Headline Humaniora 30 June 2024

Jejak Muhammad Rochjani Soe’oed di Balaraja, Anak Wedana Soe’id

INDOWORK.ID, BALARAJA: Jejak perjalanan hidup Muhammad Rochjani Soe’oed di Balaraja, Tangerang, Banten, dimulai dari sang ayah, Soe’id bin Soe’oed yang menjadi wedana Balaraja pada 1914-1924. Rumah dinas wedana ketika Soe’id memimpin selama 10 tahun, hingga kini masih terawat dengan baik.

Supiyatna, sejarawan asal Balaraja, mengatakan bahwa dari sekian banyak wedana pada zaman penjajahan Belanda, hanya Soe’id bin Soe’id yang fotonya masih tersimpan dengan baik. Namun jejak track recordnya banyak yang belum diketahui oleh masyarakat luas sehingga perlu melakukan penelitian yang lebih mendalam.

WEDANA KEDUA

Soe’id bin Soe’oed, Wedana Balaraja 1914-1924

Menurut Supiyatna, Soe’id adalah wedana yang kedua menjabat pada saat zaman penjajahan Belanda.  Sedangkan yang pertama adalah Jaban Abdul Muhi yang menjabat pada 17 Maret 1881-1907 selama 26 tahun.

Pada periode 1907 sampai dengan 1914 dijabat oleh Mas Martoni selama 7 tahun.

Aceng Maulana, Kepala Sub Bagian Umum Kecamatan Balaraja,  Kabupaten Tangerang, Banten, menjelaskan bahwa bangunan rumah dinas wedana Soe’id yang berusia lebih dari seabad, masih terawat karena menjadi cagar budaya.

Cagar budaya adalah adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya baik di darat atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan agama.

Bangunan rumah dinas wedana Soe’id merupakan bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan. Luas bangunan tersebut sekitar 200 m2 yang terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, ruang makan, dan kamar mandi. “Kini rumah tersebut menjadi ruang tamu jika ada yang berkunjung ke kantor kecamatan,” kata Aceng.

Dalam kondisi sekarang, bangunan yang pernah ditempati oleh wedana Soe’id bin Soe’oed telah dipugar sehingga ada tambahan arsitektur di bagian dalam dan luar. Namun bangunan aslinya tidak diubah. Begitu pun materialnya masih asli sejak dahulu. Misalnya tembok, kusen, pintu, daun jendela semuanya masih asli.

Menurut Aceng, bangunan asli tidak pernah akan diubah karena jika ada penggantian material untuk tembok, kusen, pintu dan daun jendela maka akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan masyarakat setempat.

SAKIT DAN KESURUPAN

Dampak yang terjadi jika hal itu dilanggar maka akan menimbulkan sakit,  kesurupan, dan kemasukan jin atau setan. “Pokoknya kalau posisi kusen dan pintu jendela tidak boleh diganti.”

Kesurupan atau kerasukan adalah keadaan kesadaran yang tidak biasa atau berubah dan perubahan perilaku terkait yang konon disebabkan oleh pengendailan tubuh manusia oleh roh, hati, setan, atau dewa. Konsep kerasukan roh atau entitas gaib dijumpai dalam banyak budaya dan agama, termasuk budha, kristen, vodou Haiti, hindu, islam, wicca, dan kepercayaan tradisional di Asia Tenggara, serta Afrika. Hal itu ergantung pada konteks budaya di mana ia ditemukan, kerasukan dapat berupa sukarela atau tidak sukarela dan dapat dianggap memiliki efek menguntungkan atau merugikan pada individu yang mengalaminya.

Dalam sebuah studi pada tahun 1969 yang didanai oleh National Institute of Health, kepercayaan mengenai kerasukan ditemukan pada 74% dari 488 sampel masyarakat yang mewakili berbagai belahan dunia, masyarakat dengan kepercayaan tertinggi ditemui dalam budaya Pasifik, dan insiden kerasukan terendah ditemui pada penduduk asli Amerika, Amerika Utara dan Amerika Selatan.

ORNAMEN GIGI BALANG

Di bagian luar memang ada penambahan dengan gaya arsitektur Betawi berupa ornamen gigi balang pada lisplang.

Menurut Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, gigi balang yang pada dasarnya berbentuk segitiga terbalik melambangkan gunung yang memiliki dua kaki. Kaki alam, kaki manusia, dan yang di pucuk adalah Tuhan yang Mahakuasa. “Nenek moyang kita memang bukan sembarang berkarya tanpa maksud dan pengajaran di dalamnya. Ragam hias ini menyimbolkan keseimbangan di alam,” kata lulusan Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) tersebut.

Hiasan lisplang berornamen rumah adat di Nusantara sangat erat kaitannya dengan identitas tiap-tiap daerah. Hal berikut merupakan sebuah kearifan masyarakat tradisional dalam mengatasi kondisi alam. Lisplang yang polos akan tampak lebih cepat kotor jika dibandingkan dengan lisplang berukir atau bermotif. Itu juga alasan praktis mengapa lisplang gigi balang ini dibuat dengan motif dan ukiran, bukan polos semata.

