Bisnis Headline

Mengapa Rupiah Terkulai?



single-image
INDOWORK.ID, JAKARTA: Dalam setahun terakhir nilai tukar rupiah terhadap US$ turun 6,4%, dari Rp15.200 ke Rp16.100 per US$. Ini menjadi topik hangat di media massa dan media sosial.
Mengapa nilai tukar rupiah merosot? Jawabannya ya karena di pasar uang permintaan akan US$ lebih tinggi daripada pasok. Mari kita lihat di mana saja US$ masuk (supply) dan keluar (demand) terjadi?
Pertama, di sektor perdagangan. Tahun 2023, total ekspor tercatat US$258,8 miliar. Sebenarnya angka ini lebih rendah 11,33% dibanding 2022. Sementara impor 2023, sebesar US$217,6 miliar. Artinya, surplus US$41,2 miliar. Ini variabel yang mendorong Rupiah terapresiasi atau menguat.
Tapi persoalannya, tidak semua devisa hasil ekspor masuk ke Indonesia. Pemerintah hanya mewajibkan minimal 30% hasil ekspor SDA (hasil tambang, CPO, karet, dll.) disimpan di Indonesia, minimal tiga bulan. Jadi, banyak eksportir yang memarkir duitnya di luar negeri. Secara umum sektor perdagangan masih positif, meski kinerjanya turun.
Kedua, sektor pariwisata. Tahun 2023 jumlah wisatawan asing yang masuk ke Indonesia sebanyak 11,7 juta orang. Sedangkan WNI yang bepergian ke luar negeri sebanyak 7,5 juta orang. Kalau dilihat dari jumlah orangnya, harusnya surplus.
Tapi ingat, 11,7 juta wisman selama di Indonesia berbelanja dengan rate Indonesia. Sedangkan WNI yang berlibur di luar negeri pengeluarannya dengan rate negara maju.
Kalau mengacu pada living cost, perbandingannya bisa 1:4, WNI yang berlibur di luar negeri membayar 4 kali lebih tinggi dibanding wisman yang berlibur di Indonesia. Di sektor ini, kemungkinan besar defisit. Menekan nilai tukar rupiah.
Ketiga, pembayaran Utang Luar Negeri (ULN). Total ULN per Oktober 2023 sebesar US$392,2 miliar, dengan komposisi 47% utang Pemerintah, 53% utang swasta (swasta dan BUMN). Total cicilan dan bunga ULN pada 2023 sebesar Rp437,5 triliun atau US$29,17 miliar. Tentu ini mendorong demand terhadap US$ di pasar uang domestik.
Sementara di pasar saham dan obligasi, hingga April 2024 ini minat investor asing masih positif. Artinya, trendnya devisa masih masuk.
Keempat, pergerakan tingkat bunga The Fed Fund Rate (FFR) dalam dua tahun terakhir yang cukup hawkish atau cenderung naik. Tercatat pada Juli 2022 berada pada rentang 2,25% – 2,50%, namun pada Desember 2023 sudah melompat ke posisi 5,25% – 5,50%. Ini jelas memaksa the greenback mudik ke Amerika.
Mata uang yang nilai tukarnya terjengkang bukan hanya Rupiah. Tercatat, Rupee India terdepresiasi 8,65%, Ringgit Malaysia 10,16%, Baht Thailand 11,36%. Bahkan mata uang hard currency dunia seperti Yen Jepang, Poundsterling Inggris, Dollar Kanada, dan Franc Swiss pun ikut tertekan.
Kelima, saat ini banyak lembaga investasi raksasa di Amerika, Jepang, dan Eropa, menawarkan produk keuangan yang sangat atraktif, dan tentu menyedot US$ dari mana-mana.
Salah satunya Blackrock yang menawarkan produk baru mereka, The Real World Assets (RWA), yang memungkinkan investor pemegang portofolio ini bisa membeli crypto currency secara optional.

PRODUK ITU DILUNCURKAN

 

BlackRock bersama mitranya, Securitize, perusahaan di bidang tokenisasi aset, proses mengubah kepemilikan aset nyata menjadi aset digital pada blockchain.
Jadi, depresiasi Rupiah yang terjadi saat ini, tidak ada hubungannya dengan dinamika politik dalam beberapa bulan terakhir. Sama sekali berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1997-1998, nilai tukar Rupiah dari Rp2.200 per US$, terjun bebas ke titik terendah Rp18.000 per US$.
*) Ditulis oleh Yus Husni Thamrin, wartawan senior.

Berita Lainnya