INDOWORK.ID, JAKARTA: Rumah tempat tinggal merupakan aset penting dalam kehidupan manusia. Salah satu harapan yang sangat diinginkan untuk dimiliki—terutama oleh sebuah keluarga—adalah rumah.
Menurut data Bappenas (2016), hanya 78% penduduk Indonesia yang memiliki rumah. Program Pemerintah dengan skema subsidi menyediakan satu juta rumah baru setiap tahun dan meningkatkan kualitas rumah tidak layak untuk 1,5 juta rumah. Sisanya masih harus menempati rumah dinas, menyewa, atau masih menumpang pada keluarga atau orang lain.
Saat ini sedang menjamur rumah sewa, atau istilah kerennya rumah kos/mansion/apartemen dengan bermacam fasilitas dan kualitas, dengan lokasi tersebar di daerah komersial maupun di daerah pemukiman. Pemerintah Daerah seolah-olah “tutup mata” terhadap pelanggaran-pelanggaran tata ruang/zoning daerah yang makin lama makin semrawut, tanpa ada batasan lagi mana daerah hijau, kuning atau merah dalam peta tata kota. Selain diserbu rumah kos, daerah pemukiman saat ini berubah menjadi daerah komersial/perkantoran. Banyak penghuni—terutama warga senior—merasa resah: daerah pemukiman yang dahulu tenang dan asri berubah menjadi berisik dan amburadul. Kehidupan lingkungan yang ramah pun sirna.
TIGA KALI PINDAH
Selama lebih dari 55 tahun di Jakarta, kami telah berpindah rumah tiga kali. Hal ini bukan hanya karena masalah tata ruang yang tidak tertib, melainkan juga berjenjang, karena keterbatasan dana yang dimiliki pun berjenjang.
Saat baru menikah, kami diizinkan tinggal di luar ksatrian dengan kontrak pavilIun 45 m2 di daerah Kebayoran Baru. Setelah dua tahun, karena faktor “keamanan”, kami disarankan untuk pindah rumah. Kami memilih daerah yang lebih sepi dengan membeli rumah “setengah jadi” jenis OKP di suatu gang Tebet Timur. Tidak sampai 5 tahun, terkumpul dana yang cukup untuk membeli rumah jenis OKW di Tebet Barat, dengan jalan yang dapat dilalui kendaraan dua lajur. Lokasi rumah cukup baik, dekat pasar dan taman untuk olahraga pagi serta lingkungan keluarga yang ramah dan aman.
Namun sejak menjamurnya program ekspor TKI ke Timur Tengah, rumah-rumah di sana banyak dikontrak dan berubah menjadi tempat/kantor penampungan TKI, sehingga keramahtamahan dan keasrian lingkungan mulai terusik.
Selain itu timbul masalah sekolah untuk anak-anak, yang akhirnya direkomendasikan ke sekolah SD yang mutunya mumpuni dan dikelola Yayasan Swasta Netral yang berlokasi di Jl.Waringin-Menteng. Jerih payah menjemput-antar anak-anak ke sekolah selama 8 tahun dilakoni dengan sabar dan tekun, sehingga dengan bimbingan Tuhan, semua dapat diselesaikan dengan selamat. Anak perempuan kami melanjutkan ke SMP/SMA Yayasan Tarakanita, sedangkan yang pria mengikuti jejak ayahnya bersekolah SMP di Yayasan Canisius College.
Karena tekanan lingkungan di Tebet Barat makin parah, maka kami mencari lagi rumah di daerah pinggiran yang ramah lingkungan dan harganya masih terjangkau. Secara kebetulan kami mendapatkan rumah di daerah Gaharu/Cipete jenis kaveling villa yang harganya dua kali lipat dari harga jual rumah di Tebet Barat. Rumah ini ternyata milik putri seorang Menteri yang baru bercerai dan dikuasakan pada istri seorang Jaksa Tinggi.
Puji syukur, masalah kekurangan dana yang kami utarakan sejujur-jujurnya mendapatkan tanggapan di luar dugaan, yaitu sisa kekurangannya dapat dicicil sesuai dengan kesanggupan kami. Tahun 1988, saat kami pindah, bis kota Metromini no. 66 masih melayani rute Blok M-Kompleks Perumahan MPR. Hal ini sangat membantu dan mempermudah akses keluarga kami beraktivitas kerja dan ke sekolah. Dengan berpindahnya kami ke daerah baru ini, kami harus menyesuaikan kembali dengan lingkungan yang ada.
