Headline Oase

Mengenang Warung Pojok, Menikmati Singkong di Filosofi Kopi Tanpa Mafia Pangan



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Gegara faktor subjektivitas, pertemuan ke sekian kali selalu di Kafe Filosofi. Lokasi warung kopi ini menempati pojok Pos Bloc – gedung tua bekas Kantor Pos, Jl. Pos, Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Ikhtiar menggeser tempat kumpul-kumpul ke lokasi lain yaitu gedung legendaris Antara, Jl. Antara, masih dalam kawasan Pasar Baru, eh … bak Si Pungguk merindukan bulan. Maksud hati Wong Cilik mendeklarasikan Jakarta Weltevreden (Jakwel) di sana pada Kamis, 26 Mei 2022, batal.

Memang tidak semua jalan mulus. Tidak pula pucuk dicinta, ulam tiba. Hahaha ..!

SEMANIS PELAYANE

Para pendiri Jakarta Weltevreden

Kafe Filosofi Kopi mirip warung dalam lagu grup tarling di Cirebon, pimpinan H. Abdul Adjib. Berjudul Warung Pojok. Tambah ngetop sejak dilantunkan penyanyi kondang Dewi Yull.

Lirik betutur tentang warung kopi di pojok yang didatangi banyak pelanggan. Sajian kopi dirasakan semanis paras pelayane-(nya). Haiya…

Tak soal. Toh lokasi Kafe Filosofi Kafe masih sesuai dengan semangat melatarbelakangi kelompok individu yang berkehendak agar cagar budaya Weltevreden dijadikan area kepariwisataan bertaraf internasional paca ibukota negara boyong ke Kalimantan Timur.

EKONOMI KREATIF

Suasana ruang dalam Pos Bloc

Bangunan yang kini dinamai Pos Bloc, berdasar Surat Keputusan Mendikbud No SK : 237/M/1999, tanggal 4 Oktober 1999 adalah cagar budaya. Data berbagai sumber menjelaskan, gedung berdiri setelah VOC bangkrut akibat digerogoti korupsi.

Herman Willem Daendels, penguasa baru bergelar gubernur jenderal, memindahkan Ibukota Batavia ke Weltevreden yang semula dikhususkan untuk peristirahatan orang-orang Eropa. Batavia lama selain sumpek, kumuh juga mewabah penyakit.

Daendels mendirikan istana di sekitar Lapangan Kerbau sekarang Lapangan Banteng. Pada tahun 1835 juga membangun gedung bernama Post Telefon en Telegraf, hasil rancangan arsitek J. F. Von Hoytema.

Kondisi bangunan saat berjuluk Gedung Filateli ini, bagai hidup segan mati pun ogah. Pada pertengahan tahun 2021 direvitalisasi. Kini  layak dapat acungan jempol.

TAK ADA MAFIA PANGAN

Penulis berdiri paling kiri

Sebagai lokasi wisata cagar budaya, terbukti mampu mendorong dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi kreatif.

Harga seporsi singkong goreng – sekira 200 gram, tembus Rp 25 ribu. Hampir setara dengan secangkir kopi pahit. Istimewanya tanpa memicu gejolak protes diliputi kecurigaan ada praktek mafia pangan.

Tren yang demikian itu menguntungkan petani – pelaku UKM dari hulu ke hilir. Signifikansinya menggoda ketika tamu yang berdatangan dari luar negeri.

Nah inga-inga ben Wong Ciilik, gue pengen sejahtera!

Aamiin…

Ditulis oleh Toto Irianto, Founder Jakarta Weltevreden

 

 

Berita Lainnya