logo logo

The next generation blog, news and magazine theme to start sharing your stories today! This WordPress based theme is perfect for all types of news websites.

Humaniora

Wahai Penulis Ulang Sejarah Nasional, Hati-hatilah

Share on:
INDOWORK.ID, JAKARTA:  “Satu-satunya yang bisa kita banggakan sebagai manusia adalah sejarah kita. Kalau itu dihapus, kita seperti tidak pernah ada,” kata sastrawan dan penelusur sejarah Pramoedya Ananta Toer.
Selain dikenal sebagai sastrawan terkemuka, utamanya “Tetralogi Buru”, Pram adalah penelusur sejarah yang mencerminkan pandangan politik, sosial, sejarah, dan kebudayaannya.
Karya-karya non-fiksinya berbentuk esai, biografi, kritik, dan dokumentasi sejarah; Hoakiau di Indonesia (1960), Panggil Aku Kartini Saja (1962), Sang Pemula (1985), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (1999), dan Jalan Raya Pos Jalan Daendels (2005), dll.
Pramoedya bukan sekadar menulis pelengkap karya fiksi. Ia menulis sejarah alternatif, membela kaum tertindas, dan menentang distorsi kekuasaan.
Dengan kata lain, non-fiksi Pram adalah senjata melawan amnesia sejarah dan kebungkaman budaya.
Kini – konstroversi terkait penulis sejarah tengah menyeruak setelah muncul gagasan dan pengerjaan sejarah versi baru – Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia – yang digagas Menteri Kebudayaan RI Fadly Zon.
Masalahnya bukan pada tim penulis yang terdiri dari 113 sejarawan yang direkrut dari berbagai perguruan tinggi, dan anggaran Rp9 miliar – melainkan pada sosok Fadly Zon sendiri sebagai pelaku sejarah yang dekat dengan pihak rezim yang pernah menghapus sejarah.
Di gedung DPR RI, Fadli Zon menawarkan 11 jilid buku sejarah, meliputi;
1. Sejarah Awal Nusantara
2. Nusantara dalam Jaringan Global: India dan Cina,
3. Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah,
4. Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi,
5. Respons Terhadap Penjajahan,
6. Pergerakan Kebangsaan,
7. Perang Kemerdekaan Indonesia,
8. Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi,
9. Orde Baru (1967-1998)
10. Era Reformasi (1999-2024),
Jilid 11: Masih belum dijelaskan secara rinci, namun kemungkinan akan membahas perkembangan terkini dan tantangan masa depan Indonesia.
Sebenarnya gagasan penulisan ulang sejarah layak disambut baik. Terutama untuk menghapus bias kolonial yang masih melekat pada narasi sejarah saat ini. Bahwa kita tidak dijajah selama 350 tahun. Juga penting memahami awal peradaban Nusantara, hingga reformasi.

ERA REFORMASI

Selain itu, belum ada pemutakhiran terhadap sejarah pada era setelah reformasi. “Terakhir ditulis di akhir era reformasi,” kata Fadli Zon di Raker Komisi X DPR RI, Senin 26 Mei 2025. Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terakhir ditulis ada di jilid 6. Sehingga perlu ada revisi dan pemutakhiran.

