Headline Humaniora

Celoteh Tentang Cita-cita, Martabak, dan Anak Pak Lurah



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Namanya cita-cita, harus setinggi langit, begitu kata Soekarno Presiden pertama Republik ini. Mengapa setinggi langit? Karena, kalaupun tidak sampai langit, paling sedikit, bisa nongkrong di bulan, itu saja sudah jauh dari bumi yang katanya butuh 300.000 kilometer buat menyentuhnya.

Maka, kalau cita-citanya ingin menggapai langit, perlulah usaha yang tidak sedikit. Paling tidak, butuh membuat roket, memikirkan baju yang sesuai untuk di luar angkasa. Urusan baju ini, bukan sekadar tampil menawan. Sudah pasti tidak akan cocok misalnya memakai sorjan alias lurik berkombinasi batik di bulan. Selain kurang pantas, baju model begitu dipastikan tidak tahan cuaca di sana.

Perkara baju tentu bukan yang utama mewujudkan mimpi. Terpenting adalah tekad bulat dan usaha kuat. Coba tengok saja apa yang dilakukan Elon Reeve Musk. Pendiri Tesla yang banting tulang mewujudkan mimpinya plesiran ke planet Mars. Proyek mercusuar multimiliuner ini, bermimpi membawa manusia pergi pulang ke luar angkasa dengan mudah. Di bawah bendera SpaceX, dikabarkan perusahaannya itu akan membuat landasan di Indonesia. Kelahiran 1971 ini, digadang-gadang bakal menjadikan Indonesia juga sebagai basis produksi mobil listrik.

Sebagai multimiliuner, kelahiran Pretoria, Afrika ini tak dalam sekejap membangun mimpinya. Sedikitnya, ia harus bekerja membantu ibunya yang harus menghidupi pula kedua adiknya. Singkat cerita, kerja kerasnya kini membuahkan hasil memenuhi cita-citanya.

Perihal cita-cita inilah yang membuat, Johan Kona Wiwoho geram betul mendengar anak sulungnya cuma bermimpi menjadi penjual martabak.

“Apa kamu enggak salah, mosok cita-citamu cuma mau jual martabak?” kata nya kepada Gilang Rizky Ruseno, putra sulungnya di suatu siang.

“Memang kenapa Pak? Dagang martabak itu kan bukan pekerjaan hina. Lagipula, Bapak enggak tahu, sekarang ini sudah bukan zamannya anak muda jadi pegawai negeri, zaman sudah berubah Pak!” kata Gilang seraya merebahkan diri di kursi kayu.

“Iya, jualan martabak memang bukan pekerjaan hina, tapi coba dong, kamu pikir, apa bisa nantinya kamu menghidupi anak-istri? Ingat lho, kamu itu Bapak siapkan biar hidup lebih tenang dengan pekerjaan mapan. Sekarang kan apa-apa sudah mahal. Biaya kesehatan dan bayar listrik saja sudah bikin habis duit ini,” tambah Johan.

“Ya salah Bapak juga sih, mosok dulu sekolah ambil jurusan kehutanan. Mana ada hutan sekarang ini? Bapak cuma kebagian sisa kayunya, itu pun sedikit. Lagian Pak, hutan semua sudah punya orang-orang kota. Jangankan Bapak, wong harimau si Raja Rimba saja sekarang sudah tidak punya kuasa terhadap rimbanya. Lagipula, Bapak tahu enggak, sekarang, anak muda buka usaha itu bukan seperti masa lalu yang perlu kerja keras banting tulang dorong gerobak. Jadi pengusaha martabak sekarang, cukup dengan proposal yang bagus, bisa presentasi dan bercuap-cuap, nanti ada pemodal yang mau bayarin proposal itu. Ini bisnis modern Pak!”

“Segampang itu?”

“Iya, gampang. Apalagi kalau kita rajin datang ke pertemuan-pertemuan. Pakai jas, kaos dan celana jeans. Yang terpenting, presentasi harus dibuat menarik. Juga pandai membuat proposal bisnis,” kata Gilang lagi.

“Mosok?” kata Johan mulai melunak.

“Iya bener!”

“Enggak perlu modal gerobak?”

“Enggak!”

“Terus kapan dapat duitnya?” tanya Sang Bapak.

“Kalau sudah ada pemodal yang tertarik pola bisnis yang kita tawarkan,” kata Gilang semangat.

“Setelah ada pemodal, terus kamu mau apa?”

“Ya, baru beli gerobak dan peralatannya, terus jalanin bisnisnya. Kalau sudah berjalan, aku pengin maju jadi kepala daerah,” kata Gilang.

“Jangan ngawur,” kata Johan.

“Lho enggak, sudah ada contohnya kok dan itu berhasil,” kata Sang Anak bersungguh-sungguh.

“Yang mana?”

“Lho, Bapak enggak baca, itu ada anak muda yang awalnya jualan martabak, terus ikutan pilkada, sekarang katanya sudah menang mutlak dan akan jadi Pimpinan wilayah,” tutur Gilang .

“Ahh ngaco kamu, dia kan enggak serius jualan martabak. Lha wong Bapaknya pejabat, ya terang aja punya pengaruh dan modal besar. Jangan mimpi! Bapak mu ini cuma jadi pedagang mebel. Kamu tahu sendiri, usaha mebel sekarang susah. Makanya kalau Pak Lurah minta bantuan Bapak bersihkan gorong-gorong desa, ya Bapak kerjakan. Lumayan, bisa buat tambah-tambah. Bapak berharap kamu bisa lebih baik. Jadi pegawai negeri kek, atau jadi dokter gitu,” tuturnya lagi.

“Itulah pak, yang bikin aku mumet. Makanya, cita-citaku sebenarnya memang tak ingin melulu jadi pedagang martabak. Nah, celakanya, sampai sekarang Bapak belum juga jadi jadi pejabat. Kalau Bapak jadi pejabat, kan bisa atur aku ikutan pilkada biar enggak selamanya jadi pedagang martabak,” sungut Gilang seraya ngeloyor pergi.

“Sontoloyo!” umpat Johan dengan bola mata hampir melompat. http://seribuwajahindonesia.com

 

 

Berita Lainnya