan penawaran sawit dan produkturunannya.
Program Mandatori Biodiesel diharapkan juga menjadi solusi untuk mengatasi kelebihan pasokan sawit akibat menurunnya ekspor CPO karena tensi pasar global yang sedang tinggi. Pada Mei 2018 produksi CPO tercatat 4,24 juta ton atau naik 14% dibandingkan April yang hanya 3,72 juta ton.Kelebihan pasokan dimungkinkan untuk diserap melalui program Biodiesel karena saat ini utilisasi produksinya baru mencapai 30% atau setara 3,5 juta kilo liter per tahun dari total kapasitas terpasang. Ini menunjukkan serapan produksi biodiesel domestik sangat mungkin untuk ditingkatkan.
Pelaksanaan kebijakan mandatori biodiesel juga membantu menciptakan lapangan kerja di sektor industri perkebunan kelapa sawit. Jadi, penerapan kebijakan mandatori biodiesel meningkatkan nilai guna CPO, menunjang stabilitas harga CPO dan meningkatkan kesejahteraan petani sawit.
Menggalang Percepatan Program Biodiesel
Melihat begitu besar manfaatnya kebijakan mandatori biodiesel, pemerintah dan para pihak yang berkepentingan dengan industri sawit perlu bersinergi menggalang percepaan penerapan kebijakan mandatori biodiesel B20, dan B30. Untuk maksud itu beberapa hal perlu mendapatkan perhatian bersama. Yaitu, pertama, meningkatkan kualitas produk biodiesel serta konsistensi pencampuran. Diperlukan upaya perbaikan kualitas produk biodiesel baik dari produsen maupun pada saat proses blending.
Kedua, membenahi logistik. Hingga kini, masih terdapat masalah logistik termasuk fasilitas penyimpanan, angkutan distribusi untuk memastikan distribusi yang menyeluruh. Oleh karena itu, percepatan penyediaan fasilitas logistik perlu dilakukan.
Ketiga, melakukan sosialisasi tentang manfaat biodiesel kepada konsumen. Hal ini perlu dilakukan karena masih terdapat resistensi dan kekhawatiran di kalangan konsumen untuk menggunakan biosolar (B20) terkait garansi peralatan, kinerja mesin, dan ketahanan peralatan. Untuk itu diperlukan keterlibatan dan dukungan, serta insentif agar konsumen mau memanfaatkan biodiesel pada tahap awal.
Keempat, menggalkan dukungan stakeholders melalui sosialisasi yang kebih intesif. Pasalnya belum seluruh stakeholders mendukung pelaksanaan percepatan kebijakan mandatori biodiesel.
Kiranya, melalui komitmen pendanaan dari BPDPKS, dukungan para stakeholder industri sawit dan stakeholder biodiesel, sinergi antara industry sawit dan kebijakan mandooti biodiesel semakin kuat. Dengan demikian, energi baru terbarukan semakin terpenuhi, industry sawit kian bertumbuh, dan petani sawit kian sejahtera.***
Oleh Maximus Ali Perajaka
*Penulis adalah wartawan dan dosen Saint Mercy Academy
Pro UMKM, Hutama Karya Tingkatkan Okupansi Usaha Kecil Hingga 80 Persen