Headline Humaniora

Inilah Para Jawara Setu Babakan, Benteng Terakhir Budaya Betawi



single-image

INDOWORK.ID, JAKARTA: Seorang tokoh ditulis kiprahnya karena prestasinya, integritasnya, kompetensinya, dan dedikasinya. Juga karena kepahlawanan dan pengorbanannya. Dari kiprahnya itu maka lahirlah karya yang dinikmati dan dikenang oleh masyarakat luas.

Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (Forum Jibang PBB) akan meluncurkan buku Para Jawara Setu Babakan, Benteng Terakhir Budaya Betawi pada 15 September 2022. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun ke-22 Perkampungan Budaya Betawi.

Sejumlah tokoh yang dimuat dalam buku  ini, memiliki peran yang signifikan dalam menginisiasi, membangun, hingga mengembangkan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Latar belakang para tokoh ini memang beragam. Mulai dari budayawan, ulama, tokoh militer, pendidik, dokter, hingga wartawan yang berkomitmen dan istiqamah dalam melestarikan budaya Betawi. Mereka berihtiar menjadikan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan menjadi destinasi wisata nasional. Ikhtiar itu layak diapresiasi.

Para tokoh tersebut, yang dalam buku ini disebut sebagai jawara–yang menurut KBBI berarti jagoan–memang jago dalam bidang masing-masing. Sesuai dengan bidangnya mereka berpikir, bekerja dan terus berikhtiar bagi Betawi dalam merawat Jakarta yang menjadi palang pintu Indonesia.

Berkat jasa para jawara, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dapat berkembang seperti saat ini  yang tentu saja masih banyak kekurangan. Sebagai benteng terakhir budaya Betawi, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan akan terus berdandan.

Melalui buku ini pembaca tidak hanya tahu sejarahnya, akan tetapi juga lingkungan seni budaya dan adat istiadat Betawi yang merupakan jalinan budaya Nusantara yang membentuk Indonesia yang bhineka.

PIJAKAN GENERASI MENDATANG

Topeng Betawi di depan rumah kebaya Setu Babakan

Setiap Langkah meninggalkan jejak. Ada yang samar-samar dan ada yang nyata. Namun catatan sejarah kudu danta, lantaran dia menjadi pijakan buat generasi mendatang.

Di balik sebuah peristiwa selalu ada tokoh yang menjadi pionir. Para jawara yang dimuat dalam buku ini merupakan sebagian dari mereka yang kiprahnya menjadi inspirasi bagi masyarakat luas. Semoga buku ini membuat jejak mereka menjadi permanen dan menjadi hikmah bagi generasi berikutnya.

Para tokoh yang dimuat dalam buku Para Jawara Setu Babakan adalah sbb:

ABDUL SYUKUR

Brigjen (TNI) dr. H. Abdul Syukur SKM, tercatat sebagai dokter militer. Pendidikan dokternya diambil di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tidak hanya itu, sebagai jenderal yang dokter, ia dikenal jago ngaji dan memiliki karier gemilang di militer.

Lahir di Jakarta, 21 April 1941, Babe Syukur, begitu panggilan akrabnya, dikenal sebagai khatib dan penceramah andal. Ceramahnya sejauk dan menentramkan hati pendengarnya.

Karier militer yang pernah dijabat antara lain sebagai Kakesdim 1105, Kepala Rumkit Dam XI/TB, Asnis Kepala Cakespreu Jaukesad, dan Kepala Pusrehabcat Dephankam.

Pendidikan militer yang diikutinya adalah Suspepa, Suslapa, Susjamen, dan Pendidikan Luar Negeri Shchool of Public Health University of Hawaii dan Henry Dunant Institute, Geneva, Swiss.

Babe Syukur banyak memperjuangkan kepentingan Betawi di Jakarta. Dia menjadi salah satu tokoh yang bersikeras bahwa Jakarta harus dipimpin oleh orang Betawi pada Pilkada 2002.

Babe Syukur pernah menjadi Ketua Umum Bamus Betawi Betawi periode 1997-2002. Ia aktif sebagai Ketua Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Budaya sejak 2014.

Dari pernikahannya, ia dikaruniai sembilan anak dan 25 cucu. Generasi Babe Syukur dengan Dra. Siti Hadijah ada juga yang mengikuti jejaknya sebagai dokter yaitu drg. Tita Belatifa Susandra dan dr. Rizki Aferoza Diandra, SpP (spesialis sehat medik).

APRIANSYAH

Apriansyah lahir di Palembang pada 12 April 1969. Pria yang memiliki tinggi badan 167 cm dan berat 70 kg ini tinggal di Perumahan Griya Serua Blok D/4. RT 05/01, Kelurahan Serua, Kota Depok.  Ayahnya bernama Bahtiar, wong kito.

