Bisnis Headline Humaniora

Cerita tentang Bisnis Indonesia, Stringer Paling Kaya



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Dalam WAG Alumni Bisnis Indonesia pada 27 Juli 2024, sahabatku Lahyanto Nadie, menyebutku sebagai stringer paling kaya. “Reporter jebolan ITB aja gajinya cuma Rp200.000, eh honor dia lebih dari sejuta gara-gara pembobolan bank,” tulis Lay, begitu panggilan akrabnya.

Muhammad Karyanto menimpali. “Rezeki anak sholeh🙏,” kata ahli farmasi itu.

Lay benar, saya mendapatkan honor yang begitu besar pada zamannya karena pemberitaan Bank Pasar Dwimanda, yang ditulis secara berseri. Hampir setiap jadi hari head line.

Ketika itu Pak Abdullah Alamudi sebagia redaktur pelaksana. Aku ingat setiap berita dihargai antara Rp75.000 dan Rp100.000. Belum lagi pemberita tentang hukum lain yang aku tulis.  Dari honor sebagai stringer trsebut, akhirnya mampu membeli mobil bekas Daihatsu Hijet 1000. Ini sejarah yang tak terlupakan. Keberhasilanku awalnya dari Bisnis Indonesia.

Aku tetap ingat juga pesan almarhum, H. Amir Daud, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, suatu ketika. “Turman sebaiknya kamu jadi Pengacara”.

Kata-kata dari almarhum yang sangat bermakna ini dikatakannya saat aku dipanggil ke ruangannya secara khusus akibat pemberitaan Paket Oktober (Pakto) 1988 tentang perbankan. Pakto 88 merupakan paket kebijakanm ekonomi deregulasi pada Era Orde Baru. Paket tersebut adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp10 miliar (pada tahun 1988) siapa pun dapat mendirikan bank baru.

Dampak dari kebijakan ini juga berpengaruh besar tehadap pemberitaan oleh media massa. Tentu saja Bisnis Indonesia menjadi koran yang paling getor memberikannya.

KENA SEMPRIT

Namun sayang, saking getolnya, Bisnis Indonesia “kena semprit.” Akibat pemberitaan yang dinilah oleh penguasa sebagai kritis keras sehingga, Bisnis Indonesia kena peringatan tertulis. Saat itu Pak Lukman Setiawan, Wakil Pemimpin Umum, marah besar.  Aku dipanggil untuk menghadap. Namun aku tidak meresponnya. Namun Pak Lukman tak patah semangat. Ia meminta Pak Shirato Syafei untuk memanggilku.

“Pak Lukman marah besar, tidak mau melihat kamu lagi di Bisnis. Gimana kalau kamu ke Solo. Aku mau mendirikan koran di sana.”

Aku tak memberikan respon atas peringatan sekaligus tawaran tersebut. Aku sangat yakin tak bersalah karena berita itu obyektif dan dan ditulis secara berimbang.

Pemerintah Orde Baru memang sangat berkuasa. Mereka tak mau melihat pemberitaan koran yang mengkritik pemerintah. Ketika itu Menteri Kehakiman Ismail Saleh merasa keberatan atas berita Bisnis Indonesia lantaran menulis tentang perizinan yang sulit. Padahal pengusaha ingin mendirikan bank dan perlu izin prinsip dari Menteri Kehakiman.

Saya pun kena black list. Aku diusir ketika meliput di Departemen Kehakiman (Depkeh). Namun kemarahan Pak Ismail Saleh mereda setelah Suwantin Umar membuat berita tentang bonsai, yang menjadi kesukaan Pak Ismail. Selanjutnya wartawan Bisnis dapat kembali meliput di Depkeh.

Suwantin Oemar kemudian menceritakan pengalamannya. IA diminta oleh Mohammad Effendi Aboed (MEA) datang ke kantor Ismail Saleh di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

BONSAI

Suwantin mengira Pak Ismail akan marah besar. Ternyata sang menteri justru bercerita tentang tanaman bonsai. Pak Ismail juga senang mengoleksi batu-batuan di ruang kerja. Dia kemudian menunjukkan dan memperlihatkan beraneka jenis bebatuan sehingga lupa tentang beritaku yang mengkritik Pakto 88.

Turman M. Panggabean

Kenangan lainnya di Bisnis Indonesia adalah tentang berita nonekonomi. Aku punya dokumen koran Bisnis yang berjudul Kisah Cinta di Atas KRL.

Tulisan tentang perselingkuhan penumpang kereta tersebut atas perintah almarhum Mansyur Amin, yang ketika itu menjadi Redaktur Kota.

Ditulis oleh Turman Panggabean, wartawan yang kini menjadi pengacara.

 

Berita Lainnya