Figur Headline Humaniora 23 July 2025

Mengenang Atmakusumah Asraatmadja: Antara Koran, Radio, dan Buku

INDOWORK.ID, JAKARTA: Orang yang bersinggungan dengan dunia pers tentu mengenal Atmakusumah Asraatmaja. Saya beruntung setelah bergabung dengan Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS), pada awal 2018, lebih dalam mengenalnya. Tentu saja saya banyak berinteraksi dengan tokoh pers legendaris ini.

Bagi saya Pak Atma orang yang lurus, lugas, jujur, dan tegas tapi juga amat lucu. Saya banyak belajar mengenai pers dan media darinya, dari ngobrol, berdiskusi, hingga mendapatkan ilmu baru ketika ia memberikan ceramah.

Pada awalnya saya hanya tahu bahwa Pak Atma sosok besar dalam sejarah pers Indonesia. Kariernya diawali sebagai wartawan harian Indonesia Raya yang dua kali dibreidel di masa Orla dan Orba di bawah kepemimpinan Mochtar Lubis. Pria kelahiran 20 Oktober 1938 ini juga Ketua Dewan Pers pertama Indonesia.

Namun dalam tujuh tahun terakhir kami makin akrab.  Banyak kenangan manis bersama Pak Atma di LPDS di mana ia pernah menjadi direktur eksekutif. Kenangan paling berkesan antara murid dan guru adalah pembelajaran yang tiada henti. Begitulah yang saya rasakan sebagai murid Pak Atma yang wafat pada 2 Januari 2025.

Masih terngiang di telinga hingga kini setiap kata yang dilontarkannya: teruslah belajar karena belajar itu memerdekakan. Belajar memang tidak harus selalu di kelas. Pembelajaran yang saya dapatkan dari Pak Atma adalah ketika ngobrol di sela-sela rapat LPDS, acara peringatan ulang tahun, ketika tampil sebagai pembicara, ataupun saat khusus mewawancarinya.

BUKU, KORAN, DAN RADIO

Sedikitnya tiga topik bahasan yang sering kami diskusikan setiap kali berjumpa yaitu koran, radio, dan buku. Berbicara koran soal koran, tentu saya lebih banyak sebagai pendengar karena ia telah menjadi wartawan muda dimulai setamat sekolah menengah atas pada usia 19 tahun di harian Indonesia Raya pada 1957. Saya pun memulai karir jurnalistik pada usia yang sama pada 1983 di harian Pos Kota.

Bercerita soal koran harian Indonesia Raya, karir Pak Atma sangat pendek karena setahun kemudian koran ini dibredel oleh pemerintahan Sukarno. Pemuda itu pun kehilangan pekerjaan sehingga ia sempat berkuliah, bepindah-pindah kerja karena merasa tidak aman di bawah pengawasan sensor militer. Atma muda akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Ia kemudian bekerja di Australia dan Jerman.

Setelah pergantian rezim pada 1968, Pemimpin Redaksi Mochtar Lubis mengajaknya menerbitkan kembali harian Indonesia Raya. Karirnya di koran ini cepat berkembang hingga menjadi redaktur pelaksana. Namun pada 1974, harian ini kembali dibredel. Kali ini oleh pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto karena pemberitaan peristiwa Malari.

Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi pada 15–16 Januari 1974. Para mahasiswa melakukan demonstrasi memprotes korupsi, harga-harga yang tinggi, dan ketidaksetaraan investasi asing.

Pada 1985, saya bergabung dengan Bisnis Indonesia. Di koran inilah kami berjumpa. Bukan tatap muka, tetapi tulisan Pak Atma dimuat di harian ekonomi tersebut untuk edisi Minggu.

Topik lainnya adalah tentang dunia siar yaitu radio. Maklum kami sama-sama pernah berkarir di radio. Pak Atmakusumah turut meluangkan waktu untuk menjadi penyiar Radio Australia (ABC) di Melbourne, Australia, dan Deutsche Welle, radio Jerman di Koeln, Jerman. Sementara saya menjadi penyiar radio Trijaya FM pada 1993-2002 dan beberapa radio lainya seperti Bens Radio FM Jakarta, dan Star Jogja FM, serta Solopos FM di Solo.

Jika ngobrol tentang penyiar radio kami pun mengenang masa-masa lalu hingga tertawa girang.

Obrolan yang paling asyik adalah tentang buku. Maklum, kami sama-sama penulis buku. Pak Atma berpesan kepada saya untuk terus menulis buku. Hal itu ia sampaikan ketika saya memberikan hadiah kepadanya buku karya saya yang berjudul Media Massa dan Pasar Modal yang terbit perdana pada 29 Oktober 2018.