Pendidikan terakhirnya adalah di Fakultas Teknik Informatika Universitas Respati Indonesia, Jakarta. Pengalaman kerjanya lebih banyak sebagai konsultan. Awalnya suami dari Nurjannah,  ini bekerja sebagai Konsultan Pendamping Program Pemberdayaan Masyarakat Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi, Wilayah Jakarta Timur Tahun 1999-2000 dan Konsultan Pemberdayaan Masyarakat di Yayasan Persada Nusa Alam ( bergerak di bidang Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kota).

Karir profesionalnya diawali pada 2001 sebagai Majajer Produksi  PT Cineraya Pranadhipa Production ( A. Latief Group). Jiwa seninya lebih kuat membuat ia berkomitmen penuh di dunia sinematografi. Pada 2002 ia menjadi Assisten Sutradara PT Sinemart Indonesia hingga meningkat menjadi Produser Pelaksana.

Ayah dua anak–Muhammad Ashlah dan Azkiya Afifah— ini kemudian pindah ke PT  Virgo Putra Film pada 2017 sebagai

Co Produser. Kemudian ia pindah lagi menjadi  Manager Produksi PT Sinemart Indonesia 2019. Di samping kesibukannya sebagai Anggota Forum Jibang PBB sejak 2021, Apri juga membangun bisnis media dengan mendirikan BarisanNusantara.com. Di sini ia menjabat sebagai direktur.

Sejak kuliah Apri aktif berorganisasi. Ia pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Universitas Respati Indonesia, Jakarta, 1992-1993, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta, Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan 1993-1994, Koordinator Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta 1993-1995, Staff Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1995-1997 hingga mencapai Wakil Sekjend Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1997-1999.

Di samping itu, organisasi yang digelutinya adalah sebagai Ketua Umum Forum Ukhuwah Mahasiswa Sumatera di Jakarta pada 1995-1996.  Boleh jadi Apri sangat peduli terhadap Sumatera karena leluhurnya berasal dari Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan.

Tanjung Enim adalah salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, Indonesia. Di kelurahan ini terdapat pertambangan batu bara. Dahulu Tanjung Enim merupakan penghasil batu bara bagi kolonial Belanda.

Sebagai pegiat seni, ia dikenal sebagai sutradara sinetron yang karyanya ditayangkan di SCTV. Ide-idenya tentang Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan tentu lebih banyak dilatarbelakangi nilai-nilai seni yang digelutinya.

Ormas yang membawanya ke ranah politik adalah Pusat Barisan Nusantara yang diurusnya sejak 2013 hingga sekarang.

BEKY MARDANI

Beky Mardani adalah intelektual muda Betawi yang menjadi praktisi pertelevisian di SCTV. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini lahir di Jakarta pada 3 Juli 1965. Ayahnya bernama H. Nasir Nissin dan ibu Hj. Samaah bint Asim. Masa kecil Beky dihabiskan di wilayah Jakarta Barat dengan bersekolah di SDN Meruya Ilir 05 Pagi, lalu ke SMPN 105 Jakarta Barat, dan SMA Palmerah. Lulus SMA Beky meneruskan pendidikan formalnya di Universitas Indonesia.

Setelah memperoleh gelar sarjana Beky mulai meniti karier di dunia kewartawanan dengan menjadi karyawan PT Surya Citra Televisi (SCTV). Awalnya dia bekerja meliput berita di lapangan. Sebagai peliput tentu Beky harus liputan keluar negeri seperti Arab Saudi, China, Malaysia, Thailand, Hong Kong, hingga Belanda. Karirnya cepat melesat hingga “naik pangkat” menjadi pembaca naskah berita, dan akhirnya sebagai produser eksekutif sejak 1996 hingga ia meninggalkan SCTV pada 2017.

Salah satu kiprahnya dalam bidang penyiaran adalah sebagai bagian dari tim seleksi calon komisioner Komisi Penyiaran Indonedia Daerah (KIPD) DKI Jakarta.

Semasa kuliah suami Hj. Inna dan ayah dari Muhammad Hafidz Maulana serta Aledyl D. Akbari ini telah aktif di organisasi Betawi dalam wadah KMB (Keluarga Mahasiswa Betawi) UI bersama Prof. Hasbullah Thabrani (mantan dekan FKM UI), Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni (Kasatpol PP DKI), dan Dr. Firdaus Djaelani (komisioner OJK). Bersama KMB, Beky pernah sukses melakukan tur lenong mahasiswa ke beberapa daerah di Indonesia.

Selepas dari KMB, dia aktif di beberapa organisasi lain, seperti: KNPI, PMI, AMPI, MABIN, LKB, dan Bamus Betawi. Selama aktif di Bamus Betawi, Beky pernah menjadi salah seorang ketua yang membidangi masalah dan kemahasiswaan. Selain itu, dia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Bamus periode 2008-2013.