KEDEKATANNYA dengan Soeharto di masa lalu – patut diduga – akan mengubah isi penulisan sejarah yang sedang diperbaharui. Topik paling kontroversial adalah penolakan pengakuan adanya tindak perkosaan massal dalam kerusuhan 1998. Fakta adanya perkosaan dihilangkan, meski temuan begitu banyak korbannya, dengan kengerian yang tak terperikan bagi korban dan keluarganya.
Fadly Zon akhirnya kembali pada adagium lama, “Sejarah ditulis oleh pemenang.”
Kita sama sama tahu, bahwa Rezim Orde Baru (1966–1998) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto secara sistematis menghapus, memanipulasi, dan memonopoli sejarah – untuk membenarkan kekuasaan, menyingkirkan lawan politik, dan menciptakan legitimasi ideologis.
Rezim Orde Baru secara sistematis menghapus atau mendistorsi sejarah tokoh-tokoh yang dianggap “kiri” atau berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk mereka yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan, terutama sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945.
Peran militer dalam mempertahankan kemerdekaan dibesar-besarkan. Padahal proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan dilakukan atas desakan para pemuda kiri.
Tokoh progresif, kiri, atau pemikir independen dihapus, demi menampilkan sejarah yang “aman” bagi Orba.
Stigma terhadap “kiri” masih kuat di masyarakat karena warisan indoktrinasi Orde Baru (misalnya lewat film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI), meski dari tokoh-tokoh ini kini mulai diakui kembali melalui riset sejarah alternatif, film dokumenter, dan gerakan akademis pasca-Reformasi.
Apakah Penulisan Ulang Sejarah Nasional Indonesia akan memberikan keadilan kepada Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Iwa Kusumasumantri, Chairul Saleh, Wikana, Sukarni, dll?
Fakta sejarah lain Soeharto mengambil alih kekuasaan secara bertahap, bukan langsung atas mandat rakyat – melalui Supersemar di mana keberadaan lembar Supersemar yang asli masih misterius hingga kini.
Sejarah versi Orde Baru juga menghilangkan peran Sukarno dalam perjuangan kemerdekaan dan diplomasi internasional.
Pemikiran Sukarno tentang anti-imperialisme, nasionalisme, dan demokrasi terpimpin dibungkam atau dituduh sebagai jalan menuju komunisme.
Dalam Sejarah Gerakan 30 September (G30S) menurut versi Orde Baru G30S adalah kudeta PKI yang brutal, kejam, dan ingin mengganti ideologi negara dengan menghilangkan keterlibatan unsur militer (khususnya TNI AD) yang diduga tahu tapi membiarkan atau bahkan terlibat.
Tragedi G30 S disusul dengan pembantaian massal dengan korban ratusan ribu dipenjara tanpa pengadilan dan jutaan orang dibantai, tanpa proses hukum. Juga keterlibatan militer, sipil, dan organisasi pemuda dalam kekerasan sistemik itu.
Tak berhenti di situ, mereka yang tersisa dan masih hidup mendapatkan diskriminasi bersama keluarganya dengan cap “tidak bersih lingkungan” selama puluhan tahun.
Orde Baru juga menghapus peran gerakan kiri dan Organisasi Massa Progresif dalam proses menuju proklamasi RI . Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat (PR), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) hanya digolongkan sebagai “organisasi underbouw PKI”.
Gerwani dinarasikan sepihak sebagai simbol kebiadaban dalam propaganda G30S meski tak ada bukti mereka terlibat dalam penyiksaan jenderal. Padahal Gerwani memiliki kegiatan sosial dan budaya yang sah sebelum 1965, membangkitkan kesadaran hak perempuan – berjuang nyata menghapus generasi buta huruf.
Penghapusan sejarah ini bukan hanya manipulasi informasi, tapi juga alat kekuasaan. Melalui buku pelajaran, film (seperti Pengkhianatan G30S/PKI), media massa, dan pelarangan wacana alternatif, Orde Baru menciptakan sebuah memori kolektif palsu yang bertahan hingga kini.
Maka dipertanyakan : khususnya pada pengerjaan buku 9. Orde Baru (1967-1998) 10. Era Reformasi (1999-2024).
Bahkan juga pada penulisan sejarah yang sedianya di bahas di buku 6, meliputi Pergerakan Kebangsaan, 7. Perang Kemerdekaan Indonesia, 8. Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi.
Apakah bisa ditulis obyektif? Berimbang. Lengkap? Faktual? Tidak menghapus sejarah yang kelam terkait kekuasaan yang sekarang?
Dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang pernah menjadi korban pengucilan, pemenjaraan dan pembuangan tanpa proses hukum dan pengadilan, kita belajar bahwa meski kebenaran bisa ditindas oleh kekuasaan pada satu masa, namun sejarah tak bisa dibohongi selamanya.
Ketidakadilan, kebohongan, dan kezaliman rezim pada akhirnya akan dibongkar dan diadili oleh sejarah melalui pemahaman publik, karya-karya sastra, dokumen, dan refleksi sosial-budaya di masa depan. ***
*) Ditulis oleh Dimas Supriyanto, Wartawan Senior.

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *