Humaniora

Megalomania di Kalangan Aktivis: Ketika Perjuangan Berubah Menjadi Obsesi Pribadi



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehadiran aktivis sangat diperlukan sebagai penyeimbang opini dan penjaga nalar sehat masyarakat. Aktivis berperan sebagai pengawas kebijakan, kritikus terhadap penyalahgunaan kekuasaan, serta pengingat bahwa pemerintah harus bekerja untuk kepentingan rakyat. Tanpa keberadaan mereka, ruang publik bisa dikuasai oleh satu kelompok kepentingan yang cenderung mengabaikan keadilan dan demokrasi.

Namun, dalam perjalanannya, tidak semua aktivis tetap berada pada jalur perjuangan yang murni. Beberapa di antara mereka terpapar megalomania, yakni obsesi berlebihan terhadap kekuasaan dan keyakinan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Mereka mulai membangun narasi bahwa mereka adalah pusat kebenaran, bahkan jika itu berarti menyesatkan opini publik demi keuntungan pribadi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah aktivisme masih dijalankan atas dasar idealisme, atau sudah berubah menjadi ambisi pribadi yang membutakan?

Peran Aktivis sebagai Kritikus dan Penjaga Moral
Aktivis sejati berperan sebagai suara kritis yang mengawal jalannya pemerintahan dan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak merugikan rakyat. Mereka berani menantang kekuasaan, mengungkap ketidakadilan, dan menjaga agar demokrasi tetap berjalan sesuai prinsipnya. Peran ini sangat penting, terutama di negara-negara yang sistem politiknya masih rentan terhadap penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, aktivis juga menjadi penjaga moral yang memastikan bahwa negara tidak sepenuhnya dikuasai oleh kelompok tertentu yang hanya mementingkan kepentingan sendiri. Dengan keberanian dan integritasnya, mereka mendorong transparansi, akuntabilitas, serta pemerintahan yang lebih baik. Tanpa aktivis, banyak kebijakan yang mungkin lolos tanpa kritik, dan masyarakat kehilangan salah satu mekanisme kontrol terhadap penguasa.

Ketika Aktivis Terpapar Megalomania
Sayangnya, dalam beberapa kasus, ada aktivis yang mengalami perubahan orientasi. Mereka tidak lagi berjuang untuk kepentingan bersama, tetapi mulai membesarkan diri sendiri dengan berbagai cara. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah playing victim, yakni mencitrakan diri sebagai korban kezaliman kekuasaan. Mereka mengklaim mengalami tekanan, intimidasi, atau bahkan pencopotan dari jabatan tertentu karena sikap kritis mereka.

Dalam praktiknya, strategi ini bisa sangat efektif dalam membangun simpati publik. Masyarakat yang melihat aktivis ini sebagai pahlawan yang dizalimi cenderung memberikan dukungan tanpa mempertanyakan apakah klaim tersebut benar adanya. Padahal, dalam beberapa kasus, pengakuan semacam itu hanyalah bentuk manipulasi untuk menguatkan posisi mereka di mata publik.

Manipulasi Kebenaran untuk Memaksakan Agenda Pribadi
Ketika seseorang sudah terpapar megalomania, ia cenderung kehilangan akal sehat dan menghalalkan segala cara untuk membenarkan agendanya sendiri. Kebenaran menjadi sesuatu yang bisa dikonstruksi sesuai kepentingan, bukan lagi sesuatu yang harus dipegang teguh. Demi mempertahankan citra sebagai pejuang, mereka tidak segan untuk memutarbalikkan fakta, mengabaikan aturan yang ada, atau bahkan menyembunyikan informasi yang tidak menguntungkan bagi dirinya.

Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah pengakuan seorang aktivis kampus yang mengklaim dirinya dicopot dari jabatan karena sikap kritisnya terhadap penguasa, baik di kampus maupun di pemerintahan. Ia membangun narasi bahwa dirinya adalah korban pembungkaman, padahal jika ditelusuri lebih jauh, ada banyak fakta yang sengaja ia sembunyikan.

