Headline Humaniora

Renungan Hasan Zein Mahmud: Adakah Kita Seorang Pendekar?



single-image
Hasan Zein Mahmud

INDOWORK.ID, JAKARTA: Dari kitab Im Yang Bu Tek Cing Keng. Konstruksi psikologis seorang pendekar ketika mencapai kulminasi puncak keilmuaannya, tak ubahnya seperti kristalisasi perenungan seorang sufi: Mencapai Thian melalui pengabdian pada kemanusiaan.

Dari kitab Tat Mo Cowsu, terus meditasi pamungkas sang Budha Gautama, hingga kitab suci yang diwahyukan dari langit, memuat di dalamnya moral yang sama. Mulailah mencintai Tuhan dengan mencintai ciptaannya, terutama ciptaan yang bernama manusia. Anda tak akan mampu mencintai Khalik kalau Anda tak mampu mencintai makhluknya.

Ungkapan itu sama sekali tak membutuhkan logika yang rumit. Kekaguman kepada seorang pelukis tentu dimulai dari ketertarikan terhadap lukisannya. Penghormatan terhadap pendekar silat bermula dari pengakuan atas kelihaian jurus-jurus yang diciptakannya.

Bagaimana saya bisa mengatakan Anda sebagai pengagum Monet, misalnya, kalau Anda tidak mengenal, apalagi merusak, lukisan hasil karyanya. Bagaimana Anda bisa menyebut diri sebagai murid setia Pendekar Sakti Lu Kwan Cu, kalau Anda menodai ilmu silatnya dengan jurus-jurus pembunuh dari aliran sesat? Atau memanjakan hasrat sebagai jay hwa cat? Bagaimana Anda bisa disebut beriman kepada Tuhan, kalau hasil karya Anda adalah merusak hasil karya-Nya, hasil ciptaan-Nya? Membuat kerusakan di muka bumi?

TIDAK TULUS

Logika sederhana itu juga menggiring kita kepada kesimpulan bahwa orang yang merasa memiliki mandat untuk melikuidasi kehidupan orang lain, tak soal apakah ia bernama Khalid Sheikh Muhammed, atau Imam Samudra atau George Bush atau Tony Blair, pastilah bukan orang yang secara tulus mencintai Tuhan.

Perang tidak lebih dari pembunuhan yang disahkan dengan argumentasi politis. Bisakah kita memberikan sebutan pendekar kepada seseorang yang berkepandaian tinggi, yang menggunakan ilmunya semata-mata untuk melenyapkan tokoh-tokoh kang ouw, termasuk murid, pengikut dan semua ternak peliharaannya, untuk alasan yang tak jelas, kecuali sikap jumawa?

Dalam dunia persilatan, seorang pendekar bisa digambarkan sebagai seorang yang mampu memberikan cinta tanpa syarat. Unconditional love. Hidupnya cuma punya satu misi: menciptakan nilai tambah yang bisa meningkatkan kesejahteraan dan kedamaian umat manusia.

KEBAHAGIAAN MEMBERI

Kebahagiaannya, terutama berasal dari satu kegiatan: Memberi! Pendekar sejati selalu berguru dari alam sebagai kitab terbuka. Coba lihat ilmu pohon. Ia sediakan, untuk siapa saja: buah yang ranum, batang yang kokoh, keteduhan yang rimbun, kehijauan yang indah nyaman, perlindungan terhadap banjir dan polusi.

Berapa harga yang diminta pohon tersebut atas sevis yang diberikannya? Lalu balasan apa yang Anda berikan kepada matahari yang berjuta tahun menyediakan kehangatan tanpa pernah mengeluh, apalagi mogok?

Saya beranggapan bahwa agama diturunkan untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Agama yang benar adalah seperangkat ajaran yang mampu menyajikan manual kehidupan sempurna, yang apabila diikuti akan tercipta kehidupan yang damai antar sesama. Praktis semua nabi yang diutus Tuhan, adalah pahlawan kemanusiaan, sebelum mendapat mandat dari Pencipta sebagai pemberi peringatan.

Dalam konteks itu, maka kualitas religiusitas seseorang, bagi saya, harus diukur langsung dari sumbangsihnya dalam meninglkatkan kualitas kemanusiaan.

Seorang pendekar, seperti seorang yang beriman, tidak bisa lain kecuali orang yang tulus, yang mampu meruntuhkan seluruh keangkuhan egosentrismenya. Membuang motif riya dan kesombongan dari semua sepak terjang dan amal perbuatannya.

Adakah kita seorang pendekar?

*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id

Berita Lainnya