INDOWORK.ID, JAKARTA: “Saya malu Kong Haji, masak disuruh gitu aje kagak becus,” ujar Pitung.
“Yah, mau dikata apa, itu namanya sudah takdir Illahi, kalau uang hilang dicuri orang,” sahut Kong Haji sembari menyemburkan asap rokok lintingannya.
Pitung, yang diserahi menjual kambing Kong Haji, di tengah jalan uang hasil penjualannya dicuri orang. Dialog antara Pitung (diperankan Dicky Zulkarnaen) dengan Kong Haji (dimainkan oleh M. Panji Anom) terjadi pada film laga “Si Pitung: Banteng Betawi” (1970).
Film yang disutradarai Nawi Ismail itu menjadi salah satu favorit di putar di arena layar tancap era tahun 1980 – 1990 an. Pentas rakyat di lapangan terbuka menjadi hiburan tiada tara di kala itu. Tak perlu uang sepeser pun untuk menyaksikan pemutaran film. Lain cerita bila hendak jajan aneka penganan yang tersedia di sana.
Layar tancap, yang kali pertama diperkenalkan oleh penjajah Jepang -dulu disebut bioskop keliling- untuk propaganda, menjadi tontonan populer meski Jepang sudah minggat dari Tanah Air. Saban perhelatan, sedikitnya 5 film di putar pada proyektor 16mm Bell & Howell 2592, sebuah proyektor yang cukup populer di masa itu. Seperti disinggung sebelumnya, selain film yang diperankan aktris Suzanna seperti film “Sundel Bolong”(1981), film Pitung inilah yang kerap diputar pada perhelatan layar misbar alias gerimis bubar.
Keseruan menonton layar tancap semalam suntuk -di era itu biasanya baru bubar setlah pukul 03.00 dinihari- juga diiringi dengan sejumlah penganan pemanja lidah. Tak sedikit para tukang jajanan berdiri melingkari lapangan berharap penonton membelanjakan duitnya.
Nah, bila Si Pitung: Banteng Betawi menjadi salah satu film unggulan, dalam ranah kuliner ada kudapan yang tak pernah absen dalam perhelatan; Tahu Siksa. Olahan kacang kedelai yang dibentuk kotak itu menjadi favorit menemani tontonan di kala malam menjelang.
Teknik slow cooking
Tahu Siksa, sejatinya bukan tergolong makanan ‘sadis’. Penganan ini terbuat dari tahu biasa -umumnya tahu kuning yang biasa disebut tahu bandung- digoreng menggunakan minyak sedikit di atas kompor berapi kecil. Minyak dalam wajan itupun dicampur dengan air sehingga seolah sembari digoreng, juga direbus.
Belum ada literatur resmi yang menyebutkan asal muasal nama Tahu Siksa ini. Tetapi bila melihat proses pematangan tahu dengan cara tersebut, boleh jadi nama itu muncul lantaran ungkapan masyarakat Betawi dalam berolah kata. Bukan hal baru bila masyarakat Betawi membuat istilah-istilah dengan metafora semacam ini.
Abdul Chaer, dalam bukunya “Kamus Ungkapan dan Peribahasa Betawi, cetakan pertama, yang diterbitkan oleh Masup Jakarta (2009) menyatakan, gabungan kata atau kata tidak digunakan sesuai dengan makna leksikal ataupun makna gramatikal, melainkan menurut makna lain yang masih mempunyai hubungan atau asosiasi dengan makna aslinya. Hubungan makna asli dengan makna asosianya dapat berupa kiasan, perbandingan, atau persamaan.
Tak ayal, cara memasak yang digoreng-rebus di waktu bersamaan dalam wajan plus api kecil ini, membuat tahu seolah-olah sedang mengalami penyiksaan yang tiada tara. Apalagi, apinya dibuat kecil, yang biasa disebut dengan cara memasak lamban (slow cooking). Teknik ini biasanya dilakukan pada bahan makanan yang bertekstur keras seperti daging. Menurut Gordon Ramsay, chef Inggris yang mendunia, teknik memasak lamban ini menjadikan makanan mengeluarkan seluruh rasa di dalamnya sekaligus membuatnya menjadi empuk.
Nah, bisa dibayangkan, tahu yang memiliki tekstur lembut dari sononya harus mengalami cara memasak seperti ini. Seperti penyiksaan tiada henti hingga kulit luarnya mengeras, namun di dalamnya tetap menyajikan tekstur yang lembut. ragam tekstur inilah yang membuat Tahu Siksa memiliki kekhasan tersendiri.
Bisa jadi, ini pula yang membuat Tahu Siksa pada masa itu dinikmati dengan seksama oleh para penonton layar tancap. Aroma kedelai yang menguar bersamaan dengan letupan cabai rawit, membuat siapa saja yang memakannya bisa menikmati rasa asli tahu ini. Apalagi Tahu Siksa tidak dibumbui dengan beraneka macam rempah, cukup ditabur garam untuk merangsang lidah bergoyang. Saban mencomot barang sebiji-dua, hati sudah gembira. Masa itu, Tahu Siksa disajikan dengan dibungkus daun pisang dan dilengkapi dengan cabai rawit.

Membayangkan bersila di tanah lapang, ditemani sebungkus Tahu Siksa, nikmat betul rasanya menyaksikan laga Pitung kontra Scout Hayne -perwira Kompeni yang diperankan A. Hamid Arief- di tengah malam di layar berukuran 3 x 9 m. Jangan lupa, minumannya disandingkan dengan bir petok khas tanah Betawi.
Tapi, di mana layar tancapnya? Kite tunggu siape nyang mau nanggep. Jika ingin menikmati Tahu Siksa atau dengan logat Betawi pinggiran Tahu Seksa ada di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
Leave a reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *