Bisnis Headline Humaniora

Perlu Jalan Kebudayaan untuk Pulihkan Indonesia



single-image
Sulistyowati Irianto

INDOWORK.ID, JAKARTA: Mulyawan Karim girang. Ketua Forum Kajian Antrologi Indonesia (FKAI) tersebut bersyukur karena acara Koentjaraningrat Memorial Lecture XXI/2024 berjalan sukses. Peserta membludak dan waktu terasa kurang. Itulah indikator kesuksesan sebuah acara.

“Terima kasih Pak Muke. Jarang-jarang kuliah membludak seperti ini,” kata Semiarto Aji Purwanto, dekan FISIP UI, di Auditorium Mochtar Riady, FISIP UI Depok.

Aji, begitu panggilan sang dekan, memberikan apresiasi yang tinggi kepada Muke, panggilan Mulyaman Karim yang mantan wartawan Kompas. 

MASA GELAP DEMOKRASI

Semiarto Aji Purwanto

Kuliah umum Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan yang dibawakan oleh Prof. Sulistyawati Irianto, guru besar antropologi hukum Fakultas Hukum UI. Suraya A. Affif, pengajat Departemen Antropologi FISIP UI. Suraya juga Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI).

Sejumlah tokoh nasional hadir mulai dari ekonom Faisal Basri, Rocky Gerung, Bambang Wijayanto, Usman Hamid, sejumlah profesor termasuk dosen dan guru-guru SMA.

Namun Rocky gerung meninggalkan ruangan sebelum acara diskusi dan tanya jawab. “Rupanya saya salah masuk forum,” kata Rocky seraya menyalami Sulis.

Namun ada juga Sekjen PDIP Hasto Kristanto. Namun sahabat Harun Masiku, koruptor yang jadi buronan. Hasto tak banyak bicara dan hanya berani duduk di belakang. Ia tampak minder di tengah para profesor dan intelektual.

Harun Masiku merupakan tersangka kasus penyuapan terhadap Komisioner KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan dan menjadi buronan atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020. Harun melakukan penyuapan agar dirinya menjadi Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP untuk menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal pada Maret 2019.

DIMULAI DARI KPK

Suasana kuliah umum di FISIP UI

Sulis menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya dimulai ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkah melalui revisi Undang-Undang, dan  “uji kebangsaan” yang menyingkirkan banyak andalan staf KPK. Kemudian terdapat berbagai peristiwa politik hukum yang melemahkan demokrasi sampai pada puncaknya  dua tahun  ini.

Di antaranya adalah keluarnya putusan Mahkamah Agung no.23/2024, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi no.90/2023 sebelumnya.

Kedua putusan itu bernuansa nepotisme, penuh kejanggalan, dan putusan MK no 90 bahkan dinyatakan  cacat secara prosedural maupun substansi dalam di-ssenting opinion hakim MK sendiri,  dan melanggar etika oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Putusan pengadilan semacam ini meruntuhkan wibawa lembaga penegakan hukum tertinggi di republik ini dan menghapus berbagai upaya reformasi.

Kemudian dalam masa  lame duck pemerintahan, berbagai rancangan perundangan  yang bersentuhan langsung dengan demokrasi dan hak asasi manusia, sedang dalam proses dirumuskan atau diubah untuk segera disahkan.

KEHILANGAN KARAKTER

Mulyawan Karim, Ketua FKAI

Mengapa kita  kehilangan hasil reformasi 1998, dan kembali menuju masa gelap demokrasi ? Di manakah suara penyeimbang kekuasaan ? Ketika lembaga perwakilan rakyat lebih memilih berdiam diri, di mana kelas menengah, khususnya kaum intelektual? Cuma segelintir kaum intelektual organik  atau yang berani bersuara, di antara lebih banyak yang diam.  Pertanyaan ini sangat relevan untuk diajukan karena Indonesia dirintis, dimerdekakan oleh pendiri bangsa, yang adalah kaum intelektual.

Ketika jalan politik dan hukum saling mengunci satu sama lain, diperlukan jalan kebudayaan sebagai alternatif memulihkan Indonesia.

Kaum intelektual memiliki problematikanya sendiri terkait dengan keberadaannya sebagai insan universitas, dan bagaimana universitas diposisikan oleh negara. Intervensi  negara yang terlalu besar kepada universitas, regulasi berlebihan, dan penafsiran yang salah  tentang otonomi universitas yang esensinya  seharusnya adalah kebebasan akademik, telah menyebabkan akademisi diperlakukan sebagai buruh akademik.  Budaya akademik yang sangat diperlukan bagi kemajuan riset, pengajaran, dan berbagai kegiatan ilmiah, tidak terbangun.

Padahal hari ini tantangan ilmuwan lebih berat, karena harus terbuka terhadap kecenderungan imu pengetahuan dunia yang adalah inter dan transdisiplin. Sangat diperlukan studi yang dapat memberi penjelasan yang mendasar tentang persoalan masyarakat akibat hukum dijadikan sebagai alat rekayasa politik untuk tujuan kekuasaan.

Studi antropologi hukum — yang didorong perkembangannya di masa awal oleh  Profesor Koenjaraningrat besama Prof. Tapi Omas Ihromi– dan studi hukum inter/transdisiplin (Socio-Legal Studies/ Hukum dan Masyarakat); dapat memberikan penjelasan secara lebih  lengkap dan mendasar untuk menunjukkan penaralan hukum yang keliru, dan membangun argumentasi baru.

“Karena besar kemungkinan elit penguasa tidak hanya merekayasa hukum tetapi menyalahgunakan school of thought positivisme hukum  yang memang paling dominan dalam teori dan praktik hukum di Indonesia umumnya,” ujar Sulis.

  BERITA TERKAIT

Berita Lainnya