Headline Humaniora

Catatan Ramadhan: Iman Lampaui Jangkauan Logis dan Imajinasi



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Setiap manusia, tak soal apa dia beriman atau tidak, yakin sepenuhnya bahwa suatu saat dia bakal mati. Pertanyaan logis adalah: Lalu apa setelah mati? Adakah kehidupan lain setelah itu? Atau manusia memang tak lebih dari sekedar jasad, dari tanah kembali ke tanah? Dari abu kembali ke abu?

Saya tak tahu alur pikir mereka yang tak beriman.

Semua cabang ilmu yang saya ketahui, objeknya, ajangnya adalah benda-benda dan fenomena duniawi. Dan masih sangat sangat terbatas. Dari tujuh lapis langit – yang ini memang terminologi iman – lapisan pertama saja belum mampu dijangkau manusia. Berapa miliar jumlah bintang – yang menghiasi langit lapis pertama – dan apa saja namanya, masih berada di luar jangkauan pengetahuan manusia. Sebuah contoh pertanyaan sederhana yang belum mampu dijawab oleh sains.

EMPIRIS, METODE TERBAIK

Masjid Nabawi
Masjid Nabawi

Semua cabang ilmu yang pernah saya kenal, metode terbaik adalah empiris. Realitas yang terbukti. Dan kehidupan setelah mati itu, tak memberi peluang pembuktian empiris. Entah kalau ada catatan cerita yang dibawa oleh orang-orang yang – atas izin Allah – dihidupkan kembali setelah mati pada zaman nabi Musa dan nabi Isa.

Iman, bagi saya, berawal dari pengakuan bahwa kecerdasan manusia hanya setetes air di keluasan samudera. Betapa pun jeniusnya kecerdasan yang dikaruniakan kepadanya.

Saya dengan totalitas kesadaran memilih beriman, karena iman mengajarkan saya tentang hal yang gaib. Sesuatu yang tak mungkin saya gapai dan fahami dengan seluruh kapasitas yang ada pada saya.

Islam memberikan kepada saya manual kehidupan yang paling lengkap. Juga rute perjalanan pada kehidupan setelah kematian. Islam memberikan pedoman perilaku dan akhlak mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Memberikan demarkasi tentang yang baik dan yang buruk, yang pantas dan tak pantas. Memberikan acuan tentang prioritas pemenuhan kewajiban. Kepada yang diimani, sesama makhluk dan kepada diri sendiri.

Islam memberi saya petunjuk tentang rute perjalanan manusia. Mulai dari kelahiran, kehidupan dunia, tempat transit (alam barzah) dan keabadian di terminal akhir. Lengkap dengan petunjuk bekal yang diperlukan pada setiap halte dan terminal.

Saya bersaksi bahwa iman jauh melampaui jangkauan logis manusia. Jauh melebihi batas yang bisa diraih imajinasi.

*) Ditulis oleh Hasan Zein Mahmud, Redaktur Khusus Indowork.id,

As the holy month of Ramadhan draws to a close, a rich spiritual experience awaits many Islamic families around the world. This year, it’s a special time that transcends simple rituals to touch the heart of cultural heritage. Ramadhan is an opportunity to transform faith into a far-reaching logic that transcends regional and ethnic boundaries.

During this holy month, those of Muslim faith abstain from food, drink and other physical pleasures during daylight hours. This embodies the fundamental principle of fasting, which is to be spiritually and physically aware of religious values and the significance of sacrifice.

Fasting can also be a powerful lesson on human endurance and compassion. In addition to spiritual enlightenment and charity, fasting can also foster a reverence for tradition and cultural identity. The deep and intractable pain of deprivation and reflection, combined with the spirit of generosity, can open the way to greater faith.

Ramadhan creates a direct link between the individual fasting person and the Islamic divine message, such as in the beautiful surahs and verses of the Qur’an. This connects the believer, who is learning about piety, to the grand purposes of Allah, whose teachings are continually revealed in the Qur’an. Ultimately, fasting is a powerful means to access the higher, spiritual reality, and the transformative nature of this practice allows the devout to draw closer to Allah.

Ramadhan can also be seen as a bridge to a higher level of understanding and insight. As the holy month passes, the Muslim believers can reach beyond the simple liturgical aspects and enter into the deeper meanings and knowledge that only Allah knows. Ramadhan provides them with an opportunity to glimpse into the sublime and transcendental dimensions of life, as well as to let go of the urge to control, judge and meddle in matters that only Allah knows best.

The significance of Ramadhan extends far beyond the act of fasting. It is an opportunity for the believer to expand their understanding of the faith, deepening their understanding of Allah and his eternal purpose, and broadening their knowledge and wisdom through reflection and contemplation. Ramadhan is an invitation to connect to Allah in ways thatWords 476 can move past worldly boundaries and reach beyond the realm of logic and imagination.

Berita Lainnya