INDOWORK.ID, JAKARTA: Sastrawan Martin Aleida kini menulis dari kursi roda. Setelah kaki kanannya diamputasi, namun semangatnya tak pudar. Buku demi buku mengalir dari tangannya, Ia tinggal bersama istrinya di bilangan Rawabambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
“Teruslah menulis, menulis itu memerdekakan,” Martin berpesan kepada saya, Kamis, 22 Agustus 2024.
Pesan itu abadi. Ia tulis tangan di novel terbarunya, Tuhan Menangis, Terluka.
Tuhan Menangis, Terluka merupakan novel yang lahir dari pemikiran dan kerja kerasnya hampir selama 2 tahun pada masa pandemi. Karya mengharukan 600 halaman ini ia kerjakan di Beranda Rakyat Garuda Jakarta Timur dan rilis pada Jumat (13/1/2023). Isinya menceritakan kisah-kisah kejahatan terhadap kemanusiaan pada rentang tahun 1965-1966 atau disebut tragedi 1965.
PELANGARAN HAM BERAT
Dua hari sebelum buku Tuhan Menangis, Terluka dirilis, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu yang terjadi di Indonesia pada rentang 1965-2003. Pernyataan resmi ini muncul setelah pemerintah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM). Namun kebenaran tersebut tidak diungkapkan secara spesifik dengan menjelaskan siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam rangkaian peristiwa pelanggaran HAM itu.
Martin merupakan sastrawan dan jurnalis yang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada 1965. Sosok yang lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, ini dalam bukunya memberikan kesaksian atas peristiwa yang dialaminya dan orang-orang yang tidak berdaya lainnya yang menjadi korban negara.
Tuhan Menangis, Terluka tersebut memuat banyak catatan yang menjadi bukti sejarah dan mendedahkan pelanggaran HAM yang terjadi dan tidak pernah terungkap. Buku ini sekaligus menjadi saksi atas pengalaman kolektif berupa kekerasan terhadap kemanusiaan yang melibatkan negara dengan jangkauan hampir seluruh wilayah di Indonesia dari barat hingga ke timur.
NURLAN BIN ISMAIL
Martin Aleida yang memiliki nama asli Nurlan bin Ismail adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa cerita pendek dan novel. Martin juga pernah menjalani profesi sebagai wartawan di harian Zaman Baru dan terakhir di majalah Tempo.
Ngobrol dengan Martin siang itu nggak ada habisnya. Ketika saya datang, ia langsung tancap gas seolah kami sudah sering berjumpa. Padahal kami baru sekali bertemu. Perjumpaan itu pada 23 Juli 2023 ketika mensyukuri peringatan ulang tahun Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS).
Pria kelahiran 31 Desember 1943, Tanjung Balai, Sumatra Utara, tersebut mendapaktan penghargaan Anugerah Seni Kementerian Budaya dan Pariwisata.
Istrinya putri Solo. Ketika akan pamit, saya mendendangkan syair Putri Solo. Wanita 76 tahun, itu pun girang.
Putri Solo
Dasare keboro nyoto
Pancen pinten alelewo
Dasar Putri Solo
Nganggo selendang pelangi
Sumampir ono pundak’e
Cunduk’e kembang melati
Dadi lan pantese
Lumakune koyo macan luwe
Sendal jingjit perakite
Kiyat-kiyet suarane
Kelap-kelip lha suwenge
Dasar Putri Solo
Si Putri Solo milik Martin Alaida yang rambutnya tak hitam lagi, itu pun membalas dengan penuh canda.
“Jalan kayak macan luwe karena belum sarapan,” katanya. Tawa kami pun berderai.
*) Ditulis oleh Lahyanto Nadie, Redaktur Khusus Indowork.id
Post Views:
0
Pelabuhan Sanur Dikembangkan. Inilah Pulau yang Dilayani