INDOWORK.ID, JAKARTA: Indonesia kalah dari Thailand di final piala AFF 2020, itu kenyataannya. Trofi juara gelaran sepak bola regional Asean kembali lepas. Itu faktanya!
Optimisme yang mebumbung terhadap Timnas sejak babak penyisihan mendapat antiklimaks. Hasrat menjuarai kompetisi harus pupus. Tak ada kelegaan sebagaimana tim Bulutangkis menyabet Thomas beberapa waktu lalu.
Evaluasi permainan dan pemain juga strategi selama kompetisi memang patut dilakukan. Tapi itu pun serasa sia-sia, mengingat Timnas telah lama berstatus finalis terbanyak tanpa gelar juara. Enam kali trofi yang sudah ada di depan mata, terbang melayang ke negara lain.
Kekalahan pada partai final bak kisah klasik yang terus berulang. Bahkan ada dugaan kekalahan-kekalahan Timnas yang lalu di partai puncak merupakan ulah para bandar.. Celakanya, bandar judi dan spekulan itu mampu mendesain skor pertandingan. Petinggi federasi pun kerapkali dicemooh akibat dugaan tersebut.
Siapa yang tak kesal jika pada AFF 2010, misalnya, peforma Timnas sangat apik dan meyakinkan. Bahkan mencukur habis Malaysia 5-1 di fase grup. Keyakinan soal juara malah dijungkirkan tatkala partai final, Malaysia malah unggul. Lebih kecewa, kemenangan Timnas negeri jiran diraup dari kelengahan pemain yang musykil terjadi.
CURIGAI MAFIA
Curiga terhadap mafia yang bahkan diduga ada di tubuh federasi seharusnya dibuktikan dengan investigasi, karena itu merupakan kasus serius. Tindakan lancung yang sangat melukai publik pecinta Timnas.
Aksi mereka jika memang benar gentayangan, lebih gila dibandingkan Mussolini yang mengancam pemain Italia atau Jenderal Franco membela mati Real Madrid lewat tangan diktator. Jelas keduanya punya harga diri dan identitas yang diperjuangkan, meskipun lupa diri.
Namun pada gelaran kali ini, isu mafia sepakbola ini tidak lagi mencuat. Terlebih lagi jika menyaksikan peforma Timnas hingga partai pamungkas. Memang,Timnas harus mengakui keunggulan Thailand, terutama pada laga leg pertama.
Para pemain cenderung gugup, tidak fokus. Strategi menyerang tidak membuahkan hasil. Membuat siapapun menjadi frustrasi, termasuk barisan belakang yang kerapkali menggotong bola sendiri hingga ke depan. Balasannya, Thailand menyarangkan tigal gol tambahan di babak kedua.
Tidak salah mengatakan bahwa prestasi Sepakbola bisa jadi pantulan dari dinamika kehidupan suatu komunitas negara. Brazil sebagai tuan rumah Piala Dunia 2014 saja pernah mengalami pahitnya kekacauan sosial yang berimbas kepada tersungkurnya Timnas Samba pada turnamen tersebut dengan memalukan.
Jika sudah demikian, keoknya Timnas khususnya pada episode-episode sebelumnya bisa sangat erat kaitannya dengan praktik korupsi dan nafsu oligarki. Sayangnya, itu bersarang di tubuh federasi. Tidak satu pun akan berminat dan bersemangat menang jika motivasi para pengurusnya hanya sekadar cuan.
Tetapi episode kali ini adalah pengecualian. Harapannya, kekalahan Timnas dari Thailand bukan mencerminkan praktik korupsi dan oligarki yang kental, melainkan upaya reformasi yang baru dimulai.
ADA PERBAIKAN
Biar bagaimana pun, ada perbaikan permainan dari Timnas. Malaysia, Vietnam, dan Thailand belum lama ini sudah jemawa dengan mempecundangi Timnas pada kualifikasi Piala Dunia. Saat itu, Shin Tae Yong belum mengepalai Timnas.
Kehadiran pelatih berinisial STY ini melahirkan secercah harapan. Meskipun Indonesia masih sulit untuk melaju ke level internasional, pada level regional Timnas telah menjadi tim yang disegani.
Lebih jauh, di bawah STY ada perubahan radikal yang mengikuti arus domestik. Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai kans bagus secara ekonomi dan sosial berkat potensi demografi. Bonus demografi yang berarti anak muda usia produktif mendominasi kehidupan.
Begitu pun Timnas Senior era STY. Timnas Indonesia mencerminkan geliat anak muda, penuh semangat dan hasrat kemenangan. Hanya saja, lawan lebih berpengalaman. Rata-rata usia pemain Timnas skuad inti, masih berusia di bawah 23 tahun.
Berbanding Thailand, jarak usia yang belia itu terpaut jauh. Teerasil Dangda ujung tombak Thailand sudah berkepala tiga, begitupun kiper Sirawak. Usia muda inipun menjadi pembeda dengan Timnas Vietnam yang sebelumnya jadi momok paling mengerikan bagi rival di tingkat regional.
Dari segi permainan di dua leg laga final, pemain Timnas sangat mengandalkan kecepatan untuk menerobos benteng pertahanan Thailand. Sebaliknya, Thailand mengurung permainan dengan pengalaman, strategi longpass serta akurasi yang lebih baik, membuat kelimpungan anak buah STY. Ini adalah buah pengalaman.
Yaa. Semoga saja, cerminan sosial demografi inilah yang menjadi sebab Timnas belum meraih gelar juara, bukan soal korupsi dan oligarki yang bercokol. Kalau benar demikian, maka terdapat asa besar bagi Timnas asuhan STY ke depan, asalkan tiada noda korupsi dan hasrat oligarki yang menghantui manajemen Timnas. Kita tunggu saja gebrakan selanjutnya. (Ditulis oleh Muhammad Idris, analis sepakbola.)
Anies Baswedan Sambangi Rumah Duka Faisal Basri: “Anak Bangsa yang Tampil Menjadi Ekonom Pejuang”