MAKAM TOKOH BALARAJA

Berlokasi di seberang jalan bangunan bersejarah rumah wedana Balaraja, terdapat mesjid raya Balaraja yang bernama Al Jihad. Al Jihad berarti berjuang. Nama itu menunjukkan usaha masyarakat sekitar dalam mengubah tempat ibadah yang tadinya kecil menjadi besar. Hal ini tak lepas dari perjuangan masyarakat setempat melawan penjajahan Belanda.

Di halaman depan masjid Al Jihad terdapat makam Pangeran Surya Bajra yang ditetapkan oleh Abuya KH Tohawi Dimyati Romli dan H. Sabrawi Ardi.

Pangeran Surya Bajra (Pangeran Surya Ningrat) adalah putra dari Pangeran Yuda Negara, yang merupakan anak dari Sultan Maulana Hasanuddin (Banten). Seperti diketahui Sultan Hasanuddin adalah putra dari Raden Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon).

SEJARAH BALARAJA

Tak sempurna rasanya kalau berbicara perjalanan hidup Rochjani di Balaraja tanpa menceritakan sejarah kota tersebut.

Balaraja memiliki arti Bala dan Raja atau bisa diartikan Tempat Istirahat (Bale) Raja. Ada juga yang mengartikan bahwa Balaraja adalah pasukan Raja dari suku Banten. Kecamatan Balaraja setelah dipecahkan menghasilkan dua kecamatan hasil pemekaran, yaitu Sukamulya dan Jayanti.

Jadi, Balaraja dapat diartikan sebagai tempat para raja untuk bersinggah atau beristirahat. Bukan tanpa alasan wilayah tersebut dijuluki tempat persinggahan raja. Dahulu kala Balaraja menjadi tempat para Raja Banten beristirahat seusai perang atau bersinggah saat dalam perjalanan. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya tempat pemandian Talagasari di mana tempat itu kini menjadi nama sebuah desa.

Tak hanya menjadi tempat persinggahan para Raja Banten, Bukitraja juga konon menjadi tempat peristirahatan para raja Nusantara. Mereka beristirahat di sebuah kampung bernama Kampung Sentiong. Sejarah mencatat raja-raja yang pernah singgah di Balaraja antara lain Raja Brawijaya dari Majapahit dan Sultan Agung dari Mataram.

Selain tempat persinggahan para raja, terdapat versi lain yang menjadi asal usul nama Balaraja. Versi ini ada kaitannya dari kisah seorang pendekar wanita asal Banten yang bernama Nyi Mas Gamparan yang melawan penjajah Belanda. Dalam rangkaian penolakan kebijakan cultuurstelsel, Nyi Mas Gamparan bersama pasukannya melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Pemberontakan tersebut berujung pecahnya Perang Cikande. Dengan taktik gerilya yang diterapkannya, dia bersama pasukannya menjadikan wilayah Balaraja sebagai tempat persembunyian. Dari kisah itulah konon nama Balaraja tercipta.

Versi lain menyatakan nama Balaraja memiliki arti tempat berkumpulnya bala tentara raja. Kisah dalam sejarah ini diperkuat dengan adanya bukti makam para pejuang Banten yang tersebar di wilayah Balaraja.

BALARAJA MASA KINI

Penulis dan Aceng di rumah dinas Wedana Balaraja Soe’id bin Soe’oed

Willy Patria, Camat Balaraja, mengatakan bahwa pembentukan kecamatan yang dipimpinnya pada 12 Maret 2000 dengan dasar hukum keputusan gubernur Banten. Luas wilayahnya lebih dari 3.500 hektare dan berbatasan dengan Sindang Jaya dan Sukamulya di sebelah utara.

Sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Cikosa dan Tigaraksa, sebelah barat dengan Sukamulya dan Jayanti. Sebelah timur berbatasan dengan Cikupa dan Tigaraksa.

Pada 12 Juni 2024 Balaraja memperingati ulang tahun ke-143 dengan menggelar doa bersama, pentas seni dan budaya. Syukuran ulang tahun seyogianya digelar pada Maret namun karena hajat nasional Pemilu 2024 dilaksanakan pada Juni.

Slamet Riyadi, Kepala Sub Bagian Pemerintahan Kecamatan Balaraja mengatakan bahwa jumlah penduduknya mencapai 125.188 jiwa dan jumlah kepala keluarga 41.004. “Usia produktif yaitu 15-65 tahun mencapai 77.272 orang atau 60% lebih,” kata Slamet, pria asal Klaten, Jawa Tengah, tersebut.

PATUNG BALARAJA

Penulis bersama Hamzah Ali, peneliti Universitas Negeri Jakarta

Jejak kehidupan wedana Soe’id di Balaraja bukan hanya cerita dari pejabat pemerintahan maupun masyarakat setempat. Harumnya nama Soe’id di kalangan akademisi juga merebak. Hamdani, dosen di Universitas Muhammadiyah Tangerang dan Komaruzaman, dosen yang juga bergelar doktor, kerap mendiskusikan nama pejabat zaman Belanda tersebut.

Humaidi Zahruddin, cucu dari ulama kondang dari Betawi Guru Muhammad Nadjihun, sejarawan Unversitas Negeri Jakarta (UNJ), mengatakan bahwa jejak kehidupan Rochjani Soe’oed memang diawali dari kisah Wedana Soe’id bin Soe’oed di Balaraja, sebelum Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda.

*) Ditulis oleh Lahyanto Nadie, redaktur khusus Indowork.id

 


Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *