Humaniora

Salam Toleransi dan Menjaga Akidah



single-image

Sinar pencerahan itu terbit dari timur. Akhirnya, lembaga yang memiliki otoritas “berani” menyuarakan kebenaran haqiqi yang seharusnya diketahui masyarakat sejak lama. Adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, lembaga tersebut, yang mengeluarkan imbauan terkait pengucapan salam semua agama ketika seorang pejabat—biasanya pemerintah—memberikan sambutan pada suatu acara, resmi maupun informal.

Deretan salam toleransi pembukaan suatu acara yang sering kita dengar adalah Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Om swasti astu Om, Namo Buddaya, dan Salam kebajikan pun menjadi hafalan wajib bagi para pejabat pemerintah, pemimpin lembaga negara, dan seterusnya bahkan hingga ketua RT sekalipun.

Kita tidak tahu persis sejak kapan salam toleransi antaragama itu mulai digaungkan dan juga belum jelas siapa yang menginisiasinya. Tapi, yang jelas, banyak pemimpin di “pusat” sering menyampaikan deretan salam tolerasi tersebut ketika berpidato pada hampir semua seremoni. Karena negeri kita menerapkan budaya patriarki yang sangat kuat, apa yang dicontohkan oleh sang pemimpin itu pun diikuti hampir semua andahan atau jajaran struktural di bawahnya.

Bahkan, saking kelewat patuhnya terhadap Pemerintah Pusat, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat sampai perlu mewajibkan salam toleransi itu kepada seluruh unsur masyarakat di wilayah yang dipimpinnya. Apapun acara yang berlangsung di wilayah itu, senantiasa diawali dengan deretan salam toleransi tersebut.

Beberapa poin yang mendasari “fatwa” MUI Jatim itu di antaranya adalah bahwa agama merupakan sistem keyakinan yang di dalamnya mengandung ajaran berkaitan dengan masalah akidah dan sistem peribadatan. Tentu saja hal itu bersifat eksklusif bagi pemeluknya, sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain.

Poin lain yang ditekankan MUI Jatim adalah bahwa dalam kehidupan bersama di suatu masyarakat majemuk, lebih-lebih Indonesia, yang mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, adanya pelbagai perbedaan menuntut adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan tadi. Dalam mengimplementasikan toleransi antarumat beragama, perlu ada kriteria dan batasan agar tidak merusak kemurnian ajaran agama.

“Prinsip tolerasi pada dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda, tetapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing pihak yang berbeda,” demikian bunyi pernyataan MUI Jatim yang disiarkan secara luas di berbagai media.

Pada dasarnya, masih menurut pendapat MUI Jatim, Islam sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqarah [2]: 256); prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri. (QS al-Kafirun [109]: 6), prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah (QS al-Mumtahanah [60]: 8), serta prinsip berlaku adil kepada siapapun (QS al-Maidah [8]: 8).

Jika dicermati, salam adalah ungkapan doa yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam yang berbunyi Assalaamyu’alakum memiliki arti semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian. Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia.

Salam umat Budha, Namo buddaya, artinya terpujilah Sang Buddha satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Buddha tentang Sidharta Gautama. Ungkapan pembuka dari agama Hindu, Om swasti astu. Om, adalah panggilan umat Hindu, khususnya di Bali, kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu Sang Hyang Widhi. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan astu berarti semoga. Dengan demikian ungkapan Om swasti astu kurang lebih memiliki arti Semoga Sang Hyang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan.

MUI Jatim mengaskan juga bahwa doa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari praksis ibadah bagi masing-masing pemeluk agama. Bahkan di dalam Islam, doa adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa-basi, melainkan doa. “Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru dan merupakan bid’ah yang tidak pernah ada di masa lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.”

Poin terakhir yang difatwakan MUI Provinsi Jawa Timur, dan ini terpenting, adalah menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan pada umumnya, agar ketika menyampaikan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Dengan demikian, menurut MUI Jatim, umat Islam akan terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak akidah atau kemurnian agama yang mereka anut. “Untuk umat Islam, cukup mengucapkan kalimat Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.”

Saya kira imbauan MUI Jatim ini sangat mendasar dan simpatik, karena menjaga akidah—bagi umat Islam—adalah segala-galanya dan merupakan sebuah keharusan. Bukankah dalam sehari semalam, umat Islam mendeklarasikan minimal 17 kali pengakuan bahwa Alhamdulillaahi rabb al’aalamiin (segala puji hanya bagi Allah, Tuhan alam semesta).

Karena, dalam setiap raka’at salat yang sehari semalam berjumlah 17 raka’at itu, membaca surah Alfatihah merupakan salah satu dari arkaan—ketentuan—salat yang tidak boleh tidak dibaca. Nah, kalimat deklarasi suci tersebut termaktub sebagai ayat kedua Surat Alfatihah yang wajib dibaca tadi.

Jadi, siapapun yang mengaku beragama Islam dan menyampaikan salam toleransi yang salah satunya “harus” menyatakan bahwa “terpujilah Sang Budha”, dengan sendirinya orang tersebut menduakan Allah. Dalam doktrin Islam, hal itu termasuk syirk alias dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah, terkecuali seseorang itu melakukan taubat nasuha—memohon Ampun kepada Allah sekaligus berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.

Ini bagian dari akidah yang harus dijaga oleh setiap Muslimin, agar tidak tergelincir masuk jurang kesesatan. Tanpa harus menyalahkan siapapun yang memulai salam toleransi tersebut, sudah selayaknya lah kita mengikuti imbauan MUI Jatim untuk menghentikan penyampaian deretan salam toleransi itu ketika mengawali sambutan/pidato atau seremoni apapun. Karena, selain merepotkan, juga berpotensi mendangkalkan akidah bagi masing-masing pemeluk agama, terutama bagi Muslimin.

Ahmad Djauhar jadi petani di Jogjakarta

Penulis: Ahmad Djauhar (Redaktur Khusus INDOWORK.ID)

*Tulisan pernah dimuat Harian Jogja pada 17 Juli 2023

Berita Lainnya