Headline INFRASTRUKTUR

Peluang Bisnis di Tengah Ketertinggalan Infrastruktur



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Urgensi pembangunan infrastruktur tak perlu diragukan lagi. Aschauer dalam penelitiannya berjudul Is Public Expenditure Productive (1989) menunjukkan bahwa belanja infrastruktur fisik seperti jalan raya, tol, kereta api, bandar udara, saluran, dan pengolahan air merupakan faktor penting untuk meningkatkan produktivitas di Amerika Serikat. Bahkan menurutnya, dampaknya jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh belanja militer terhadap peningkatan output dan produktivitas.

Banyak kalangan termasuk akademisi, peneliti, dunia usaha, dan pengambil kebijakan (policy makers) memusatkan perhatian terhadap pentingnya infrastruktur bagi daya saing suatu negara. Infrastruktur melengkapi sejumlah faktor yang selama ini menjadi faktor input pertumbuhan ekonomi seperti tenaga kerja (labor), modal (capital), teknologi dan tabungan (savings), dan pengetahuan (knowledge).

Hal itu menjadi teramat penting ketika Indonesia tercatat berada di posisi kelima terendah di ASEAN dalam indeks kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EODB) 2020. Meski begitu, posisi Indonesia tetap sama seperti tahun lalu.
Hasil survei Bank Dunia terhadap 190 negara di dunia, menunjukkan Indonesia berada di peringkat 73 dengan mendapatkan skor 69,2. Adapun di ASEAN, hanya tiga negara yang masuk dalam peringkat 25 terbesar untuk kemudahan berbisnis. Negara tersebut adalah Singapura yang berada di peringkat kedua dengan skor 86,2, Malaysia di peringkat 12 dengan skor 81,5, dan Thailand di peringkat 21 dengan skor 80,1.

Indikator yang menjadi catatan Indonesia terdapat salah satunya pada perdagangan lintas barang dengan peringkat 116. Hal ini melambangkan betapa kendala infrastruktur kita masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di Asia. Sebuah data menunjukkan indeks kualitas infrastruktur Indonesia cukup jauh lebih rendah dibanding negara tetangga, Thailand dan Malaysia.


Sumber :

Ketertinggalan Indonesia juga tampak di infrastruktur jalan. Indeks kualitas infrastruktur Indonesia lebih rendah dibanding sesama negara-negara anggota ASEAN. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara berkembang di Asia, indeks kualitas infrastruktur Indonesia juga lebih rendah.

Industri jalan tol Indonesia juga mengalami ketertinggalan tampak jelas dalam hal waktu tempuh. Waktu tempuh jalan tol di Indonesia mencapai 2,6 jam per 100 km. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya 1,1 jam/100 km dan Tiongkok yang cuma 1,2 jam/100 km. Indonesia juga masih kalah dengan Thailand (1,35 jam/100 km) dan Vietnam (2 jam/100 km).

Rasio jalan tol terhadap keseluruhan jalan di Indonesia juga masih rendah dibandingkan negara-negara lain. Sebuah data memperlihatkan rasio jalan tol di Jakarta hanya sebesar 6,26%, sementara rasio kota-kota besar lain di dunia mencapai dua kali lipat lebih dari Jakarta. Sementara itu, Rasio jalan tol di Singapura mencapai 12%, London 21%, dan Tokyo 22%.

Percepatan Pembangunan Infrastruktur

Bank Dunia pada 1994 mengeluarkan laporan berjudul Infrastructure for Development dan sekaligus memperkuat komitmen dan fokus lembaga tersebut dalam memberikan asistensi utamanya kepada negara berkembang dalam pembangunan infrastruktur.

Harus diakui bahwa infrastruktur dasar yang memadai menjadi kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi Indonesia. Ketertinggalan infrastruktur berdampak pada tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat dan rendahnya daya saing nasional.

Namun, di balik ketertinggalan Indonesia di bidang infrastruktur justru memperlihatkan bahwa terdapat peluang besar di Indonesia untuk berinvestasi di bidang tersebut. Kesenjangan infrastruktur Indonesia dibanding negara-negara lain membuka kesempatan bagi semua pihak untuk turut berpartisipasi mengisi ruang ketertinggalan tersebut.

Apalagi pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi kesenjangan Indonesia di bidang infrastruktur. Untuk mengejar ketertinggalan (gap) itu, maka semenjak pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran infrastruktur terus meningkat. Pada 2014, anggaran infrastruktur Rp154,7 triliun mengalami penurunan 0,8% dibanding tahun sebelumnya Rp155,9 triliun.

