Bisnis Headline

Beban Kerugian Garuda Indonesia Semakin Berat, Ini Daftar Airlines “Plat Merah” di Negara Lain Yang Tutup

Share on:

INDOWORK.ID, JAKARTA: Emiten maskapai penerbangan, PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) menanggung beban kerugian yang terus meningkat. Melonjaknya kerugian pada semester I-2024 disebabkan meningkatnya beban usaha perusahaan.

Direktur Utama GIAA Irfan Setiaputra mengatakan, kapasitas produksi di sepanjang tahun 2024 terus bertumbuh sejalan dengan meningkatnya aktivitas perjalanan udara. Namun, tak dapat dipungkiri, tingkat beban usaha perusahaan juga turut mengalami kenaikan.

“Peningkatan aktivitas ini membuat porsi beban usaha menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan usaha, sehingga kerugian meningkat pada periode semester I 2024 ini,” jelasnya pada wartawan.

Asal tahu saja, Garuda Indonesia mencatatkan kerugian bersih sebesar US$ 100,35 juta, atau naik 31,39% year on year (yoy) dibandingkan semester I-2023 yang sebesar US$ 76,38 juta.

Merujuk laporan keuangan, beban usaha maskapai pelat merah ini tercatat sebesar US$ 1,53 miliar di semester I-2024, atau meningkat 23,31% yoy dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar US$ 1,24 miliar. Peningkatan beban usaha ini dipengaruhi sejumlah faktor.

Beberapa di antaranya adalah beban pemeliharaan dan perbaikan yang naik 61,5%, khususnya terkait biaya sparepart yang meningkat karena banyaknya aktivitas reaktivasi mesin di tahun 2024.

Kemudian dipengaruhi pula kenaikan biaya bahan bakar sebesar 22%, beban pelayanan penumpang sebesar 33,35%, serta beban personel menyusul adanya implementasi Pajak Natura mulai akhir tahun 2023.

Di sisi lain, Garuda Indonesia mencatat pendapatan konsolidasi tumbuh 18,27% yoy pada periode semester I 2024 dibandingkan periode sama tahun 2023.

Pendapatan itu disokong kenaikan pendapatan penerbangan berjadwal sebesar 15,72%, penerbangan tidak berjadwal 24,94% dan pendapatan lainnya 33,01%.

KERUGIAN DAN PENUTUPAN DI NEGARA LAIN

Beberapa negara juga memiliki kasus yang sama berupa kerugian, bahkan sampai penutupan. Faktor-faktor seperti manajemen yang buruk, beban utang yang besar, biaya operasional tinggi, dan persaingan ketat dari maskapai biaya rendah sering kali menjadi penyebab utama kerugian dan penutupan perusahaan tersebut.

South African Airways (SAA)

Tidak sepenuhnya ditutup, tetapi pada 2020 SAA menghentikan sebagian besar operasinya dan memasuki fase administrasi bisnis (restrukturisasi), dengan banyak rute internasional dan domestik dihentikan. Meskipun SAA masih beroperasi dengan kapasitas terbatas, maskapai ini secara teknis dianggap bangkrut.

Pada tahun fiskal 2018-2019, SAA mencatat kerugian sekitar USD 423 juta (sekitar ZAR 6,5 miliar). Total kerugian yang dialami oleh SAA sejak 2007 diperkirakan mencapai USD 3,3 miliar.

Malaysia Airlines

Pada 2020, Malaysia Airlines mencatat kerugian sekitar USD 500 juta. Sebelumnya, maskapai ini terus mencatat kerugian tahunan sejak insiden MH370 dan MH17, dengan kerugian tahunan sekitar USD 400 juta hingga USD 500 juta selama beberapa tahun.

Alitalia

Alitalia telah mengalami kerugian secara konsisten selama beberapa dekade sebelum ditutup. Perusahaan ini resmi ditutup pada 2021. Pada tahun 2020, Alitalia mencatat kerugian sebesar EUR 300 juta (sekitar USD 350 juta). Maskapai ini secara historis telah menerima berbagai suntikan dana dari pemerintah, tetapi tetap mengalami kerugian sekitar EUR 9 miliar sejak tahun 2000.

Mexicana de Aviación (Meksiko)

Mexicana de Aviación mengalami kesulitan keuangan bertahun-tahun sebelum akhirnya menutup operasinya pada tahun 2010. Sebelum penutupan, perusahaan ini tercatat mengalami kerugian tahunan sekitar USD 125 juta.


Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *