INDOWORK.ID, JAKARTA: Investor ritel Hasan Zein Mahmud mengatakan bahwa ia tidak meragukan potensi pertumbuhan BL. Data tiga tahun terakhir membuktikan itu. Potensi yang besar di depan menunjang prospek ke arah itu. Transaksi 2018 tercatat Rp28,34 triliun. setahun kemudian, 2019, naik lebih dua kali lipat ke Rp57,39 T. Lalu Rp85,08 T pada 2020. CAGR lebih dari 100% selama periode tersebut.
Kenaikan gross transaction value (GTV), diikuti oleh naiknya pendapatan. Dari Rp292 miliar pada 2018 naik menjadi Rp1,07 triliun pada 2019, sebelum naik lagi menjadi Rp1,35 triliun pada 2020. Di bottom line, walau masih menderita rugi, namun dalam jumlah yang semakin mengecil.
Setelah menjadi perusahaan publik, bisa diperkirakan akan terjadi pertumbuhan yang lebih cepat. Pengguna akan naik ekponensial. Bersamaan dengan meningkatknya awareness masyarakat, meningkatnya kualitas dan kapasitas platform, produsen / pemasok FMCG – fast moving consumer goods – akan semakin banyak. UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Sebagai unicorn pertama go public, peluang meningkatkan pangsa pasar terbuka lebar.
Jumlah mitra – segmen ini yang menjanjikan marjin keuntungan paling tinggi – juga akan meningkat. Kalau 5% penduduk Indonesia membuka e-warung, akan ada potensi sekitar 13-14 juta peserta mitra.
Menurut Hasan, secara makro memperpendek jalur distribusi yang panjang dan mahal, harus didukung penuh. Pada produk pertanian, misalnya, statistik membuktikan bahwa para petani hanya memperoleh kurang dari 50% harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Biaya dan marjin laba yang disedot rangkaian jalur distribusi yang panjang, mengambil lebih dari separo
Namun sebagai investor saham, ada beberapa pertanyaan yang ingin ia bagikan:
[1] Apa betul ekspansi tahap ini membutuhkan Rp22 triliun? Jumlah itu sepuluh kali lipat dari nilai aset saat ini. Konsep keuangan yang benar mengajarkan bahwa biaya modal ekuitas harus lebih tinggi dari biaya modal utang. Perusahaan harus mampu mencatat kenaikan laba bersih minimal 7-8% per tahun.
Kalau imbal hasil saham – yang dihasilkan emiten, bukan dari naiknya harga saham yang cenderung selalu emosional – hanya sebesar yield SUN, 6 -7% per tahun, kenapa harus membeli saham yang risikonya lebih tinggi?
Jangan lupa yang berhak diklaim oleh pemegang saham pada nilai perusahaan adalah sisa laba setelah pajak. Bukan GTV. Bukan Revenue (Pendapatan)!
[2] Emisi 25% dari modal disetor dihargai Rp22 triliun. Artinya kapitalisasi BL akan sekitar Rp88 triliun. Nilai kekayaan pendiri sebagai perusahaan tertutup yang tercermin dari nilai buku ekuitas pada akhir 2020 baru sebesar Rp1,67 triliun. Begitu perusahaan terbuka, naik menjadi Rp64 triliun.
Pendiri menjadi kaya berlipat dalam satu malam. Lha pemegang saham publik yang masuk belakangan?
[3] Kapitalisasi pasar Alibaba diharga sekitar 5 x pendapatan. Menggunakan angka nisbah yang sama, yang layak bagi BL adalah 5 x Rp1,35 triliun. Sekitar Rp7 triliun. Bukan Rp88 triliun.
Bursa saham memang tempat paling heboh dalam mengeksploitasi psikologi manusia, dengan menunggang market trend. Jual slogan demi cuan. Demi cuan. Demi cuan!
Lukman Setiawan, Ada Panggilan Telepon di Ruang Perpustakaan!