Namun, pada 2015 anggaran infrastruktur meningkat tajam hingga 65,5% menjadi sebesar Rp256,1 triliun. Angka ini terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2016 anggaran infrastruktur naik menjadi Rp269,1 triliun (tumbuh 5,1%) dan kembali naik menjadi Rp390,2 triliun pada 2017.

Untuk 2018, anggaran infrastruktur tumbuh 5,2% dari outlook 2017 menjadi sebesar Rp410,4 triliun. Anggaran infrastruktur 2018 ini terutama disalurkan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia senilai Rp104,7 triliun, Kemenhub Rp44,2 triliun, Dana Alokasi Khusus Rp33,9 triliun, dan investasi pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) dan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) senilai Rp41,5 triliun.

Salah satu sasaran pemerintah dalam menyediakan anggaran infrastruktur sedemikian besar pada 2018 adalah pembangunan dan preservasi jalan. Rinciannya, pemerintah akan membangun jalan baru sepanjang 832 km, jembatan sepanjang 15.373 meter, dan jalan tol sepanjang 33 km.

Pemerintah berharap pembangunan infrastruktur ini akan dapat mengembangkan konektivitas di seluruh wilayah Indonesia untuk mendukung munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, dibangunnya jalur utama logistik nasional, dan integrasi antarmoda untuk mendorong pengembangan wilayah strategis.

Secara umum upaya pemerintah untuk mencapai sasaran pembangunan nasional di bidang infrastruktur terus meningkat, termasuk dalam hal pembangunan jalan tol. Pada 2014 panjang jalan tol di Indonesia baru sepanjang 807 km. Namun, sejak itu pembangunan jalan tol baru terus dipercepat guna mencapai target jalan tol sepanjang 1.000 km kumulatif selama 5 tahun hingga 2019.

Pada 2015 berhasil dibangun jalan tol baru sepanjang 132 km. Ditambah lagi pada 2016 sepanjang 44 km. Secara kumulatif hingga 2016 panjang jalan tol di Indonesia bertambah hingga sepanjang 983 km. Dengan target pada 2018 pembangunan jalan tol sepanjang 33 km dan percepatan pembangunan jalan tol selanjutnya pada 2019, maka pembangunan jalan tol di Indonesia melampau target kumulatif yang semula ditargetkan 1.000 km selama 5 tahun hingga 2019 menjadi sepanjang 1.807 km pada 2019.

Limit of Growth dan Pembiayaan Infrastruktur

Gencarnya pembangunan infrastruktur saat ini memiliki dua sisi mata uang:
Pertama, benefit pada sektor ekonomi.
Kedua, limit ekspansi−yaitu situasi di mana suatu progress harus berhenti sejenak karena keterbatasan. Perlu dicatat, sektor infrastruktur memiliki limit of growth yang spesifik yaitu kapasitas modal dan sumber pembiayaan perusahaan yang bergerak di industri tersebut.

Bank Dunia mengestimasi kebutuhan pembangunan infrastruktur di negara emerging market mencapai tidak kurang dari US$1,3 triliun tiap tahunnya. Tantangan terbesar infrastruktur adalah aspek pembiayaan dikarenakan pada umumnya nilai investasinya sangat besar, kompleks, berisiko tinggi, berjangka panjang, dan biasanya melibatkan banyak pihak dalam proses pembangunannya.

Bappenas menghitung kebutuhan belanja infrastruktur tidak kurang Rp5.159 triliun untuk pembangunan pada rentang 2014-2019. Dari jumlah tersebut, anggaran APBN hanya mampu menutupi sebesar 40%. Sisanya diharapkan kontribusi dari anggaran dan pembiayaan yang bersumber dari APBD, BUMN dan swasta. Kontribusi pendanaan pembangunan infrastruktur dari korporasi baik BUMN dan swasta diharapkan mencapai tidak kurang 49%.

Oleh karenanya, mencari solusi untuk mengatasi keterbatasan anggaran untuk terhindar dari limit of growth merupakan aspek yang paling strategis bagi perusahaan infrastruktur. Tanpa upaya ini maka dapat dipastikan peluang dan potensi yang sangat besar proyek infrastruktur tidak akan dapat dimaksimalkan oleh suatu perusahaan. (Ditulis oleh Eko Supartono, SST, MSi., Jafung Ahli Madya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)

Berita Lainnya