Faktanya, aktivis tersebut sebelumnya telah meminta jabatan dan bahkan berusaha memanfaatkan relasinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, termasuk kesempatan studi lanjut ke jenjang S3. Ia juga berpura-pura tidak mengetahui aturan terkait pergantian jabatan yang terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan status kampus dari BLU (Badan Layanan Umum) ke PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Padahal, ia sebenarnya telah diajak berdiskusi oleh dekan mengenai perubahan tersebut.

Dengan kata lain, ia memilih untuk mengabaikan fakta demi membangun narasi bahwa dirinya adalah korban, bukan karena alasan yang benar, tetapi karena ingin mempertahankan citra dirinya sebagai tokoh yang dizalimi. Manipulasi ini menunjukkan bagaimana megalomania dapat mengaburkan kebenaran dan membuat seseorang lebih mementingkan pencitraan dibandingkan kejujuran.

Dampak Buruk terhadap Gerakan Aktivisme
Fenomena megalomania dalam aktivisme tidak hanya merugikan individu yang terjebak di dalamnya, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap aktivis secara keseluruhan. Masyarakat yang mulai menyadari adanya manipulasi semacam ini akan lebih sulit mempercayai gerakan aktivisme yang sebenarnya masih memiliki banyak pejuang yang jujur dan idealis.

Ketika aktivisme lebih banyak diwarnai oleh kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama, maka perjuangan yang sejati menjadi kabur. Kritik yang awalnya bertujuan untuk memperbaiki keadaan berubah menjadi alat untuk mendongkrak nama pribadi. Akibatnya, masyarakat menjadi skeptis terhadap kritik yang dilontarkan aktivis, bahkan ketika kritik tersebut sebenarnya valid.

Lebih jauh, ketika aktivis menghalalkan segala cara untuk mempertahankan agendanya, mereka tidak lagi berbeda dengan para penguasa yang mereka kritik. Bukankah mengaburkan fakta, memanipulasi informasi, dan membangun citra palsu adalah tindakan yang sama dengan apa yang mereka lawan? Jika aktivis yang seharusnya menjadi pengawal moral justru melakukan hal yang sama dengan penguasa yang mereka kritik, maka siapa lagi yang bisa dipercaya?

Menjaga Kemurnian Aktivisme: Kembali pada Kejujuran dan Integritas
Agar aktivisme tetap menjadi gerakan yang memiliki nilai dan kredibilitas, para aktivis harus menjaga kejujuran dan integritas dalam perjuangan mereka. Kritik yang mereka sampaikan harus berdasarkan fakta, bukan sekadar narasi yang dibangun demi kepentingan pribadi. Sikap kritis memang harus terus dipertahankan, tetapi itu tidak boleh mengarah pada manipulasi informasi atau pencitraan yang menyesatkan.

Selain itu, aktivis harus menyadari bahwa perjuangan bukanlah panggung untuk membangun kultus pribadi. Seorang aktivis yang sejati tidak membutuhkan pengakuan sebagai pahlawan atau korban, tetapi cukup dengan memastikan bahwa kebenaran ditegakkan. Jika aktivisme hanya dijadikan alat untuk kepentingan diri sendiri, maka gerakan ini akan kehilangan esensinya dan justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.

Fenomena megalomania ini harus menjadi refleksi bagi semua pihak, terutama bagi mereka yang mengaku sebagai pejuang keadilan. Apakah mereka benar-benar berjuang untuk rakyat, atau hanya untuk membesarkan diri mereka sendiri? Jika aktivisme tidak lagi berbasis pada kebenaran, maka yang terjadi bukanlah perjuangan untuk keadilan, melainkan sekadar permainan opini demi keuntungan segelintir orang.

*) Ditulis oleh Sinyo Pujianto (Aktivis Sosial)

Berita Lainnya