INDOOWORK.ID, JAKARTA: Seorang teman memposting judul berita. “OJK BIKIN ATURAN BARU, PEKERJA SEKTOR KEUANGAN WAJIB BERSERTIFIKAT KOMPETENSI”. Kutipan dari Detik Finance 13 September 2023 pukul 11;55. Saya tak tertarik untuk membaca berita seutuhnya. Judulnya sudah sangat jelas dan konkret.
Mohon izin. Beropini sejatinya tak butuh izin. Mohon maaf saja, karena celoteh saya (sebagian) tidak menyenangkan sebagian orang. Saya memang tidak pernah berpretensi mau menyenangkan siapa pun. Tapi insyaa Allah celoteh saya argumentatif, reasonable, objektif dan berdasar fakta.
FILTER INTEGRITAS
Peran sentral OJK, menurut saya, adalah filter integritas. Bukan filter kualitas! Tugas utama wasit adalah memastikan aturan main ditegakkan, bukan menilai kualitas pemain!
Pertama, legitimasi kompetensi seorang profesional ditentukan oleh pemakai jasa. Users. End users. Bukan Otoritas. Legitimasi seorang analis, ditentukan oleh ketelitian memilah data, keakuratan analisis dan ketepatan penerawangannya. Bukan oleh Otoritas. Kualitas seorang manajer dana ditentukan oleh kinerja portfolionya. Bukan oleh Otoritas.
Kedua, seorang analis yang tidak kompeten tapi lurus, hanya merugikan dirinya sendiri, atau paling banter organisasi tempat dia bekerja, kalau organisasi itu tidak melakukan perbaikan. Dia tidak berbahaya bagi masyarakat keuangan. tidak berbahaya bagi pasar. Tapi seorang analis yang pintar tapi culas dan berkarakter rendah, akan mengorbankan banyak orang, merusak pasar, menghancurkan kepercayaan.
Kalau kita masih sepakat bahwa industri keuangan bertumpu pada kepercayaan, maka tugas utama Otoritas adalah memilih mana pelaku yang bisa dipercaya, mana yang tidak bisa dipercaya. Dan menjadi filter agar manusia manusia yang tidak bisa dipercaya itu, tidak masuk ke pasar. Atau keluar dari pasar. Seorang pemain sepak bola yang pintar dan jenius tapi punya kebiasaan menendang dengkul secara sengaja, mendorong pemain lawan dengan tangan atau pelanggaran lain yang membahayakan, harus dikeluarkan dari lapangan. Kalau wasit berlaku benar.
INVESTOR NAKAL
Di pasar modal, kita menyaksikan dengan sangat terang investor yang nakal. Membujuk merayu menyebar rumor dan kabar bohong untuk keuntungan diri sendiri. Emiten yang nakal. Menyulap laporan keuangan, bluffing, membuat pernyataan yang berlebih lebihan, sampai melakukan transfer pricing. Bandar yang melakukan transaksi semu memanipulasi harga memanipulasi pasar. Manajer investasi yang menjanjikan keuntungan pasti, membuat produk produk palsu. Daftar ini bisa kita bikin panjang.
Kenapa tangan Otoritas tidak hadir di situ? Mereka mengurus sesuatu yang sejatinya tak perlu mereka urus. Karena memang bukan urusan mereka.
Salah satu contoh, yang sering saya tulis dalam celoteh, adalah pengaturan komposisi portfolio reksadana. Satu saham anggota portfolio reksadana saham tidak boleh melebihi 10% dari NAB. Kita sederhanakan contoh berikut: Saya manajer investasi, mengelola dana Rp1 trilun. Saya tanamkan dana saya dalam sembilan saham masing masing 10% dan kas 10%.
Lalu saham A naik dan saham B turun. Akibatnya saham A melebihi 10%. Saya harus menjual saham A dan membeli saham B atau anggota portfolio baru untuk memenuhi aturan. Kalau saya simpan dalam bentuk kas, kas saya akan melebih 10% – melebih batas waktu tertentu – juga akan terjadi pelanggaran.
Tentu Anda bisa jadi kusir untuk mendebat saya: tambah dong anggota portfolio. menjadi 20 atau 30 atau 100 dst. Tapi itu doesn’t make sense. Tidak nalar! Hampir seabad lalu, teori diversifikasi menyatakan bahwa menambah anggota potfolio mungkin mengurangi risiko, tapi dipastikan juga mengurangi ekspekstasi keuntungan. Adagium ini bisa kita buktikan secara logis, matematis, empiris.
Bukankah yang lebih penting berfungsinya pengawasan untuk memastikan manajer investasi memenuhi kewajibannya? Antara lain, menetapkan strategi investasi yang jelas dalam prospektus, mengelola dana dengan jujur dan sungguh sungguh, memberikan laporan yang benar kepada pemilik unit.
Pertanyaan yang tak kalah penting adalah; Apakah Otoritas memang lebih pintar dari para manajer dana itu dalam asset selection dan asset allocation?
Penyakit klasik birokrasi, dari dulu nggak pernah sembuh. Ketika mekanisme pasar bisa menyelesaikan persoalan dengan optimal dan tidak membutuhkan intervensi, Otoritas hadir dengan pongah melakukan intervensi.
Ketika mekanisme pasar berhadapan dengan eksternalitas, berujung ketidakadilan, butuh intervensi Otoritas demi keadilan, intervensi itu tak kunjung hadir.
Mohon maaf!
*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, wartawan khusus Indowork.id
Industri Indonesia Masih Perlu Bea Masuk untuk Lindungi Pasar Lokal