Menurut Beky, Bamus Betawi harus menjadi organisasi yang dapat menampung semua potensi dan mengangkat budaya Betawi (terbuka, egaliter, demokratis, dan agamis) sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Belakangan, karena kegelisahan terhadap citra Betawi yang kadang mendapat stigma negatif, bersama wartawan senior Lahyanto Nadie, sejarawan JJ Rizal dan pelukis Sarnadi Adam, Becky mendirikan Betawi Foundation. Betawi Foundation berfokus pada wilayah intelektual yang memotret Betawi secara lebih akademis. Bekerja sama dengan Masup Jakarta, Betawi Foundation telah menerbitkan ulang buku-buku Betawi yang berkualitas seperti Kamus Dialek Jakarta, Terang Bulan Terang di Kali, dan Gambang Jakarte (karya Firman Muntaco)

Selain itu diterbitkan pula obituari tokoh-tokoh Betawi seperti Bang Uwo Pemuda Kampung di Pentas Nasional dan Bang Ipul Simpul Betawi dari Gubernur ke Gubernur.

Kini Beky sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, Anggota Forum Jibang Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Ketua Palang Merah Indonesia Jakarta Barat, dan Pengawas PD Pasar Jaya.

DIANA MURNI MUZAMMIL

Perjalanan Diana Murni Muzammil keliling dunia membuat wawasannya begitu luas. Dalam setiap rapat Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (Forum Jibang PBB), ia selalu membandingkannya dengan kondisi di luar negeri.

Maklum, suaminya seorang diplomat. Ke mana pun sang suami bertugas, Diana ikut serta mendampingi. Jadi sejak muda Diana telah menyambangi mancanegara.

Penugasan perdana ke luar negeri sang suami, KH Muzzammil Basyuni, sebagai Letda Tituler/Perwira Interpreter Arab dengan gelar diplomatik Atase Lokal UNEF (United Nations in the Service of Peace) di Sinai, Mesir, pada 1975 – 1976.

Sekembali dari Sinai, dia diangkat menjadi Pjs. Kasubag Penyusunan Rencana Pusdiklat Departemen Luar Negeri. Pada tahun 1977, dia ditugaskan sebagai interpreter bahasa Arab Presiden Soeharto pada kunjungan kenegaraan ke negara-negara Arab (Kuwait, Arab Saudi, Suriah, Mesir, dan Yordania). Bagi Diana, wilayah Timur Tengah seolah sebagai kampung halaman kedua.

Pada 1984, Muzammil mendapat penugasan sebagai Kasubid Penerangan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) Tunis dengan gelar diplomatik Atase dan kemudian Sekretaris Tiga. Pada tahun 1988, dia menjabat Kasi KSE-OKI-Timur Tengah pada Direktorat Jenderal Ekonomi dan Luar Negeri.

Bukan hanya Timur Tengah, negara tetangga yang pernah dimukimi adalah Brunei Darussalam. Pada 1991 sang suami mendapat amanah sebagai Kabid Ekonomi KBRI Brunei Darussalan dengan gelar diplomatik Sekretaris Dua dan selanjutnya dipromosi menjadi Sekretaris Satu.

Sedangkan di benua Eropa, perjalanan Diana dimulai pada 1999 ketika sang suami ditempatkan sebagai Kabid Ekonomi KBRI Madrid dengan gelar diplomatik Counsellor dan Minister Counsellor. Puncak kariersang suami menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia Untuk Republik Arab Suriah berkedudukan di KBRI Damaskus tahun 2006–2010. Diana pun kembali menjelajahi Timur Tengah.

Di Forum Jibang PBB, Diana aktif sejak 2015.

EFFENDI YUSUF

Effendi Yusuf SH merupakan Ketua Umum Bamus Betawi yang pertama kali dan dikukuhkan pada 22 Juni 1982. Sejak kecil ia aktif berorganisasi.

Ia lahir di Pulomas, Jakarta Timur, pada 14 Maret 1942 dari pasangan H. Muhammad Jusuf dan Hj. Rodiyah. Keluarga ini dikenal sebagai tokoh Betawi yang kaya raya.

Bang Fendi, begitu ia biasa dipanggil, sejak Sekolah Rakyat (SR) pada 1954 hingga SMA telah aktif di kepanduan Hizbul Wathon.

Selanjutnya ia aktif sebagai Ketua Ikatan Pelajar Indonesia (IPPI) Pancasila DKI Jakarta dan sempat terpilih sebagai Ketua Generasi Muda Kosgoro DKI Jakarta.

Ia salah satu anak muda Betawi yang dikenal sebagai Angkatan 66 yaitu kelompok mahasiswa pengusung Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Tuntutan itu adalah:

Pertama, Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kedua, Retool Kabinet Dwikora.

Ketiga, Turunkan hargan dan perbaiki ekonomi.

Bang Fendi, selepas kuliah dari Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, makin aktif di organisasi masyarakat maupun partai politik. Ia pernah menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta pada 1960 selama 13 tahun dan Anggota DPR RI dari Partai Golkar.

“Saya adalah anak Betawi paling muda ketika menjadi DPRD maupun DPR,” katanya.

Ia bersama sejumlah toko Betawi menggagas berdirinya Ikatan Warga Djakarta (Iwarda). Suara Bang Fendi bariton. Ketika berbicara atau berpidato, sangat khas sebagai legislator ulung. Ia juga merupakan Ketua Badan Pendiri Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB).

