Headline Humaniora 19 September 2025

Presiden Prabowo reposisi, dan mencopot

Presiden Prabowo  reposisi, dan mencopot

INDOWORK.ID, PALEMBANG: Masuknya Jenderal (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam) dalam kabinet terbaru Presiden Prabowo Subianto – hasil dari perombakan (reshuffle) ke-3 Kabinet Merah Putih – menambah daftar panjang jenderal yang dahulu berada di barisan lawan, kini bergabung dalam lingkaran dekat kekuasaan.

Nama Djamari bukan asing dalam sejarah. Ia tercatat sebagai salah satu anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) 1998, bersama Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, Letjen Fachrul Razi, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen Agum Gumelar, Letjen Yusuf Kartanegara, dan Letjen Arie J. Kumaat. DKP-lah yang kala itu memberi rekomendasi pemberhentian terhadap Prabowo dari jabatan militer, di tengah gejolak politik reformasi.

Dulu, 27 tahun lalu – yaitu Agustus 1998 – hubungan itu terjalin dalam nuansa konfrontatif: Prabowo di satu sisi, para jenderal DKP di sisi lain. Berseberangan!

Kini, September 2025 – setelah hampir tiga dekade, mereka berdiri berhadapan dalam tekad mengelola negara bersama sama dari pusat kekuasaan sipil.

Pandangan sinis dengan cepat menyebut ini sebagai “bagi-bagi kekuasaan”. Tetapi ada pula tafsir lain yang lebih konstruktif: konsolidasi elit yang justru menenteramkan negeri. Dari rivalitas menuju akomodasi

Studi politik pascareformasi menekankan bahwa akomodasi elit – meskipun sering dianggap kompromistis – berfungsi vital untuk menghindari konflik politik yang destruktif.

Edward Aspinall, Profesor Ilmu Politik dan Perubahan Sosial di Australian National University, menunjukkan bagaimana demokrasi Indonesia bertahan justru karena kelompok-kelompok yang sebelumnya bermusuhan menemukan ruang berbagi kekuasaan.

Rivalitas yang tak tersalurkan dalam institusi formal bisa memicu fragmentasi, bahkan kekerasan.

Dengan masuknya Djamari Chaniago, bukan hanya persoalan masa lalu yang diakhiri, melainkan juga rivalitas lama yang kini diinstitusionalisasi ke dalam kabinet. Konflik yang dulu diputuskan di meja DKP kini menemukan jalurnya dalam mekanisme pemerintahan sipil. Ini adalah bentuk normalisasi politik, di mana pertarungan elite bergeser dari jalanan dan barak militer ke meja rapat kabinet.

Dalam pada itu, perombakan kabinet terbaru pada Rabu, 17 September 2025 kemarin, lagi lagi – tidak bisa dibaca sebagai “pembersihan orang-orang Jokowi”. Lebih tepat jika disebut sebagai langkah pragmatis Prabowo untuk menjaga stabilitas politik, demi menenangkan pasar, dan menegakkan akuntabilitas.

Tepatnya, Presiden Prabowo mempertahankan orang-orang yang masih dibutuhkan, memindahkan yang perlu reposisi, dan mencopot mereka yang bermasalah.

Pada pelantikan Kabinet Merah Putih, 21 Oktober 2024 lalu, ada 17 nama menteri Jokowi yang dipakai lagi oleh Prabowo. Dari 17 nama itu ditemukan 12 menteri yang menduduki jabatan lamanya. Dari 17 nama itu, hanya dua nama yang tak lagi bersama kini. Menkeu Dr. Sri Mulyani yang mengundurkan diri dan Menkop Budi Arie Setiadi yang digantikan Ferry Yuliantono.

Sedangkan nama nama lainnya, masih bertahan. Lihat saja, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, tetap menakhodai Polri. Padahal, Kapolri lah yang paling mudah diganti – jika ingin ada “pembersihan orang Jokowi” – mengingat sorotan publik atas kinerja polisi selama ini.

Demikian juga dengan Mendagri Tito Karnavian. Nama Tito nyaris tak tersentuh. Ia tetap memainkan peran strategis dalam urusan tata kelola pemerintahan, padahal rekam jejaknya jelas berakar pada era Jokowi.

Begitu pula Raja Juli Antoni, yang kepergok main gaple dengan mantan tersangka pembalak liar, kader PSI yang disebut-sebut sebagai “partai anak Jokowi”. Ia masih bercokol sebagai Menteri Kehutanan.

Erick Thohir juga tidak disingkirkan, melainkan sekadar dipindahkan ke Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pergeseran itu lebih tepat dipahami sebagai ‘rotasi jabatan’ ketimbang ‘pembersihan’.

Daftarnya bisa diperpanjang dengan menyebut Pratikno, Bahlil Lahadalia, Budi Gunadi Sadikin, Andi Amran Sulaiman, Sakti Wahyu Trenggono, dan banyak nama lagi.

NARASI “Prabowo membersihkan kabinet dari orang Jokowi” lebih banyak hidup di angan angan dan ruang wacana oposisi ketimbang dalam kenyataan. Faktanya, Prabowo masih memelihara keberlanjutan (kontinuitas), dan menegaskan otoritasnya memegang kendali penuh kabinet merah putih.

Prabowo lebih menekankan faktor performa, loyalitas, serta akuntabilitas hukum. Sementara mereka yang terseret kasus ditinggalkan. Sedangkan figur yang masih dianggap berguna, dipertahankan.

Jika oposisi berharap melihat “penghapusan total” pengaruh Jokowi dan beralih ke Megawati dalam perombakan kabinet, mereka tampaknya harus kecewa. Tak ada pengganti Budi Gunawan dari “orang Megawati” atau PDIP . Belum juga ada posisi untuk Mahfud MD apalagi Anies Baswedan di kabinet baru .

Fakta di lapangan membuktikan hal sebaliknya: “Orang orang Jokowi” masih aman.


Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *