Bisnis Headline

Mengapa Peluncuran Jakarta Weltevreden di Lapangan Banteng?



single-image
Berdoa saat Peluncuran Jakarta Weltevreden

INDOWORK.ID, JAKARTA: Mengapa peluncuran Jakarta Weltevreden di Lapangan Banteng? Lahyanto Nadie menjawabnya dengan pantun:

Peluncuran Jakarta Weltevreden di Lapangan Banteng

Karena kampung Betawi ini sangatlah bersejarah

Wisatawan mancanegara bawa oleh-oleh ditenteng

Momentum hajatan Jakarta 22 Juni membawa berkah

Ketua Dewan Pengawas Yayasan Kota Jakarta Weltevreden itu memilih Lapangan Banteng bukan hanya memiliki sejarah yang Panjang untuk Jakarta dan Indonesia. “Aye dan babe punya kenangan yang dalem banget di sini,” katanya dengan logan Betawi yang kental.

Ia kemudian bercerita tentang  taman yang instragramable dan patung Monumen Pembebasan Irian Barat. Patung bertubuh kekar yang kini ada di Lapangan Banteng itu dikenal dengan nama Monumen Pembebasan Irian Barat. Patung yang berdiri sejak 17 Agustus 1963 itu menjadi ikon lapangan tersebut.

Bang Lay, begitu panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa manajemen Yayasan Jakarta Weltevreden, dipimpin oleh Toto Irianto yang pernah menjadi Direktur Utama dan Pemimpin Redaksi Pos Kota, koran terbesar pada masanya, sejak tahun 1970-an. Sedangkan sekretaris dijabat oleh Hamzah Ali, pengusaha muda yang bergerak dalam industri teknologi digital, publishing, dan riset.

“Wartawan senior Dimas Supriyanto sebagai bendahara,” katanya, Rabu, 22 Juni 2022.

Toto Irianto yang akrab dipanggil Pak ToIr menjelaskan bahwa visi yayasan yang dipimpinnya adalah Menjadikan Kawasan Jakarta Weltevreden sebagai destinasi wisata bertaraf internasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Jiwa kami terpanggil untuk merawat Jakarta sebagai palang pintu Indonesia agar semakin berkembang menjadi kota berkelas dunia,” ujar pria asal Cirebon itu.

SATU TUJUAN

Para pendiri Jakarta Weltevreden dengan jurus Jalan Enam

Para pendiri Yayasan berasal dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan. Mereka adalah Toto Irianto, Lahyanto Nadie, Hamzah Ali, Dimas Supriyanto, Marthen Selamet Susanto, Firdaus Baderi, Mohammad Fauzy,  Christian Chang,  Arief Soeharto, Endy Subiantoro, Muhammad Ashraf Ali, I Made Karmayoga, dan Victorius Goenawan Wibisono.

ToIr menjelaskan bahwa para tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang itu bersatu karena memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. “Kami tidak dapat memilih lahir di mana dan dari suku apa. Itu sunatullah.”

Namun, bagi ToIR, Jakarta Weltevreden menyatukan keberagaman itu karena memiliki pandangan yang sama untuk kemajuan Jakarta dan Indonesia.

Jakarta Weltevreden belakangan makin menjadi pembicaraan hangat karena banyak perubahan yang menjadi pilihan bagi kaum milenial dan generasi Z untuk berfoto, ngobrol, ngopi, bahkan melakukan penelitian untuk keperluan skripsi, tesis, dan desertasi.

MERINDU BATAVIA

Cendekiawan Yudi Latif mengatakan bahwa kini banyak yang merindukan kenangan akan Batavia.

Yudi adalah aktivis dan cendekiawan muda. Pemikirannya dalam bidang keagamaan dan kenegaraan tersebar di berbagai media. “Segala hal di Batavia,” puji WA van Rees (1881), “lapang, terbuka, dan elegan”. Pada titik ini, kemolekan Jakarta belum beranjak dari gambaran Tomé Pires tiga abad sebelumnya, “sebuah pelabuhan yg indah, salah satu yg terbaik di Jawa”.

Ketika pelabuhan Jayakarta dijadikan pangkalan VOC oleh Jan Pieterszoon Coen dan berganti nama jadi Batavia, 12 Maret 1619, kota ini merupakan benteng terisolasi di tengah belantara. Pada abad 18, hutan di sekitar kota dikonversi jadi sawah dan perkebunan tebu.

Pada 1808, Herman Willem Daendels ditunjuk Pemerintahan Napoleon jadi gubernur jenderal dgn misi, “menjaga Batavia dari serangan Inggris”. Ia tinggalkan Batavia tua di dataran rendah pelabuhan. Ia bangun Batavia baru di dataran lebih tinggi bagian selatan, dinamai Weltevreden (Menteng), artinya ’sungguh memuaskan’. Untuk kenyamanan dan kelancaran birokrasi, kantor pusat pemerintahan dipindah ke Buitenzorg (Bogor), yg lebih ramah thd cita rasa Eropa. Semua ini merupakan usaha mewujudkan Batavia sbg the Queen of the East.

FISIK DAN JIWA

Berawal dari ngopi di Pos Bloc

Pembangunan fisik Batavia dan sekitarnya seiring dengan pembangunan jiwanya. Klub-klub bergaya Eropa, sekolah, lembaga penelitian, jurnal ilmiah, dan media massa tumbuh. Klub eksklusif—Harmonie–berdiri 1815, jadi pusat pergaulan, informasi, dan bacaan. Terinspirasi semangat pencerahan, sekolah dasar Eropa didirikan di Menteng 1817. Kebun Raya Bogor dgn institut2 terkait didirikan 1817, disusul Perhimpunan Ilmu-ilmu Alam Hindia, 1850. Mengantisipasi pertumbuhan Jakarta-Bogor yang kian mekar, sejak 1873 kedua kota itu dihubungkan kereta api pertama di Hindia.

Perkembangan kota memenuhi bayangan Max Weber, “suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional.” Ini dimungkinkan oleh birokrasi pemerintahan yg kapabel. Birokrasi kolonial memang represif, tetapi tetap mengupayakan prinsip rasionalitas birokrasi.

BERJIWA KOSMOPOLITAN

Pendiri Yayasan Jakarta Weltevreden di Filosofi Kopi Pos Bloc

Semua ini membuat Batavia jadi Mooi Indie berjiwa kosmopolitan. Meski harus diakui, di sana ada masalah yang imbasnya masih terwariskan hingga kini. Dalam desain kota kolonial, ada kesenjangan antara sektor komersial padat modal di tangan orang asing dan sektor subsisten padat karya di tangan penduduk lokal.

Yudi juga rajin menulis untuk pencerahan kepada publik melalui media sosial dengan tajuk Makrifat Pagi.

Dimas Supriyanto terkenang ucapan gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) tentang kali di depan kawasan Pasar Baru yang menjadi sentral Jakarta Weltevreden. Semasa jadi Gubernur DK,I Jokowi ingin menjernahkan kali di seberang Kantor Pos Pusat ini untuk ditebar banyak ikan sebagai salahsatu destinasi wisata.

Gagasan itu mandeg. Program sungai bersih tak dilanjutkan penggantinya Basuki Tjahaja Purnama. Ahok sibuk mencegah banjir. Baru di penghujung jabatan Anies Baswedan kini nampak lagi geliatnya. Alhamdulillah Jakarta Weltervreden kini mulai bergeliat

 

 

Berita Lainnya