Headline INFRASTRUKTUR

Cerita Subsidi Listrik: Kali Ini Tentang Basis Data Terpadu



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Dalam mengkaji dan menganalisis kebijakan subsidi listrik, Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) mengacu pada data kemiskinan sebagaimana ada pada Basis Data Terpadu Program Penangan Fakir Miskin (BDT).

Sekretaris Ekseutif TNP2K Bambang Widianto menjelaskan bahwa Dasar hukum bagi BDT adalah Undang-undang No.13 Tahun 2011 mengenai penangangan fakir miskin. Selain itu Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dan Undang-undang No. 14 Tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi publik.

Menurut bambang, dasar hukum dilengkapi juga dengan Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 mengenai sistem dan transaksi elekronik.

Proses dan metodologi pendataan kemiskinan yang dilakukan untuk BDT-PPFM berbeda dari metodologi pendataan secara agregat (Susenas). Pada Susenas, angka/tingkat kemiskinan didapatkan berdasarkan proporsi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dari total penduduk Indonesia.

Dalam hal ini, tingkat kemiskinan dihitung berdasarkan pendekatan kemampuan warga untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Garis kemiskinan dihitung berdasarkan kebutuhan akan makanan dan bukan makanan. Dari perhitungan ini dapat didefinisikan penduduk sangat miskin (di bawah 0,8xGK) dan hampir miskin (antara 1-1,2xGK).

Bambang Widianto
Bambang Widianto

Bambang Widianto menambahkan bahwa BDT merupakan data mikro tentang kemiskinan yang diperoleh melalui sensus untuk memperoleh data berdasarkan nama dan alamat dari 40% penduduk dengan status kesejahteraan terendah dan bukanlah basis data kemiskinan.

Sebagai contoh, garis kemiskinan pada 2011 adalah 11,9%. Ini berarti seluruh rumah tangga pada desil 1 atau 10% adalah masuk kelompok rumah tangga sangat miskin dan miskin. Sementara itu, sebagian desil 2 atau 20% masuk ke dalam kelompok rumah tangga hampir miskin.

Menurut Bambang Widianto, metode pengumpulan data generasi pertama, BDT-PPFM Tahun 2005, adalah sebagai berikut:

  • Menghimpun informasi tentang keluarga miskin  melalui wawancara dengan kepala desa dan tokoh masyarakat;
  • Melakukan cross-chekterhadap sumber informasi kemiskinan lainnya seperi data BKKBN, data hasil survei kemiskinan yang dilakukan oleh provinsi;
  • Menyusun daftar awal rumah tangga miskin;
  • BPS melakukan survei melalui Pendataan Survei Ekonomi (PSE) 2005 untuk mengumpulkan data karakteristik ekonomi dan sosial terhadap rumah tangga dalam list BPS menggunakan Proxy Means Test(PMT) untuk menentukan eligibilitas;
  • Daftar akhir rumah tangga miskin.

Bambang Widianto mengemukakan bahwa dalam PSE 2005, kriteria rumah tangga miskin meliputi 10 apek sebagai berikut:

  • Luas lantai rumah kurang dari 8m2;
  • Jenis lantai rumah tidak permanen;
  • Jenis tembok rumah tidak permanen;
  • Tidak memiliki sanitasi atau sanitasi bersama;
  • Sumber penerangan rumah tidak menggunakan listrik;
  • Sumber air minum berasal dari sumur/sumber air yang tidak terlindungi/air hujan;
  • Konsumsi daging sapi/susu/ayam sekali seminggu;
  • Konsumsi makanan lebih dari 80% pendapatan;
  • Pendapatan informal kurang dari Rp350.000/bulan;
  • Tidak memiliki tabungan atau barang berharga yang bernilai di atas Rp500.000.

Pada 2011  dilakukan perbaikan metode pengumpulan data PPLS. Tujuannya untuk menurunkan inclusion dan exclusion error. Saat itu, penyusunan daftar awal rumah tangga miskin dilakukan melalui proses sebagai berikut:

  • Pre-list rumah tangga miskin berdasarkan peta kemiskinan yang berasal dari data Sensus Penduduk 2010;
  • Ditambahkan dengan (a) data individual dari program lain; (b) Konsultasi dengan rumah tangga miskin, (c) penyisiran.
  • Daftar awal rumah tangga miskin (menurut survei PPLS 2011).

Selanjutnya, untuk menyempurnakan BDT-PPFM 2005, Kementerian Sosial  mengembangkan BDT-PPFM 2011. Pengembangan BDT-PPFM 2011 dilakukan melalui proses sebagaimana terlihat pada gambar utama berita ini.

 

 

Berita Lainnya