Pembentukan LKB sebagai pengemban amanat perlestarian dan pengembangan budaya Betawi mengemuka saat pralokakarya Penggalian dan Pengembangan Seni budaya Betawi yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaann DKI Jakarta pada 16-18 Februari 1976. Nama LKB diusulkan oleh jurnalis Betawi asal Gang Sentiong, Kramat, Jakarta Pusat, yang bernama Muhammad Hud.

Lewat akta pembentukan LKB pada 22 Juni 1976, tercatat sebagai pendiri adalah H. Abdullah Ali, dr. H. Atje Muljadi, Drs. Alwi Mas’oed, H. Effendi Yusuf SH, H. Hamid Alwi, HM Napis Tadjeri, Drs. H. Rusdi Saleh, dan H. Sa’ali.

Dalam perkembangannya kemudian, masuk pula sebagai anggota Dewan Pendiri yaitu Hj. Emma Agus Bisrie, H. Husein Sani, H. Irwan Sjafi’ie, H. Salman Muchtar, dan Prof. Dr. Yasmine Z. Shahab.

Sebagai Anggota Majelis Adat Bamus Betawi,  Bang Fendi mencermati aspek-aspek hukum. Ia fasih berbicara mengenai penataan format hukum adat masyarakat Betawi ke depan.

Dalam pandangan Bang Fendi, tergerusnya nilai-nilai adat dan tradisi kebudayaan Betawi, saat ini cukup mengkhawatirkan. Karena itu perlu dibuat penataan hukum adat guna melestarikan kaidah norma yang berlaku dalam kebudayaan Betawi.

Bang Fendi juga menginginkan aplikasi dari perda No. 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawim terutama guna mendapatkan masukan dari komparasi budaya masyarakat Indonesia.

Budaya Betawi dan daerah lain banyak yang memiliki kesamaan, karena berangkat dari nilai-nilai religiusitas yang sama, yakni agama Islam. Itulah sebabnya Majelis Adat Bamus Betawi perlu mengenal dan mempelajari budaya Aceh, Melayu, dan Minang, sebagai komparasi guna melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi.

Di Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (Forum Jibang) Setu Babakan, Bang Fendi aktif sejak 2015 hingga 2020.

IMRON YUNUS

“Jangankan kalah, seri aja ogah.” Begitu Imron Yunus bersikap dalam setiap pekerjaan yang diembannya. Itulah sebabnya di mana pun ditempatkan ia selalu berprestasi.

Tekad itu pun dibuktikan ketika Perkampungan Budaya Betawi mengikuti lomba desa wisata tingkat nasional yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2021. Sebagai  Kepala UPK, ia membutikan komitmennya.

Harapan Imron terkabul. “Ini kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan,” katanya merendah.

Banyak tantangan dalam mengelola Kawasan ini. Ia mengatakan bahwa Zona C di perkampungan itu telah diserahkan meskipun banyak fasilitas yang rusak.

Menurut Imron, cara kerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah sistematis sehingga serah terima dilakukan secara daring. “Saya tidak akan korupsi karena tanggung jawab saya di sini 100 kali lipat dibandingkan pejabat lain,” ujarnya saat rapat Forum Jibang PBB Setu Babakan, Rabu (8/9/2021).

Pria kelahiran 2 Agustus 1965 itu masih mengingat pesan Ketua Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Abdul Syukur. Selama ia tidak korupsi, banyak yang akan membela sampai kapan pun.

INDRA SUTISNA

The Living Dictionary. Itulah julukan yang tepat untuk Indra Sutisna, Sekretaris Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Pria kelahiran 15 Mei 1969 ini hafal sisik melik tentang Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Semua data baik itu tentang sejarah, luas wilayah, tokoh-tokoh maupun perkembangannya ia dapat menjelaskannya secara rinci.

Menurut Indra Sutisna, Jibang PBB tidak lagi berurusan mengenai perihal teknis. Hal itu sepenuhnya ada pada Unit Pengelolaan Kawasan Setu Bababakan. Forum Jibang PBB lebih mengurus kepada yang sifatnya pengkajian atau pemikiran.

“Kami coba menjabarkan dari pergub tersebut yaitu lebih kepada mengkuratori yang nonteknis, pemikirannya. Sementara yang sifatnya teknis dilakukan oleh Unit Pengelolaan Kawasan Perkampungan Budaya Betawi,” ujar Indra, Jumat (16/7/2021).

Kajian-kajian yang akan dilakukan bersifat pada pengembangan dan pengelolaan kawasan PBB Setu Babakan. Selain itu juga untuk mengukuhkan ruh budaya Betawi di wilayah tersebut.

Langkah awal forum Jibang PBB di periode ke-2, yakni pengkajian panataan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Setu Babakan. Pengkajian bertujuan untuk mengelola kawasan agar lebih tertata dan indah.

LAHYANTO NADIE

Beki Mardani (kiri), Yahya Andi Saputra (tengah), dan Lahyanto Nadie (kanan)

Sejak 1997 Lahyanto Nadie telah aktif dalam mempersiapkan kehadiran Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan melalui Satuan Gerakan Sosial Perkampungan Budaya Betawi (Satgas PBB).

Kini wartawan senior tersebut sebagai anggota Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (Forum Jibang) yang menangani masalah kesenian dan pemasaran.

Pria kelahiran Gang Camat Gabun Srengsengsawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada 22 September 1964, itu aktif di ranah kebetawian melalui Lembaga Kebudayaan Betawi, Bamus Betawi dan Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi).

ROOSYANA HASBULLAH

dr. Roosyana Hasbullah MPH adalah perempuan Betawi pertama yang menjadi staf ahli di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sejak muda ia aktif berorganisasi. Kini ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wanita Betawi (PWB).

Ia berkomitmen penuh terus memajukan posisi perempuan Betawi dalam berbagai aspek kehidupan.
“Sejak zaman Belanda dulu selalu pedagang lelaki yang harus maju. Sedangkan perempuan di dapur saja. Nah, kita mendobrak itu semua agar ada kesetaraan dan pemajuan tiga pilar, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi,” ujarnya

Menurut dokter Roos, potensi perempuan-perempuan Betawi sebenarnya tak diragukan lagi. Beberapa banyak yang menduduki jabatan strategis hingga fungsional di Indonesia. Namun, hanya segelintir saja jumlahnya.

ROBI INDRA

Robi Indra adalah anggota termuda di Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (Forum Jibang PBB) Setu Babakan. Pria kelahiran Jakarta ini adalah seorang guru olahraga.

Ayah dua anak ini jago main silat. Namun pembawaannya tenang dan agak pendiam.

Sarjana komunikasi dari STISIP Widuri ini aktif sebagai Ketua Umum Perguruan Silat Cingkrik Rawa Belong, Sekretaris Umum Kampung Silat Rawabelong dan Ketua Lembaga Juri Silat Tradisi IPSI Jakarta Barat.

Selain soal silat, ia juga gemar seni dan film. Sejak 2021 ia menjadi Ketua Krida Seni dan Film Widya Budaya Bhakti Kwatir Cabang Jakarta Barat. Sedangkan di dunia pariwisata, Robi aktif sebagai Ketua Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya. DPP Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi).

Sejak kecil Robi memang bermukim di Jakarta Barat hingga ia bersekolah di SDN 07 Sukabumi, Jakarta, SMP Al-Hasanah dan SMA Tri Arga.

Ayahnya bernama Sutrisno dan ibunya Surahmi.

RUDI SAPUTRA

Rudi Saputra

Nama lengkapnya Ir. H. Rudi Saputra MM bin H. Madun bin Tombong bin Boan. Ayah tiga anak ini adalah dosen di almamaternya, Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN).

Ia paling ganteng di rumahnya. Ketiga anaknya perempuan yaitu Irsa Afiat Nurul Saputra, Diandra Arif Arzani Saputra, dan Fadya Syahira Saputra.

Rudi aktif mempersiapkan Perkampungan Budaya Betawi sejak 1997 melalui Satuan Gerakan Sosial Perkampungan Budaya Betawi (Satgas PBB). Kini ia juga sebagai Ketua RW 09 Kelurahan Srengsengsawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Pria yang suka olahraga ini dikenal memiliki pergaulan yang luas.

RUSDI SALEH

Visioner. Satu kata ini mencerminkan sosok Rusdi Saleh. Ketika orang belum berpikir jauh, ia sudah melangkah lebih jauh. Itu dibuktikan dengan karya yang nyata hingga kini. Lembaga Kebudayaan Betawi dan Bamus Betawi adalah sedikit dari banyak pemikiran Rusdi Saleh yang dapat kita lihat hingga hari ini.

Perjalananan hidup Rusdi lebih banyak dilalui menjadi jurnalis, kemudian berkarya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta selama dua periode. Panggilan jiwa nasionalismenya dengan berupaya memajukan budaya Betawi hingga kini tak pernah padam.

Sebagai anak pejuang kemerdekaan, yakni Muhammad Saleh yang kemudian menjadi pengusaha transportasi di Jakarta, Rusdi terbilang berasal dari keluarga yang berkecukupan secara ekonomi sehingga ia pun memiliki akses terhadap pendidikan tinggi pada masa itu.

Rusdi sempat menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Namun, aktivitasnya dalam berorganisasi dan minatn semakin mengarah pada bidang publisistik. Rusdi pun meninggalkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kemudian masuk ke  Sekolah Tinggi Publisistik (IISIP) untuk mendalami dunia jurnalistik.

Minat terhadap bidang publisistik ternyata membawa Rusdi benar-benar berkarier di dunia penyiaran, yakni TVRI.

TVRI kala itu merupakan satu-satunya saluran televisi yang boleh siaran di seluruh Indonesia. Impian Rusdi menjadi jurnalis terwujud setelah dinyatakan lolos sebagai penyiar TVRI.

Rusdi Saleh, penyiar TVRI yang lahir pada 7 Juli 1942, merupakan salah satu yang menjadi saksi sejarah negeri ini, salah satunya dalam lompatan dunia komunikasi. Pada 8 Juli 1976 dari Tanjung Caneveral, Florida Amerika Serikat, Indonesia meluncurkan satelit Palapa A1. Atas peluncuran ini, Indonesia menjadi negara ketiga setelah Amerika Serikat dan Rusia yang memiliki satelit.

Salah satu prestasi yang pernah dicapainya sepanjang karier sebagai penyiar di TVRI adalah mewawancarai Presiden Soeharto secara langsung saat Indonesia menorehkan sejarah pertelekomunikasian lewat peluncuran satelit Palapa A1. Masa itu merupakan prestasi bagi jurnalis jika berhasil mewawancarai secara langsung Presiden Soeharto, terlebih pada saat peluncuran satelit Palapa yang pertama.

Rusdi juga dikenal sebagai benteng citra Betawi.  Label ini diberikan kepadanya karena sosoknya seolah membalik anggapan masyarakat umum tentang warga Betawi yang dianggap ”kampungan”.

Kendati sudah mengakhiri masa baktinya sebagai pegawai TVRI, Departemen Penerangan RI, Rusdi tetap aktif berbakti bagi masyarakat. Rusdi bahkan duduk sebagai anggota Forum Pengkajian dan Pengembangan Setu Babakan.

Rusdi selau tampil paling depan untuk membela kepentingan Betawi, terlebih menyampaikan kontribusi kaum Betawi bagi bangsa dan negara di masa lampau dan kini.

Ayah dua anak ini ikut memperjuangkan komponis besar Ismail Marzuki yang juga putra Betawi sebagai pahlawan nasional.  Bahkan, ia juga memperjuangkan makam Ismail Marzuki dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan,  Kalibata, Jakarta Selatan. Rusdi juga memperjuangkan supaya nama Jalan Cikini Raya diubah menjadi Jalan Ismail Marzuki.

Perjuangan Rusdi tidak sia-sia. Pada 2004,  Ismail Marzuki menerima gelar Pahlawan Nasional yang diwakili  anak angkatnya, Rachmiaziah Ismail Marzuki. Gelar ini diberikan langsung Susilo Bambang Yudhoyono, yang waktu itu menjabat sebagai Presiden RI.

Kecintaan Rusdi pada kebudayaan Betawi tidak hanya  dituangkan dalam forum seminar ataupun diskusi, tetapi juga dalam bentuk tulisan opini berjudul Konservasi Budaya Betawi yang dimuat di Kompas edisi 3 Juli 1984.

Anggota DPRD DKI Jakarta periode 1987-1992 dan 1992-1997 ini juga sangat peduli terhadap keberadaan Setu Babakan. Setu Babakan merupakan  salah satu perkampungan Betawi yang terletak di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa. Perkampungan Budaya Betawi ini berfungsi sebagai area untuk pelestarian budaya Jakarta, yaitu budaya asli Betawi.  Rusdi terus berupaya agar Setu Babakan tidak sekadar menjadi pusat kebudayaan Betawi, tetapi juga menjadi obyek wisata berskala nasional.

Bagi Rusdi, kecintaannya pada Betawi menjadi salah satu perwujudan jiwa nasionalismenya. Wujud nasionalisme dilakukan dengan turut memajukan budaya Betawi, serta tidak malu mengakui diri sebagai keturunan Betawi yang ikut berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia.

SIBROH MALISI

Dr. Sibroh Malisi MARS, menilai masalah pendidikan bagi warga Betawi merupakan hal yang paling penting. “Jika kita tidak mau tertinggal dengan etnis lain, maka pendidikan harus menjadi prioritas,” kata pria kelahiran 23 Desember 1960 tersebut.

Itulah sebabnya sejak 2006 ia berjuang menyampaikan tuntutan untuk menjadikan masyarakat dan Lembaga Betawi sebagai bagian dari UU No. 34/1999, terkaiat dengan upaya meningkatkan sumber daya manusia Betawi. Dengan masuknya Betawi, maka alokasi dana untuk kaum ini dapat dikelola secara mandiri demi kemajuan warga asli Jakarta.

Bidang pendidikan menjadi perhatian Sibroh karena ia merasakan sendiri bahwa dengan bersekolah ia mampu mengangkat martabat keluarganya yang sederhana. “Ane cuman anak tukang irat tali, karena sekolah bisa jadi dokter,” katanya.

Haji Abdul Karim, ayahnya, menghidupi keluarga dengan menjual tali yang terbuat dari batang pisang. Jika pohon pisang telah berbuah dan batangnya ditebang, kemudian pelepahnya dipotong memanjang. Tali yang masih basah tersebut kemudian dikeringkan. Dijemur di depan rumah. Setelah kering lalu dijual ke pasar Lenteng Agung. “Dari situlah ayah saya menghidupi keluarga,” kenangnya.

Namun Sibroh kecil tak minder dengan kondisi keluarganya itu. Ia bertekad untuk terus bersekolah.  Setamat SD pada 1974, ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah dan selesai pada 1978.

Setelah itu ia melanjutkan ke SMA Bhayangkari, kemudian kuliah di Fakultas Kedokteran Unversitas Yarsi. Alhamdulillah selesai pada 1995. Betapa bangganya keluarga dan masyarakat sekitar dengan kehadiran dokter pertama di Kampung Ciganjur. Nama “dokter Sibroh” pun makin dikenal dan menjadi kebanggaan masyarakat.

Praktek sebagai dokter tak membuatnya lupa akan almamaternya. Sibroh juga mengajar di Universitas Yarsi. Di tengah kesibukannya itu, ia membuka klinik sendiri.

Pendidikan memang menjadi prioritas Sibroh. Selain aktif berorganisasi, melanjutkan ke program pascasarjana di Universitas Indonesia hingga meraih gelar Magister Administrasi Rumah Sakit.

Klinik yang dibangunnya pun makin berkembang hingga kini menjadi RS dr. Ali Sibroh Malisi. Sukses mendirikan rumah sakit, sang dokter terus mengembangkan bisnisnya mulai dari kuliner hingga properti.

SOFYAN MURTADHO

Sofyan Murtadho (kanan) bersama Kepala UPK PBB Setu Babakan, Imron Yunus (kiri)

Inilah jawara yang sesungguhnya. Selain sebagai lurah, Sofyan Murtadho memang jagoan betulan. Sering berkelahi dan selalu menang. “Ane ngumpet di tempat yang terang,” katanya.

Selain jagoan ia juga seniman, banyak karyanya yang popular. Idenya brilian. Tidak sampai di situ.  Sofya juga mengimplentasikannya dengan kongkret. Dengan pergaulannya yang luas, gagasan-gagasannya diterjemahnya menjadi karya nyata bersama teman-temannya dari berbagai kalangan.

Di Setu Babakan, Sofyan menuangkan ide lewat lagu. Lihatlah syair lagu irama gambang kromong Setu Babakan yang begitu popular.

Ada namanye setu babakan

Tempatnya Jakarta sebelah selatan

Bukannya kota bukan hutan

Pejuang bijak punya kepenegenan

Ada bekas jejak kaki

Yang bisa jadi saksi

Semoga harapan terbukti

terciptanya perkampungan betawi

Mari kita jaga bersama

Alam setu yang sudah ada

Tinggalin buat cucu kita

Resapan air kota Jakarta

Ncang ncing enyak babe

mana lagi sumbangsihnye

Pak Kyai doain dong biar rapi

Terciptanya perkampungan Betawi

Syair lagu itu diciptakan pada 1997 ketika kondisi perkampungan di Setu Babakan belum tertata. Seperempat abad kemudian, apa yang dibayangkan Sofyan menjadi kenyataan.

Begitu pun dalam syair lagu keroncong Impian Setu Babakan yang diciptakannya Bersama Ridwan Saidi:

Aih… jiwa manis Setu Babakan

Masa depan Betawi jiwa manis diimpi-impikan

Kala malam purnama

Zaman Tanjung Kelapa

Dirancang dan dibina

Jadi objek wisata

Aih… jiwa manis Setu Babakan

Masa depan Betawi jiwa manis diimpi-impikan

Konon malam purnama

Bidadari menjelma

Situ Bakan asli

Pupuk budaya Betawi

Aih… jiwa manis setu babakan

Masa depan Betawi jiwa manis diimpi-impikan

Impian Sofyan kini hampir menjadi kenyataan. Itulah sebabnya ia berpikir jauh ke depan untuk puluhan tahun mendatang. Visinya tentang Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah…

YAHYA ANDI SAPUTRA

Awalnya ia bernama Agus Yahya Andi Saputra namun popular sebagai Yahya Andi Saputra. Ia lahir di Jakarta, 5 Desember 1961. Magister Susastra (Kajian Tradisi Lisan) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dikenal sebagai aktivis dan praktisi kesenian Betawi.

Soal kebetawian ia aktif di seluruh penjuru bumi Betawi. Mulai dari Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta, Sekretaris Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ2015-2018)dan tentu saja d Forum Pengkajian dan. Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (Forum Jibang PBB).

Ia pernah mengukti Visiting Reseach Fellow, Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Jepang.

Yahya juga mendapatkan penghargaan kebudayaan bidang pelestari tahun 2015 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Ayah dari Sausan Yusria ini, menulis buku dan berpartisipasi dalam antologi puisi, antara lain: Ragam Budaya Betawi (2002), Upacara Daur Hidup Adat Betawi (2008), Pantun Betawi, Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan Sejarah Jawa Barat Dalam Pantun Melayu Betawi (2008), Profil Seni Budaya Betawi (2009).