Penduduk di Tebet umumnya lebih heterogen, tetapi lokasi kami yang baru ini umumnya terdiri atas banyak kompleks karyawan, mulai Sekretariat MPR RI, karyawan Deplu, P dan K, Sekneg dan Perbankan. Banyak pula mantan perwira ABRI dan Kepolisian, serta yang paling terkenal di Jl. Pelita ada keturunan Haji Naim, jagonya pijat dan patah tulang. Selain kaveling villa, terdapat banyak kaveling-kaveling yang lebih besar, sehingga setelah kaveling-kaveling itu dijual, bermunculanlah kluster Town Houses dan Service Apartment.
BERUSIA LANJUT
Saat ini, setelah kami bermukim lebih dari 30 tahun, warga aslinya umumnya sudah berusia lanjut, bahkan banyak yang telah meninggal. Pada mulanya lingkungan masih ramai dengan suara anak-anak usia sekolah, tetapi saat ini mulai terasa sepi, dan sebagai gantinya bermunculan orang-orang baru yang menyewa harian atau mengontrak bulanan apartemen/town houses tersebut. Tegur sapa antar tetangga mulai jarang, karena warga lama umumnya lebih “senang” menikmati tinggal di dalam rumah sepanjang hari. Rumah-rumah besar yang dulu ramai dengan anak-anak, kini hanya dihuni sepasang warga senior dan adakalanya hanya seorang yang masih beraktivitas di luar rumah.
Banyak juga warga senior yang menjual aset terakhir mereka untuk menyambung dana tabungan hari tua yang hampir pupus, dan memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Ada hal menarik dari hasil penelitian University of Barcelona dan Pompeu Fabia University Spanyol, yang menyimpulkan, “Warga senior yang hidup di alam pedesaan akan memiliki kesehatan mental lebih baik daripada mereka yang hidup di perkotaan.” Hal ini diamini oleh artikel tertulis di International Journal of Environmental Research and Public Health, bahwa, “Ada kaitan antara kesejahteraan mental warga senior dan lingkungan tempat mereka tinggal.
Risiko warga senior yang menetap di perkotaan akan meningkat karena masalah emosional yang terkait dengan mahalnya biaya hidup dan kesulitan ekonomi. Dalam kenyataannya, banyak juga warga senior yang telah berpindah hidup menyepi di pinggiran/di pedesaan, tetapi akhirnya harus kembali pindah ke kota. Makin tua umur biologis seseorang, makin cepat proses degenerasi yang menggerogoti kesehatan fisiknya, sehingga harus bolak-balik ke Rumah Sakit di perkotaan yang canggih fasilitasnya. Bahkan banyak pula warga senior yang akhirya justru mencari tempat tinggal yang bukan hanya dekat rumah sakit, melainkan juga dekat rumah ibadah. Yang belum kami dengar, ada warga senior yang mencari rumah bertetangga dengan tempat pemakaman.
Masalah liku-liku menjual rumah, kami alami sendiri saat akan menjual rumah anak kami di Bandung. Saat kami dulu membelinya, banyak yang mengingatkan kami agar memikirkannya lagi, karena rumah ini bernomor 4. Banyak yang percaya bahwa nomor 4 berarti mati (sie, dalam bahasa Mandarin). Ada juga yang menyarankan agar jangan membeli rumah nomor 13. Namun kami tetap membeli rumah nomor 4 ini, dengan pertimbangan bahwa di depan rumah ada taman besar yang berlingkungan sehat. Namun suatu saat Pemda mengubah taman ini menjadi masjid yang megah.
Kesukaran timbul saat kami akan menjual, meskipun nomor 4 telah kami ganti dengan 3A. Setelah beberapa saat, ada seorang dokter senior yang sangat berminat membeli rumah ini, hanya karena ia telah pensiun dan tinggal sendiri, sehingga mencari rumah dekat rumah ibadah, agar dapat mudah beribadah setiap waktu. Mencari rumah memang tidak mudah, banyak pantangan yang sudah menjadi “darah daging” di masyarakat. Selain nomor, juga disarankan jangan membeli rumah “tusuk sate”, rumah menyempit di belakang, sampai-sampai urusan letak tangga/kloset tidak boleh menghadap depan pintu depan dan belakang dalam satu garis lurus.
Biarlah kita jalani hidup ini apa adanya dan berlaku seperti air jernih yang mengalir dari gunung ke muara. Sebagai orang beriman, marilah kita hanya berpegang teguh pada sabda Allah: “Janganlah takut,sebab AKU menyertai engkau. Janganlah bimbang, sebab AKU Allahmu. Aku akan meneguhkan dan menolong engkau. Aku memegang engkau dengan tangan-KU yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).
Ditulis oleh Harry Tanugraha, tinggal di Jakarta.
.
Bandara Pantar Perkuat Konektivitas Alor NTT