Buku ini merupakan yang pertama setelah saya pensiun dini dari Bisnis Indonesia Group. Saya melaporkan bahwa sembilan bulan setelah pensiun dini tersebut, saya telah menulis sedikitnya lima buku. “Wah itu luar biasa,” katanya.

Saya memberikan buku itu setelah membaca Meliput Perubahan Iklim yang disusun oleh Warief Dajanto Basorie di mana Pak Atma adalah sebagai penyuntingnya. Buku lain yang diterbitkan oleh LPDS dan disunting oleh Pak Atma adalah LPDS 33 Tahun Mengabdi dan Bukan Demagog Pers Merawat Kepercayaan Publik. Kedua buku itulah yang disunting terakhir sebelum ia wafat pada 2 Januari 2025. Kita semua tahu puluhan buku telah ditulis dan disunting oleh pria bersuara bariton ini.

Ia lalu menyebut nama sejumlah wartawan yang rajin menulis buku. Buku adalah mahkota wartawan, kata ungkapan klasik. Pesan itu saya amalkan. Hingga kini (Januari 2025) telah 31 buku telah kami terbitkan.

Namun tidak banyak wartawan yang bisa menulis buku. Ini memang bukan perkara mudah. Banyak teman wartawan yang terlalu sibuk dalam karier jurnalistik sampai akhir dan hayat lupa menulis buku.

ULANG TAHUN LPDS

Bambang Harymurti bersama tim LPDS

Setiap ulang tahun LPDS Pak Atma pasti datang. Maklum ia pernah menjadi direktur eksekutif lembaga pendidikan pers profesional itu. Layaknya sebagai lembaga pendidikan, LPDS biasanya menggelar diskusi, seminar maupun workshop dalam acara ulang tahunnya.

Sejak saya bergabung pada 2018, setiap 23 Juli Pak Atma tampil sebagai pembicara. Ia memberikan pidato ilmiah tentang pers. Ketika HUT ke-35 pada 2023, siniar LPDS Circle menampilkan wawancara saya dengan Pak Atma sebelum acara dimulai. “Wah podcast-nya bagus, kereen,” kata Bambang Harymurti, Ketua Dewan Pengawas LPDS. BHM, panggilan akrab Bambang Harymurti menilai segala pemikiran Pak Atma adalah tentang jurnalime mulai dari kebebasan pers hingga kode etik jurnalistik.

Namun ulang HUT ke-36 pada 23 Juli 2024, Pak Atma tak hadir karena kesehatannya telah terganggu. Ia banyak lupa terhadap rekan-rekan seperjuangannya. Ingat wajah, lupa nama. Ingat nama, namun lupa yang mana orangnya.

SINIAR EDISI PERDANA

Tentang LPDS Circle, yang ditangani oleh Zaenal Aripin, kami sengaja memilih Pak Atma untuk edisi perdana. Kami datang ke rumahnya di Komplek Wartawan di bilangan Cipinang, Jakarta Timur.

Saya bersama Aloysius Arena Ariwibowo, Lestantya Ravisavitra Baskoro, dan tentu saja Zenal Aripin menyiapkan produk perdana tersebut. Sebagai produser, Zaenal mempersiapkan semua pertanyaan untuk  Pak Atma. Namun pendengaran Pak Atma agak terganggu sehingga, sebagai presenter, saya harus berbicara lebih keras.

Selanjutnya sejumlah tokoh pers nasional ditampilkan pada siniar ini hampir setiap bulan.

Siniar atau podsiar (podcast), atau siaran web tanalir (non-streaming webcast) adalah serangkaian berkas media digital (baik audio maupun video) yang diterbitkan kapan saja dan dapat diunduh melalui sindikasi web.

Jika kami ngobrol di rumahnya, banyak topik yang dibicarakan. Bukan hanya persoalan jurnalisme, melainkanjuga masalah pribadi, kehidupan rumah tangga, serta cerita tentang nostalgia. Biasanya rekan-rekan LPDS membawa makanan masing-masing dan kami menikmati bersama di rumahnya yang asri.

“Saya cuma redaktur ketika mengajukan rumah ini sehingga hanya dapat tanah 200 persegi,” katanya. Ia membandingkan rumahnya dengan milik rekan-rekannya yang menjadi pemimpin redaksi. Mereka mendapat posisi yang lebih strategis di jalan utama dengan luas mencapai 500 meter persegi.

Kini Pak Atma telah berpulang. Kita mengenang bahwa almarhum adalah salah satu sosok yang sangat gigih menyusun konsep kemerdekaan pers Indonesia melalui revisi total UU Pers.

Mengenang Pak Atmakusumah Asraatmadja

Penghargaan Ramon Magsaysay didapatkan

Wartawan pejuang memiliki semangat baja

Jasanya bagi kemerdekaan pers tak terlupakan

 

*) Ditulis oleh Lahyanto Nadie, Penguji Kompetensi Wartawan di LPDS


Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *