Bisnis Energi Headline

Celoteh Saham BRMS, Apakah Investor Tidak Menyukai Rencana Ekspansi Besar?



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Sejak rilis tentang rencana penawaran umum terbatas (PUT II), akhir Juni lalu, harga saham BRMS merosot tajam. Dari harga tertinggi tahun ini, Rp132 ke Rp105 pada penutupan perdagangan Jumat, 2 Juli 2021. Harganya anjlok lebih dari 20%.

Hasan Zein Mahmud, Direktur Utama PT Bursa Efek Jakarta yang pertama menumpahkan pendapatnya terhadap BRMS melalui cuitannya (3/7/2021). Saat ini Hasan aktif sebagai investor ritel.

Apakah investor tidak menyukai rencana ekspansi besar? Gamang terhadap lompatan “ambisius” yang ingin dilakukan BRMS?

“Berikut pendapat saya pribadi, sebagai investor, pemegang saham kecil BRMS,” ucap Hasan.

Pertama, kalkulasi BRMS masuk akal. PUT I (right + waran) dua bulan lalu, akan memasukkan Rp 1,6 triliun dana segar ke kas perusahaan. Dana itu, selain melunasi utang kepada perusahaan induk yang menalangi kebutuhan operasi awal di Poboya (PT Citra Palu Mineral, CPM), juga untuk ekspansi penambangan emas dua tahap. Dari 500 ton ore per hari menjadi 4.500 ton pada kuartal 2 tahun 2022, lalu 8.500 ton pada pertengahan 2024.

Lalu, PT Gorontalo Minerals, (GM) harus mencairkan tembaga dan emas di Gorontalo agar bisa menjadi cuan. PUT II altrernatif solusi.

Kedua, “sejujurnya saya lebih senang upaya pendaaan lewat ekuitas ketimbang utang,” kata Hasan. Kalau mau berkaca dari kegagalan mayoritas perusahaan Grup Bakrie, masa lalu, keruntuhan bersumber dari hutang yang eksesif. Hutang gila gilaan untuk membiayai leverage buyouts ekspansi yang tidak prudent.

Bagi Hasan, salah satu daya tarik BRMS adalah sikap yang berhati-hati terhadap hutang. Rela melepas mayoritas di Dairi Prima Mineral (DPM) untuk mengurangi utang. Mengutamakan hasil PUT I untuk melunasi utang, walaupun utang kepada pihak terafiliasi. DER sekitar 18% pada akhir Maret lalu, menunjukkan jelas paradigma berhati-hati BRMS terhadap utang

Ketiga, investor gurem lebih suka sikuens “janji – bukti – janji bukti” ketimbang akumulasi janji saat ini lalu akumulasi bukti belakangan. Artinya, realisasikan dulu janji ekspansi Poboya, baru buat janji baru. Pemegang saham nyaman terlebih dahulu dengan bukti konkriit bahwa dana mereka produktif, sebelum memobilisasi dana baru.

SKENARIO BAGI INVESTOR RITEL

Keempat, Lalu apakah GM akan dibiarkan tidur sedemikian lama? Jawabannya tidak! tentu ada skenario yang jauh lebih nyaman bagai pemegang saham (ritel). Misalnya, private placement langsung ke GM. Tidak perlu lewat BRMS.

Kalau tembaga dan emas (+ perak) di Gorontalo feasible dan ekonomis tentu banyak yang mau masuk. Siapa tahu “si misterius” Emirates Tarian Global juga punya minat. Pilihan ini akan memberikan nilai tambah bagi BRMS, pemegang saham (ritel) tidak perlu merogoh kocek (yang kempes) dan tak perlu khawatir dilusi pemilikan.

Tentu saja BRMS yang akan mengalami dilusi pemilikan pada GM. Sebagaimana kita ketahui BRMS memiliki langsung 96,97% CPM. Memiliki 80% GM melalui anak perusahaan International Minerals Company LLC (yang dimilki BRMS 100%). Memiliki 49% DPM.

Terakhir, Hasan memperkirakan – walau tembaga + emas + perak GM cukup ekonomis -, salah satu keengganan calon investor baru adalah time lag yang panjang antara investasi hingga produksi komersial. Karakteristik yang melekat pada industri tambang.

Komprominya adalah private placement di GM tidak langsung saham, tapi pakai jembatan obligasi konversi. Tetapkan dengan tingkat bunga rendah tapi ratio konversi yang rendah pula. Tentu saja BRMS wajib menggiring GM menjadi perusahaan publik, sebelum jatuh tempo hak konversi.

“Semoga ada eksekutif BRMS yang membaca,” tutup Hasan.

Berita Lainnya