Selian itu ia juga menulis buku Permainan Tradisional Anak Betawi (2011), Cetrok Bekasi (editor, 2013), Antologi Puisi Ketika Daun Jatuh (2013), Antologi Puisi Petang Puisi Ekspresi & Refleksi Alumni FIB UI (2014), Sejarah Perkampungan Budaya Betawi : Demi Anak Cucu (2014), Antologi Puisi Syair Persahabatan Dua Negara, 100 Penyair Indonesia – Malaysia (2015), Antologi Puisi Gerhana (2016), Kumpulan Puisi Sihir Sindir(2016), Antologi Puisi Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Antologi Puisi Negeri Awan (2017), Antologi Puisi Dari Loksado Untuk Indonesia (2017), Antologi Puisi The First Drop of Rain (2017), Jantuk Pertumbuhan dan Perkembangan (2017), dan Kumpulan Puisi Jampe Sayur Asem (2017).

Karya lainnya adalah Antologi Puisi Negeri Bahari (2018), Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi (2018), Antologi Puisi Epitaf Kota Hujan (Padangpanjang, 2018), Antologi Puisi Marhaban ya Ramadhan (2018), Antologi Puisi Doa Seribu Bulan (2018), Antologi Puisi A Skyfulof Rain (Banjarbaru, 2018), Penelusuran Sejarah Peradaban Jakarta (2018), Antologi Puisi Pesisiran(2019), Antologi Puisi Pandemi Puisi (2020), Antologi Puisi Gabin Barandam (2020), Antologi Puisi Angin,Ombak, dan Gemuruh Rindu (2020), Antologi Puisi Gambang Semarang (2020), Antologi Alumni MunsiMenulis (2020), Antologi Puisi Rantau (2020), Kumpulan Puisi Cerita Dari Dapur (2020), Kumpulan Tulisan Nyanyi Sunyi Tradisi Lisan (2021).

Biuah karya paling anyar adalah Betawi Megapolitan, Merawat Jakarta Palang Pintu Indonesia yang diterbitkan oleh Pustaka Kaji.

Suami dari Suli Setiawati ini, tetap produktif dalam berkesenian dan berkebudayaan hingga kini. Sampai kapan? “Hingga hayat dikandung badan,” katanya serius.

YOYO MUCHTAR

Di Setu Babakan memang tidak ada buaya. Namun di Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (Forum Jibang PBB) ada ‘buaye’ keroncong H. Yoyo Mukhtar. Kenapa dia disebut buaya keroncong? Buaye Keroncong adalah julukan yang berarti bahwa seseorang totalitas untuk musik yang berasal dari Portugis ini.

Bang Haji Yoyo, begitu panggilan akrabnya, memang totalitas untuk pelestarian dan pengembangan musik keroncong Betawi.

Sesungguhnya bukan hanya musik keroncong yang ia dalami. Untuk Betawi ia bekiprah mulai dari dunia seni, organisasi, pendidikan hingga olahraga.

Pria kelahiran 4 Desember 1950 di Pisangan, Jakarta Timur, ini memulai Pendidikan di SD Budi Utomo, Jakarta Pusat. Ia melanjutkan ke SMPN 44 Pisangan Lama, Jatinegara, Jakarta Timur.

Meningkat ke sekolah menengah atas, Bang Yoyo masuk ke STM Poncol, di Senen, Jakarta Pusat. Setelah lulus ia bekerja di perusahaan swasta.

Bakat kepemimpinannya telah muncul di usia muda.  Sebagai karyawan yang baru berusia 22 tahun, ia telah memimpin sedikitnya 45 karyawan. Promosi demi promosi diraihnya dan pada usia 25 tahun telah menjadi kepala bagian di perusahaan yang bergerak dalam industri tekstil dan produk tekstil.

Sambil bekerja, ia mengambil kuliah di Universitas 17 Agustus (Untag) di kampus yang berlokasi di Ancol, Jakarta Utara. Pada 1975, Bang Yoyo diterima sebagai pegawai pada Dinas Rumah Tangga Pemda DKI Jakarta yang bekantor di Balaikota.

Karirnya sebagai aparatur sipil negara (ASN) membuatnya nyaman karena dia ditempatkan di Dinas Pariwisata yang menjadi perhatian khusus baginya. Bang Haji Yoyo dinilai aktif mengembangkan kebudayan Betawi karena kiprahnya di Lembaga Kebudayaan Betawi dan Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus) dan tentu saja Forum Pengkajian dan Pengebangan Perkam.

Jabatan Kepala Seksi Objek dan Daya Tarik Wisata Sudin Pariwisata diembannya selama 6 tahun. Pada 2001, ia dipromosikan sebagai Kepala Seksi Atraksi Wisata Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta kemudian menjadi Kepala Seksi Pengawasan Sudin Pariwisata Jakarta Timur.

Pekerjaan itu begitu dinikmatinya hingga sempat menjadi Kepala Sangkrini UPT Anjungan DKI Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 2005-2006 sampai ia pensiun.

 

Berita Lainnya