Headline Humaniora

Catatan Atas Hasil Rakernas PDIP, Megawati Vs Jokowi: Permusuhan Abadi



single-image
Megawati Soekarno Putri
INDOWORK.ID, JAKARTA: Setidaknya ada lima hal penting yang tersirat dalam sikap dan pidato Megawati Soekarno Putri pada Rakernas PDIP di Jakarta 24-26 Mei 2024, yang menunjukkan permusuhannya terhadap Jokowi akan berlangsung seumur hidupnya.
Pertama, Megawati tidak mengundang Jokowi hadir. Ini adalah bentuk de facto tidak ada lagi hubungan PDIP dengan Jokowi, meskipun Jokowi masih punya keanggotaan PDIP.
Kedua, PDIP menyatakan pilpres 2024 curang secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM) serta menolak kehadiran Gibran Rakabuming Raka anak Jokowi dalam panggung politik nasional. Penolakan PDIP itu terkait atas keputusan MK No. 90 yang membuat Gibran bisa masuk dalam panggung politik pilpres dianggap melanggar konstitusi kita.
Mega juga marah dengan KPU dan Bawaslu yang tidak menyelenggarakan pemilihan umum secara sungguh-sungguh, yakni jujur, adil, bebas dan rahasia.

BANTENG TERTUSUK PANAH

Ketiga, acara Rakernas PDIP ini diwarnai simbol kemarahan, yakni patung Banteng berdarah tertusuk panah, dan simbol perjuangan nan tak kunjung padam, dengan pembawaan Api Mrapen ratusan KM secara marathon, dari Grobogan, Jateng.
Kemarahan ini tentu saja terkait dengan perasaan dikhianati Jokowi yang merupakan kader mereka sendiri. Namun, simbol api menunjukkan keinginan mereka untuk bangkit dan berjaya.
Keempat, Megawati tersirat sudah menyiapkan tokoh baru sekelas atau lebih tinggi dari Jokowi, ketika belum presiden dulu, yang dielu-elukan. Dalam hal ini seperti Jenderal (purn) Andika Perkasa. Pada penyebutan Andika, Mega menyentil kebanggaan Andika menjadi anggota PDIP dan meminta dia untuk tidak berkhianat maupun marah, kelak, kalau disebut kader partainya.
Kelima, terdapat butir pengusulan kembali Megawati sebagai ketua umum PDIP sampai 2030, dalam 17 poin rekomendasi politik yang dihasilkan rakernas tersebut. Ini berarti partai PDIP telah mengunci isu yang pernah berkembang bahwa Jokowi akan berusaha merebut PDIP nanti suatu saat.
Spekulasi bahwa permusuhan Megawati versus Jokowi yang dicurigai selama ini sebagai drama tentu telah terjawab. Sikap partai dan Megawati dalam rakernas kemarin merupakan situasi resmi yang mengikat seluruh kader partai mereka. Beberapa tokoh tokoh PDIP yang mempunyai kedekatan personal dengan Jokowi harus gigit jari. Keputusan rakernas sepertinya tidak memberikan ruang manuver atau ruang abu-abu bagi Jokowi dan “agennya” di partai tersebut.

SEPERTI JELANGKUNG

Lalu apa dampak sikap Megawati dan PDIP dari rakernas tersebut bagi bangsa kita?
Pertama, pencabutan dukungan secara de facto dari PDIP terhadap Jokowi akan membuat Jokowi seperti “jelangkung”. Ada jiwa, tanpa badan. Pada pencariannya, Golkar maupun PAN berusaha memberikan “badan” pada Jokowi. Namun, secara teoritik tidak gampang menyatukan Jokowi dengan Golkar ataupun PAN.
Di Golkar ada dedengkotnya, Aburizal Bakrie, yang anak dan menantunya pernah di penjara rezim Jokowi untuk perkara yang seharusnya cukup direhabilitasi. Ini mungkin susah memastikan kehadiran Jokowi secara mulus.
Sedangkan di PAN, yang warnanya Muhammadiyah, terlihat sulit menerima Jokowi yang selama ini tdk merepresentasikan Islam. Akhirnya mungkin Jokowi akan menjadi politisi “jelangkung” sampai habis masa kepresidenannya.
Kedua, pernyataan sikap PDIP adanya kecurangan TSM dan tidak menerima Gibran karena keputusan anti konsitusi pada putusan MK 90, menunjukkan posisi PDIP sepanjang pemerintah Prabowo Subianto 2024-2029 di luar kekuasaan.
PDIP hanya meminta kekuasaan Prabowo ke depan untuk adil terhadap partai di luar kekuasaan. Permintaan ini merupakan tanda bahwa selama rezim ini berkuasa telah terjadi diskriminasi terhadap parpol oposisi.
Lebih lanjut, implikasi dari kedua hal dia atas adalah:
Pertama, PDIP menganggap kepemimpinan Prabowo akan bersifat antikonstitusional selama ada Gibran disampingnya. Ini adalah tantangan pada Prabowo untuk bersikap kelak, apakah mempertahankan kehadiran Gibran atau memilih mengakui sikap PDIP tersebut.
Kedua, apakah Prabowo berhenti untuk merayu PDIP ke dalam pangku kekuasaan dia ke depan ataukah Prabowo membentuk suatu komite nasional untuk rekonsiliasi dengan tugas mengevaluasi tuduhan-tuduhan PDIP terjadi kerusakan demokrasi secara parah saat ini.
Ketiga, sikap oposisi PDIP ke depan akan berguna bagi payung politik masyarakat sipil dalam bersikap kritis pada pemerintah Prabowo ke depan. PDIP dan masyarakat sipil (Civil Society) dapat bersinergi mengembalikan demokrasi dan pemerintahan bersih.

