Headline Humaniora

Mengapa Para Elit dan Penguasa Sekarang Ini Begitu Angkuh?



single-image
Istana Negara

INDOWORK.ID, JAKARTA: Royal: Anda pernah dengar kata royal? Bukan, ini tidak ada hubungannya dengan kerajaan. Coba buka KBBI deh. Kata itu ada di sana. Artinya, sikap melebih-lebihkan.

Kalau saya lebih mengartikan, bertindak melebihi kemampuan khususnya dalam hal finansial. Boros mungkin terlalu moderat. Royal adalah lebih dari boros, dan tujuannya untuk menimbulkan kesan kemewahan, kemegahan, dan kekayaan — yang sebenarnya tidak kita punyai.

Kata ini membawa saya ke 1990-an ketika saya masih menjadi asisten pengajar di sebuah universitas. Sebagian dari mahasiswa di sana adalah mereka yang sedang ‘tugas belajar.” Mereka pernah mengambil diploma (D3 atau D4, saya lupa) dan masuk ke lembaga tempat saya kerja itu karena ingin mengambil S1.

Sementara itu, mereka sudah bekerja. Umumnya dari pemerintah-pemerintah daerah dari seluruh Indonesia. Mereka sudah berumur — rata-rata berkeluarga. Banyak dari mereka yang datang sendirian karena terlalu berat membawa keluarga.

MAHASISWA TUGAS BELAJAR

Tentu mereka berbeda dari mahasiswa reguler yang muda dan kadang juga memberontak. Para mahasiswa TB (tugas belajar) ini karena sudah menjadi pegawai, diikat oleh ketentuan untuk tidak melawan pemerintah. Karena mereka itulah pemerintah. Sehingga, kita bisa dengan mudah melihat perbedaan antara mahasiswa TB dan reguler.

Saya tetap menjalin hubungan dengan beberapa mahasiswa TB tersebut sekali pun saya tidak lagi mengajar. Jika mereka tahu kalau saya mengunjungi daerah mereka, pasti saya diundang. Ketika itu, mereka adalah PNS-PNS yang baru memulai karir. Namun beberapa kemudian menjadi kepala-kepala dinas atau bahkan bupati di daerahnya.

Cerita tentang royal itu saya refleksikan dari perjumpaan saya dengan mantan mahasiswa TB di satu daerah. Itu terjadi hanya beberapa tahu setelah dia tamat. Saya kebetulan ada tugas melakukan penelitian beberapa minggu di daerahnya.

Saya ingat dia adalah mahasiswa yang biasa-biasa saja. Cenderung penakut dan sangat sulit mengkomunikasikan pikirannya karena takut salah. Kami agak dekat karena saya membantu mengkoreksi papernya. Dan juga konsultasi skripsinya. Dia sangat berterima kasih untuk itu.

Ketika saya berkunjung ke daerahnya, dia tentu sangat senang. Saya dijemput dengan mobil dengan sopir ke hotel kecil tempat saya menginap. Saya diperkenalkan kepada teman-temannya. Setelah beberapa hari, dia mengundang saya berkunjung ke rumahnya di kampung. Agak jauh dari kota sehingga saya harus menginap.

Di sana saya dijamu secara mewah. Terlalu mewah untuk saya. Bahkan ketika saya memperlihatkan keinginan terhadap sesuatu saja, dia langsung bergegas menyediakan. Ketika saya bertanya, apakah sekarang musim durian? Karena saya lihat banyak durian berserak di jalan dekat rumahnya. Ah, gampang Pak. Dan tidak terlalu lama, duren datang. Tanpa saya meminta.

Saya tinggal 2 hari di rumahnya. Tentu saja, saya mendapat pelayanan istimewa. Bangun pagi, sarapan tersedia. Mau mandi, ada air hangat disediakan di ember. Padahal saya sebenarnya tidak butuh.

Saya berusaha mati-matian menolak kemewahan berlebihan itu. Namun dia tetap menyediakan untuk saya.

Hari kedua, saya kehabisan rokok. Saya perokok berat ketika itu. Saya manfaatkan kesempatan itu untuk menyelinap keluar dari rumahnya. Saya ke warung kopi yang agak jauh. Di sana, saya bertemu dengan pelanggan-pelanggan lain. Orang menyapa dan kami berkenalan. Dari obrolan disana, baru saya tahu bahwa rumah besar tempat saya menginap itu bukan rumah mahasiswa saya. Itu rumah orang terkaya di kampung.

DARI UTANG

ilustrasi utang (indonesia.go.id)

Kemudian, beberapa bulan kemudian, dari cerita kawannya yang satu kabupaten dan juga mantan mahasiswa saya, terdengar kabar bahwa segala kemewahan yang saya nikmati itu berasal dari utangan. Duh! Saya merasa berada posisi yang serba salah.

Semalam saya dipertontonkan link video gala dinner pertemuan ke-10 World Water Forum. Media-media mengatakan bahwa makan malam tersebut spektakuler. Pertunjukan luar biasa. Juga kembang api. Salah satu komentar yang saya dengar mengatakan, “Kita menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang besar!”

PESTA MEWAH

Sudah beberapa kali pesta-pesta mewah ini terlihat. Ada G20, pertemuan IMF, pertemuan ASEAN. Semua megah dan menunjukkan bangsa ini bangsa yang besar.

Melihat itu semua, entah mengapa mantan mahasiswa saya itulah yang muncul. Saya dengar dia tidak terlalu sukses. Dia bermasalah dengan keuangan. Dan, untuk saya, itu menambah beban karena saya adalah salah satu bagian dari kesulitannya. Mungkin.

Apakah kita semeriah dan semegah itu? Saya bukannya tidak suka dengan pesta-pesta semacam itu. Namun, saya juga melihat bahwa negara-negara lain, yang jauh lebih kayak dari kita tidak membuat pesta sebesar itu untuk para tamu — yang mungkin juga tidak pernah diperlakukan dengan kemurahhatian yang amat dalam itu.

Negara-negara yang lebih makmur membuat pesta-pesta rakyat. Mereka menghibur rakyatnya. Bukan menghibur para elit dengan uang yang dikutip dari kantong rakyatnya.

Kita sungguh royal dalam hal ini. Berpesta dan dansa dansi dengan uang yang kita tidak miliki. Menjamu tamu dengan kemegahan kelewat batas, dengan pikiran bahwa toh nanti pajak bisa dinaikkan? Darimana datangnya pikiran keblinger ini?

Refleksi ini menjadi kemarahan karena pihak yang berkuasa membubarkan pertemuan sampingan, People’s Water Forum, yang diorganisasi oleh masyarakat sipil. Penguasa memakai ormas yang bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN) yang dibentuk oleh mantan Pangdam Udayana yang sekarang sangat berkuasa. Ormas yang tidak ada urusan apa-apa bisa membubarkan sebuah pertemuan — dengan intimidasi tentu saja.

Saya tidak paham, mengapa para elit dan penguasa sekarang ini begitu angkuh?

Namun pada saat bersamaan mereka menjadi sangat pengecut. Membubarkan pertemuan dengan ormas? Kita masih punya demokrasi di negeri ini?

*) Ditulis oleh Made Supriatma

 

Berita Lainnya