INDOWORK.ID, JAKARTA: Sahabat Investor, Sahabat Rakyat. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia kembali ditutup memerah pada Kamis (28/11/2024), anjlok 0,93% ke level 7.245,88. Indeks ini semakin menjauhi rekor tertingginya 7.905,39 pada 19 September 2024.
Namun, ada yang lebih menyakitkan dari pergerakan indeks yang wajar naik-turun, yakni ketidakadilan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang dijadwalkan mulai 1 Januari 2025, meski masyarakat luas banyak memprotes mulai dari konsumen, pengusaha, ekonom, hingga para vlogger.
BAKAL DIUNDUR
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) memang sudah merespons. “Kenaikan PPN 12% bakal diundur,” katanya.
Namun, kata diundur ini kental aroma politik, apakah menunggu calon-calon kepala daerah tertentu menang dalam Pilkada serentak 2024 yang berlangsung Rabu kemarin dan settled dulu? Lalu, apakah setelah itu baru rakyat digiring untuk terpaksa menerima kenaikan PPN di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi nasional yang di bawah rata-rata 10 tahun terakhir, yakni hanya 4,95% kuartal III-2024 secara year on year.
Lebih memprihatinkan lagi, daya beli masyarakat juga menurun, yang diindikasikan dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang rendah. Pertumbuhan kontributor utama produk domestik bruto (PDB) RI ini bahkan di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Kondisi ekonomi yang tertekan di Tanah Air juga terkonfirmasi dari pertumbuhan industri pengolahan. Pertumbuhannya juga di bawah laju pertumbuhan PDB RI.
KENAPA BUKAN PPh?
Yang menjadi pertanyaan, mengapa justru PPN yang dinaikkan? Padahal mulai 1 April 2022, tarif PPN sudah dinaikkan dari 10% menjadi 11%. Akibatnya, jumlah kelas menengah kita turun signifikan, padahal tugas negara adalah menambah kelas menengah.
Lalu, kenapa bukan pajak penghasilan (PPh) orang kaya yang dinaikkan? Di Indonesia, memang sudah ada penerapan tax bracket yang didasarkan pada Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang merevisi UU No 36 Tahun 2008. Tax bracket adalah rentang penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertentu, yang harus dibayar seseorang berdasarkan jumlah penghasilannya.
Metode ini bertujuan agar tarif pajak bagi kelompok berpenghasilan tinggi lebih besar, dibandingkan yang berpenghasilan lebih rendah yang pas-pasan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Regulasi ini mengatur lima lapisan tarif pajak, mulai dari 5% untuk penghasilan di bawah Rp60 juta per tahun hingga 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar. Upaya keadilan dan distribusi berimbang antara Wajib Pajak berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi ini dimaksudkan sebagai manifestasi dari perpajakan yang adil.
Secara lebih spesifik, lapisan tarif PPh I untuk Wajib Pajak (WP) berpenghasilan hingga Rp 60 juta dikenakan tarif 5% (setelah dikurangi penghasilan tidak kena pajak saat ini Rp 54 juta setahun). Kelompok II yang berpenghasilan > Rp 60 -250 juta dikenakan tarif 15%. Kelompok III yang berpenghasilan > Rp 250 – 500 juta dikenakan tarif 25%. Kelompok IV yang berpenghasilan > 500 juta – 5 miliar dikenakan tarif 30%. Kelompok V yang berpenghasilan > Rp 5 miliar dikenakan tarif 35%.
Oleh karena itu, merujuk praktik di negara maju, semestinya masih bisa ditambah satu bracket untuk kelompok penghasilan paling atas. Golongan paling kaya ini lebih baik dikenakan tarif yang lebih progresif, ketimbang menaikkan PPN yang memukul rata semua kelas masyarakat, termasuk masyarakat yang miskin.
EKSPLOITASI SUMBER DAYA
Apalagi, kita melihat adanya segelintir orang-orang tajir, yang mengakumulasi kekayaan lewat eksploitasi sumber daya Indonesia. Artinya, mereka wajar ikut memikul tambahan beban negara!
Belum lagi, kenaikan PPN ini adalah pengkhianatan terhadap program pemerintah untuk hilirisasi dan industrialisasi. Pasalnya, tiap rantai nilai bakal digunting oleh beban pajak yang makin tinggi di hilir, dengan irisan yang makin menyakitkan!
Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) sudah memprotes rencana kenaikan PPN menjadi 12% tersebut. Direktur Eksekutif YKTI Ardiman Pribadi mengungkapkan bahwa kenaikan ini akan sepenuhnya dibebankan pada konsumen akhir, sehingga semakin menekan daya beli masyarakat yang sudah turun. Hal ini juga tentunya berimbas pada kelangsungan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tanah Air, yang sudah banyak dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam perhitungannya, ketika PPN dikenakan 11%, maka sebenarnya PPN yang terbeban pada konsumen akhir itu sebesar 19,8%, karena rantai nilai tekstil (TPT) itu panjang, di mana setiap pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh setiap subsektor akan dibebankan pada harga barang. “Jika PPN dinaikan menjadi 12%, maka beban konsumen akhir menjadi 21,6% dari harga barang sebenarnya,” bebernya.
Karena semakin ke hilir beban pajak lebih besar dan massif, artinya seluruh rakyat memikul beban yang tidak adil. Dan, tentunya, yang paling pedih dan nyeri adalah rakyat jelata, end users, yang tidak punya kesempatan untuk mengulur rantai beban lebih jauh.
Jika pemerintah berdalih akan memberikan bansos, bahkan belum tentu bisa meringankan beban di pundak kanan, bila terus menambah beban di pundak kiri. Apalagi, di persidangan pun sudah banyak terbukti pejabat negeri ini masih banyak yang korupsi, masih banyak bansos dimanipulasi.
Oleh karena itu, Sahabat Rakyat, kita jangan diam menjadi alat pemuas koruptor berbedak malaikat. Sudah saatnya juga pemerintah lebih berpihak kepada rakyat negeri sendiri!
*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id
Kurangi Polusi, Pemprov DKI Jakarta Adakan 100 Bus Listrik