PDIP CUCI TANGAN

Sikap PDIP tentu saja dapat dicurigai sebagai “cuci tangan” atas kerusakan demokrasi dan sistem sosial politik belakangan ini. Sebab, PDIP adalah partai penguasa selama 10 tahun ini.
Namun, kita harus pula bisa melihat sejarah, terkadang, melalui satuan waktu tertentu atau episode. Saat ini, dalam episode ini, PDIP telah sejalan dengan perasaan mayoritas rakyat yang merasakan kehancuran Indonesia, baik hancurkan demokrasi, meroketnya hutang, meluasnya rakyat kurang gizi/stunting dan merajalelanya mafia dalam kekuasaan negara.
Kita tetap dan harus mengapresiasi sikap Megawati dan hasil rekomendasi politiknya untuk perbaikan bangsa ke depan. Wa bil khusus permusuhan Megawati terhadap Jokowi.
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri batal mengumumkan sikap politik PDIP terhadap pemerintahan periode 2024-2029 di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di acara penutupan Rakernas V di Beach City International Stadium, Ancol, Jakarta, Minggu (26/5/2024). Padahal, rakyat sudah banyak yg menunggu pengumuman PDIP menyatakan diri oposisi terhadap pemerintahan Pra-Gib.
Megawati malah sibuk melakukan kalkulasi secara politik untuk kepentingan parpolnya, ketimbang segera mengambil sikap membersamai rakyat dengan menjadi partai oposisi. Sikap Mega mengkonfirmasi, PDIP juga pragmatis, setali tiga uang dengan NasDem & PKB yang telah lebih dahulu menyampaikan proposal bergabung dengan kekuasaan Prabowo Gibran. PDIP, hanya mencari modus operandi berbeda dengan NasDem dan PKB untuk merapat ke istana. Jika NasDem & PKB merapat dengan gaya menyanjung, boleh jadi PDIP akan merapat dengan gaya menekan. Baik menyanjung atau menekan, sama saja. Karena pada akhirnya tujuannya sama: “merapat demi mendapatkan jatah kue kekuasaan”.
Sikap parpol ini menegaskan ulang, bahwa teriakan PDIP, PKB & NasDem tentang Pilpres curang hanyalah basa-basi. Karena bagi mereka, tak penting siapa yang menang, tak penting siapa yang curang, yang penting mendapatkan bagian dari kue kekuasaan.
Sementara rakyat, hari ini benar-benar menjadi yatim karena tidak ada satupun parpol yang membersamai rakyat. Rakyat hanya didatangi parpol untuk diambil suaranya dalam Pemilu. Setelah suara itu diambil, rakyat ditinggalkan.
Pada acara deklarasi bersama Advokat, Tokoh, Ulama & Elemen Masyarakat Sipil di Jakarta (18/5), penulis bersama sejumlah advokat dan tokoh nasional, telah mengantisipasi akan kemungkinan rakyat sendirian tanpa pembelaan parpol. Saat itu, kami telah menyinggung kemungkinan PDIP beroposisi tetapi menunggu keputusan rakernas. Ternyata pasca rakernas PDIP justru main-main.

GUE MAININ DULU

Persis seperti yang dikatakan Mega “Gue mainin dulu dong,”. Padahal, nasib rakyat tidak bisa dibuat main-main. Rakyat butuh keputusan tegas dari parpol untuk bersikap oposisi. Bukan playing victim, lantas bermain main dengan kekuasan untuk mendapatkan jatah kue hasil Pilpres.
Walaupun sebelumnya, penulis telah membaca sikap pragmatis parpol saat menyetujui usulan perubahan UU Kementrian Negara untuk tujuan bagi bagi menteri. Saat itu, PDIP dan 8 fraksi lainnya setuju, tanda bahwa semua parpol baik terhimpun dalam koalisi 01, 02 dan 03, sepakat utk berbagi kue kekuasaan n menambah porsi kementerian melalui revisi UU kementerian.
Sikap kritis dan korektif, hanya bisa diharapkan dari elemen masyarakat sipil. Rakyat tak pernah bisa melabuhkan harapan pada parpol, yang kenyataannya sangat pragmatis dan orientasinya hanya kekuasaan. Harapan perubahan melalui pemilu demokrasi, hanyalah mimpi dan ilusi. Demokrasi hanya melanggengkan pragmatisme. Sekulerisme dekorasi, hanya melahirkan politisi culas yang khianat pada amanah rakyat.
Sudah saatnya, rakyat menjauh dari politisi culas dan berjuang untuk perubahan yang hakiki. Perubahan untuk perbaikan negeri ini, yang akan menjadikan negeri ini negeri yang baldatun, toyyibatun, warobbun ghaffur.

Perjuangan yang mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam. Perjuangan yang akan merealisasikan janji Nabi Muhammad Saw. Itulah, perjuangan dengan dakwah untuk menegakkan sistem Islam kembali eksis dimuka bumi. Allahu Akbar!
*) Ditulis oleh Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Berita Lainnya