INDOWORK.ID, JAKARTA: Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Indonesia itu bintang empat. Apa kata dunia, jenderal berpangkat rendah memimpin jenderal lebih tinggi? Bisa jadi olok-olok atau bahkan bisa jadi cikal bakal pembangkangan baik itu secara diam-diam maupun terbuka.
Dari itu Presiden harus dinaikkan pangkatnya. Namun karena sudah lama pensiun, maka Pak Prabowo Subianto kini berpangkat Jenderal Kehormatan Purnawirawan.
Dengan segenap alasan berdasarkan Undang-Undang, baru kali ini dalam sejarah militer Indonesia, seorang jenderal yang dipaksa mengundurkan diri karena melakukan pelanggaran diberi kenaikan pangkat.
Fakta sejarah kemudian mencatat bahwa TNI yang memberhentikan Prabowo dengan hormat karena kasus hukum. Dan TNI jugalah yang memberikan kehormatan bagi orang yang oleh sebuah Dewan bentukannya sendiri didakwa bersalah.
Dari fakta ini, sangatlah jelas bahwa citra buruk yang selama ini melekat pada diri Prabowo ingin dibersihkan menjelang dia dilantik sebagai Presiden.. Ini adalah langkah yang aneh namun bisa dimengerti mengapa TNI dan Presiden melakukan tindakan sedemikian drastis.
Sebab jabatan jenderal kehormatan itu tidak bisa dilihat sebagai simbolis namun juga sangat strategis.
MEMBERI SINYAL
Penyematan gelar jenderal kehormatan dilakukan di sela-sela rapim TNI – Polri yang sangat penting. Dan dilakukan oleh orang penting di negeri ini yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Gelar Jenderal Kehormatan kemudian memberi sinyal bahwa Prabowo sudah “sesuai dengan jenjang komando militer ” hingga punya legitimasi penuh memberi titah tunduk total kepada panglima TNI, Kepala Kepolisian Indonesia dan Jaksa Agung.
Dengan demikian, penyematan itu bisa dipandang sebagai dukungan total militer dan polisi terhadap Prabowo yang akan menjabat sebagai Presiden Indonesia berikutnya.
Dukungan ini mengirim sinyal kuat kepada dunia internasional bahwa angkatan bersenjata Indonesia mendukung penuh Prabowo sebagai panglima tertinggi mereka.
Sinyal ini akan menutup jalan bagi anasir-anasir asing yang mencoba melakukan penetrasi untuk menggoyang pemerintahan pasca Jokowi lengser.
PERTAMA KALI
Sementara di dalam negeri, penyematan gelar yang baru pertama kali terjadi ini, nampaknya akan dilanjutkan dengan kampanye ubah citra. Bahwa Prabowo bukan diktator tapi pengayom.
Bukan jenderal yang serampangan, emosian temperamental yang bisa melakukan apa saja jika tidak suka dan tidak senang.
Tetapi Presiden yang tidak kalah welas asihnya dibandingkan Jokowi. Harus diakui, kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka disambut masyarakat dengan perasaan campur aduk. Tidak terlihat kegembiraan massal yang gegap gempita merayakan kemenangan meski baru quick count, seperti yang terlihat ketika Jokowi jadi Presiden.
Yang muncul di media sosial adalah kecemasan bahwa Prabowo akan memerintah negara ini ala Orde Baru yang setiap kebijakannya akan distempel setuju oleh parlemen koalisi pemerintah yang sangat dominan.
Mereka juga khawatir, aparat keamanan akan represif atau setidaknya banyak tingkah ngehek mentang-mentang yang melukai perasaan masyarakat.
Belum lagi, kekhawatiran akan ada organisasi preman yang menanamkan pengaruhnya baik secara senyap ataupun terang-terangan. Yang digunakan sebagai alat penindas rakyat oleh pemerintahan Prabowo.
Ketika rakyat berteriak akan ketidakadilan, mereka mungkin bingung kemana harus mengadu.
Beda dengan Jokowi yang responsif, masyarakat menilai gaya komunikasi Prabowo -Gibran lebih tertutup.
Mereka mungkin akan ditendang Paspampres ketika ingin mendekat sang Presiden atau wakil presiden. Contoh pengamanan ekstra ketat itu sudah ditunjukkan diberbagai kegiatan Prabowo.
ADA KECEMASAN
Jadi ada kecemasan bahwa Prabowo-Gibran tidak mau mendengarkan keluhan rakyat tapi maunya didengarkan. Masyarakat khawatir aspirasi mereka ditanggapi oleh Prabowo dan Gibran dengan komentar singkat, seadanya atau tidak nyambung. Hingga keduanya terkesan arogan dan melecehkan aspirasi rakyat.
Gaya komunikasi ini diperlihatkan dengan jelas oleh Prabowo -Gibran. Walhasil, suka atau tidak suka, hasil pilpres ini sangat bisa menjauhkan rakyat dengan para elit kekuasaan termasuk Presiden dan wakil Presiden terpilih.
Sebab adalah fakta bahwa mengapa mayoritas rakyat Indonesia memilih nomor dua adalah karena ada Jokowi belaka. Bukan karena figur Prabowo atau Gibran semata.
Sudahlah dipastikan jika tanpa cawe cawe Jokowi, Prabowo- Gibran pasti menuai kekalahan. Yang mungkin sama telaknya dengan kekalahan yang dialami Ganjar sekarang. Dari itu, penyematan gelar jenderal kehormatan hendaknya tidak semata ditujukan untuk menyingkirkan citra Prabowo sebagai jenderal penculik dan pelanggar HAM.
Gelar Jenderal Kehormatan itu harus menampilkan figur Prabowo yang humanis melalui aneka kebijakan yang pro kerakyatan bukan kebijakan militeristik.
Pemerintahan Prabowo Gibran punya tanggung jawab besar untuk mewujudkan janji mereka bukannya berhenti pada omon-,omon atau pernyataan slengean tidak nyambung. Dan sinyal kearah situ harus juga dilakukan dari sekarang. Hingga aneka keresahan yang kini terasa akan sirna dengan sendirinya.
*) Ditulis oleh Budi Setiawan, wartawan senior.
BNI Percepat Penyaluran Bansos PKH dan Sembako